Menghidupkan Demokrasi Demokrat
A
A
A
Membangun budaya demokrasi itu tidak mudah. Cendekiawan Nurcholish Madjid pernah mengatakan bahwa membangun demokrasi dapat memakan waktu lebih satu generasi dan prosesnya juga rumit, ibarat naik ke puncak gedung pencakar langit melalui tangga biasa.
Terkadang kita demikian mudah mengucap demokrasi, memberi nama demokrasi kepada lembaga-lembaga yang kita dirikan agar tampak gagah dan modern, tetapi abai dalam menerapkan nilai-nilainya. Di masa lalu, dalam perjalanan sejarah bangsa kita, muncul berbagai penamaan sistem demokrasi.
Ada demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila yang hampir keseluruhannya hanyalah otoritarianisme berjubah demokrasi. Dalam kondisi kita hari ini, dengan sistem demokrasi multipartai, partai politik merupakan organisasi terbesar kedua setelah negara. Partai menjadi pertaruhan keberlangsungan demokrasi kita hari ini dan di masa depan.
Tanggung jawab partai politik dalam membangun demokrasi di Indonesia sangat besar. Untuk dapat berkontribusi membangun demokrasi di level kebangsaan dan kenegaraan, partai politik dituntut mampu menyelenggarakan demokrasi di lingkup internalnya. Sebab bagaimana mungkin dapat menularkan ke luar jika di partai sendiri masih bermasalah.
Potret kepartaian kita secara umum memiliki kecenderungan memunggungi kepentingan publik atau sekurang-kurangnya tidak responsif terhadap kepentingan publik. Partai terjebak dalam urusan internalnya akibat elite oligarkis di dalam partai memaksakan kepentingan eksklusifnya untuk terus mendapat privilege . Hal ini berdampak pada menguatnya antagonisme publik terhadap partai politik DPR. Kondisi ini harus menjadi peringatan bersama para kader partai politik di Indonesia.
SBY dan Demokrat
Sejak berdiri tahun 2001, Partai Demokrat (PD) menempuh perjalanan yang unik dan mengejutkan. Momen debutnya dalam Pemilu 2004 langsung mengantar partai berlambang bintang mercy ini ke puncak kekuasaan di negeri ini, yakni terpilihnya SBY sebagai presiden RI. Pada penampilan keduanya, Pemilu 2009, PD bahkan memenangi dua laga sekaligus, yakni pileg dan pilpres.
Pada Kongres II di Bandung tahun 2010, PD berhasil menggelar kongres dengan demokratis yang memilih Anas Urbaningrum sebagai ketua umum partai politik termuda. Inilah puncak kejayaan PD. Setiap kekuasaan ada masanya dan setiap masa ada penguasanya, demikian pula yang terjadi dalam PD pasca-2010.
Serangan-serangan eksternal dengan gencar menyulut simpul-simpul konflik di partai dan semuanya pun terbakar. Semua keajaiban PD telah berakhir dan zaman normal bermula. Figur SBY adalah figur utama yang brilian dan tidak ada bandingannya di PD. Beliau adalah anugerah bagi partai.
Faktanya figur SBY-lah yang membesarkan suara partai pada Pemilu 2004 dan 2009, bukan sebaliknya. Namun, di sisi lain, dominannya figur SBY juga menyebabkan sistem dan struktur partai tidak dapat berkembang, dikalahkan personalitas SBY. Dalam salah satu bagian perjalanannya, mantan ketua umum Anas Urbaningrum pernah bekerja sangat serius untuk membangun dan melembagakan ketokohan, ide, dan pemikiran SBY agar dapat menularkan ”tuah”-nya kepada partai.
Namun upaya ini terjegal, bahkan Anas menjadi korban dari intrik politik para Sengkuni. Ketika SBY memutuskan untuk mengambil alih kewenangan partai yang kemudian dikukuhkan dalam KLB PD 30-31 Maret 2013 selepas Anas Urbaningrum menyatakan berhenti, keputusan itu dilandasi keprihatinan atas situasi darurat yang sedang terjadi. SBY menyatakan hanya bersedia menjadi ketua umum partai hingga mengantarkan partai ke Pemilu 2014.
Namun, berkaca dari sejarah para pendahulu, situasi darurat adalah situasi paling nyaman bagi sejumlah kalangan yang memiliki bakat mengail keuntungan di air keruh masa darurat. Bagi mereka, jika diperbolehkan, situasi darurat harus diperpanjang hingga waktu tak terhingga agar semakin banyak keuntungan diperoleh. Kondisi inilah yang sedang terjadi di PD menjelang Kongres 2015.
SBY harus diakui sebagai tokoh politik yang sangat hebat dalam kapasitas dan konteks sebagai presiden Republik Indonesia. Namun dalam kapasitas dan konteks sebagai ketua umum PD, masih terbuka ruang untuk didiskusikan dengan jernih.
Beberapa hal yang dapat dicatat di sini adalah PD di bawah kepemimpinan SBY gagal mempertahankan suara partai 15% dalam Pileg 2014, gagal memperjuangkan peserta konvensi sebagai capres bahkan cawapres, gagal mengawal pilkada langsung dalam pembahasan RUU Pilkada dengan skenario walkout yang tidak bertanggung jawab, gagal menempatkan kader PD sebagai ketua MPR RI yang sudah dijanjikan.
Pada prinsipnya, PD di bawah kepemimpinan SBY gagal menempatkan siapa pun kecuali SBY dan segelintir kerabatnya. Di lingkup internal partai berlangsung praktik yang lebih buram. Puluhan ketua DPC dan DPD di-plt-kan dengan kesalahan dicari-cari hanya karena mereka dianggap dekat dengan mantan ketua umum Anas Urbaningrum.
Selepas pileg berlangsung drama yang sungguh memalukan di mana 8 anggota DPR RI yang terpilih secara sah dipecat oleh Mahkamah Partai tanpa alasan yang dapat dibenarkan hanya untuk memberikan kursi mereka kepada 8 kroni besar yang dekat dengan SBY. Dan saat ini sedang dilakukan penggalangan dukungan bermeterai di DPC-DPC untuk mencalonkan SBY secara aklamasi dalam kongres yang rencananya diadakan tahun 2015. Kesemua praktik buram di atas terjadi tepat di depan hidung SBY dan dibiarkan saja terjadi.
Ikhtiar Membangun Demokrasi
Demokrasi sejak diperkenalkan 2.500 tahun silam di Athena, Yunani, adalah ikhtiar panjang untuk memerangi kepentingan eksklusif dan menyebarkannya kepada publik luas. Demokrasi tidak ditujukan untuk terbangunnya poliarki sejumput elite, kartel, atau bahkan oligarki yang menghisap habis seluruh sumber daya untuk diri sendiri.
Apalagi hanya untuk sekawanan Sengkuni yang berkomplot berbisik tiap malam, menjadi benalu yang sibuk mencari keuntungan pribadi di dalam partai. SBY sebagai tokoh utama, figur, dan guru politik bagi banyak sekali orang termasuk penulis cukup lama dikenal sebagai tokoh demokrasi yang hari ini kesemuanya harus beliau pertaruhkan.
Kondisi kurang menguntungkan karena di seluruh dunia ini hanya Partai Demokrat yang ketua umum dan sekjennya adalah bapak dan anak, belum ditambah urutan panjang: ketua fraksi dijabat oleh anak kandung, bendahara fraksi dijabat tetangga rumah Cikeas, dan wakil ketua DPR RI dijabat oleh adik dari adik ipar.
Jika ingin tetap dikenang sebagai sang demokrat, SBY semestinya berusaha lebih keras untuk memenuhi standar demokrasi di PD. Beliau harus memberi contoh bagaimana melaksanakan ajaran sendiri. Beliau boleh saja turut mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai ketua umum, tetapi harus mengikuti proses pertarungan yang wajar,
bukan membiarkan saja dagelan pengumpulan dukungan bermeterai yang mengintimidasi DPC-DPC. Beliau wajib turut dalam ikhtiar membangun demokrasi untuk membuktikan bahwa PD adalah partai milik rakyat Indonesia, bukan partai milik keluarga dan tetangga. Inilah cara berdemokrasi di zaman normal.
Terkadang kita demikian mudah mengucap demokrasi, memberi nama demokrasi kepada lembaga-lembaga yang kita dirikan agar tampak gagah dan modern, tetapi abai dalam menerapkan nilai-nilainya. Di masa lalu, dalam perjalanan sejarah bangsa kita, muncul berbagai penamaan sistem demokrasi.
Ada demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila yang hampir keseluruhannya hanyalah otoritarianisme berjubah demokrasi. Dalam kondisi kita hari ini, dengan sistem demokrasi multipartai, partai politik merupakan organisasi terbesar kedua setelah negara. Partai menjadi pertaruhan keberlangsungan demokrasi kita hari ini dan di masa depan.
Tanggung jawab partai politik dalam membangun demokrasi di Indonesia sangat besar. Untuk dapat berkontribusi membangun demokrasi di level kebangsaan dan kenegaraan, partai politik dituntut mampu menyelenggarakan demokrasi di lingkup internalnya. Sebab bagaimana mungkin dapat menularkan ke luar jika di partai sendiri masih bermasalah.
Potret kepartaian kita secara umum memiliki kecenderungan memunggungi kepentingan publik atau sekurang-kurangnya tidak responsif terhadap kepentingan publik. Partai terjebak dalam urusan internalnya akibat elite oligarkis di dalam partai memaksakan kepentingan eksklusifnya untuk terus mendapat privilege . Hal ini berdampak pada menguatnya antagonisme publik terhadap partai politik DPR. Kondisi ini harus menjadi peringatan bersama para kader partai politik di Indonesia.
SBY dan Demokrat
Sejak berdiri tahun 2001, Partai Demokrat (PD) menempuh perjalanan yang unik dan mengejutkan. Momen debutnya dalam Pemilu 2004 langsung mengantar partai berlambang bintang mercy ini ke puncak kekuasaan di negeri ini, yakni terpilihnya SBY sebagai presiden RI. Pada penampilan keduanya, Pemilu 2009, PD bahkan memenangi dua laga sekaligus, yakni pileg dan pilpres.
Pada Kongres II di Bandung tahun 2010, PD berhasil menggelar kongres dengan demokratis yang memilih Anas Urbaningrum sebagai ketua umum partai politik termuda. Inilah puncak kejayaan PD. Setiap kekuasaan ada masanya dan setiap masa ada penguasanya, demikian pula yang terjadi dalam PD pasca-2010.
Serangan-serangan eksternal dengan gencar menyulut simpul-simpul konflik di partai dan semuanya pun terbakar. Semua keajaiban PD telah berakhir dan zaman normal bermula. Figur SBY adalah figur utama yang brilian dan tidak ada bandingannya di PD. Beliau adalah anugerah bagi partai.
Faktanya figur SBY-lah yang membesarkan suara partai pada Pemilu 2004 dan 2009, bukan sebaliknya. Namun, di sisi lain, dominannya figur SBY juga menyebabkan sistem dan struktur partai tidak dapat berkembang, dikalahkan personalitas SBY. Dalam salah satu bagian perjalanannya, mantan ketua umum Anas Urbaningrum pernah bekerja sangat serius untuk membangun dan melembagakan ketokohan, ide, dan pemikiran SBY agar dapat menularkan ”tuah”-nya kepada partai.
Namun upaya ini terjegal, bahkan Anas menjadi korban dari intrik politik para Sengkuni. Ketika SBY memutuskan untuk mengambil alih kewenangan partai yang kemudian dikukuhkan dalam KLB PD 30-31 Maret 2013 selepas Anas Urbaningrum menyatakan berhenti, keputusan itu dilandasi keprihatinan atas situasi darurat yang sedang terjadi. SBY menyatakan hanya bersedia menjadi ketua umum partai hingga mengantarkan partai ke Pemilu 2014.
Namun, berkaca dari sejarah para pendahulu, situasi darurat adalah situasi paling nyaman bagi sejumlah kalangan yang memiliki bakat mengail keuntungan di air keruh masa darurat. Bagi mereka, jika diperbolehkan, situasi darurat harus diperpanjang hingga waktu tak terhingga agar semakin banyak keuntungan diperoleh. Kondisi inilah yang sedang terjadi di PD menjelang Kongres 2015.
SBY harus diakui sebagai tokoh politik yang sangat hebat dalam kapasitas dan konteks sebagai presiden Republik Indonesia. Namun dalam kapasitas dan konteks sebagai ketua umum PD, masih terbuka ruang untuk didiskusikan dengan jernih.
Beberapa hal yang dapat dicatat di sini adalah PD di bawah kepemimpinan SBY gagal mempertahankan suara partai 15% dalam Pileg 2014, gagal memperjuangkan peserta konvensi sebagai capres bahkan cawapres, gagal mengawal pilkada langsung dalam pembahasan RUU Pilkada dengan skenario walkout yang tidak bertanggung jawab, gagal menempatkan kader PD sebagai ketua MPR RI yang sudah dijanjikan.
Pada prinsipnya, PD di bawah kepemimpinan SBY gagal menempatkan siapa pun kecuali SBY dan segelintir kerabatnya. Di lingkup internal partai berlangsung praktik yang lebih buram. Puluhan ketua DPC dan DPD di-plt-kan dengan kesalahan dicari-cari hanya karena mereka dianggap dekat dengan mantan ketua umum Anas Urbaningrum.
Selepas pileg berlangsung drama yang sungguh memalukan di mana 8 anggota DPR RI yang terpilih secara sah dipecat oleh Mahkamah Partai tanpa alasan yang dapat dibenarkan hanya untuk memberikan kursi mereka kepada 8 kroni besar yang dekat dengan SBY. Dan saat ini sedang dilakukan penggalangan dukungan bermeterai di DPC-DPC untuk mencalonkan SBY secara aklamasi dalam kongres yang rencananya diadakan tahun 2015. Kesemua praktik buram di atas terjadi tepat di depan hidung SBY dan dibiarkan saja terjadi.
Ikhtiar Membangun Demokrasi
Demokrasi sejak diperkenalkan 2.500 tahun silam di Athena, Yunani, adalah ikhtiar panjang untuk memerangi kepentingan eksklusif dan menyebarkannya kepada publik luas. Demokrasi tidak ditujukan untuk terbangunnya poliarki sejumput elite, kartel, atau bahkan oligarki yang menghisap habis seluruh sumber daya untuk diri sendiri.
Apalagi hanya untuk sekawanan Sengkuni yang berkomplot berbisik tiap malam, menjadi benalu yang sibuk mencari keuntungan pribadi di dalam partai. SBY sebagai tokoh utama, figur, dan guru politik bagi banyak sekali orang termasuk penulis cukup lama dikenal sebagai tokoh demokrasi yang hari ini kesemuanya harus beliau pertaruhkan.
Kondisi kurang menguntungkan karena di seluruh dunia ini hanya Partai Demokrat yang ketua umum dan sekjennya adalah bapak dan anak, belum ditambah urutan panjang: ketua fraksi dijabat oleh anak kandung, bendahara fraksi dijabat tetangga rumah Cikeas, dan wakil ketua DPR RI dijabat oleh adik dari adik ipar.
Jika ingin tetap dikenang sebagai sang demokrat, SBY semestinya berusaha lebih keras untuk memenuhi standar demokrasi di PD. Beliau harus memberi contoh bagaimana melaksanakan ajaran sendiri. Beliau boleh saja turut mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai ketua umum, tetapi harus mengikuti proses pertarungan yang wajar,
bukan membiarkan saja dagelan pengumpulan dukungan bermeterai yang mengintimidasi DPC-DPC. Beliau wajib turut dalam ikhtiar membangun demokrasi untuk membuktikan bahwa PD adalah partai milik rakyat Indonesia, bukan partai milik keluarga dan tetangga. Inilah cara berdemokrasi di zaman normal.
(bbg)