Prospek Perbankan 2015
A
A
A
Tahun 2015 telah di depan mata. Bagaimanaprospek perbankan nasional pada 2015? Sektor apa yang paling gurih untuk digarap bank nasional? Tak dapat disanggah, tahun depan akan sarat dengan tantangan.
Pertumbuhan ekonomi nasional masih bakal melambat. Sekiranya bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve alias The Fed jadi menaikkan suku bunga yang kini mencapai 0,25% menjadi minimal 1% pada 2015, maka BI Rate yang baru saja naik dari 7.50% menjadi 7,75% amat dicemaskan akan naik lagi. Likuiditas pun bakal kian ketat sehingga prospek perbankan nasional belum akan lebih cerah.
Pada akhir 2015, Masyarakat Ekonomi ASEAN akan efektif yang berarti persaingan di sektor perdagangan bakal lebih terbuka dan sengit. Meskipun sektor keuangan seperti perbankan dan pasar modal baru akan efektif 2020, bank nasional wajib berbenah diri. Oleh karena itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera melakukan konsolidasi perbankan melalui merger dan akuisisi. Bahkan OJK telah menggodok cetak biru (blue print) sektor jasa keuangan yang bertajuk Master Plan Jasa Keuangan Indonesia (MPJKI).
Gurihnya Kredit Mikro
Lantas, sektorapayangpaling basah untuk digarap bank nasional? Usaha kredit mikro, kecil dan menengah (UMKM) terutama kredit mikro. Mengapa demikian? Pertama, peluang masih terbuka lebar. Regulator sering mengimbau bank nasional agar mampu menembus perbankan internasional dengan membuka kantor di luar negeri. Seolah bank nasional diminta ambil strategi menyerang seperti dalam laga sepak bola.
Eit, tunggu dulu. Jangan hanya menyerang tetapi bank nasional juga harus mampu bertahan. Nah, untuk itu bank nasional jangan melupakan peluang bisnis yang selama ini kurang dirawat padahal menghasilkan rezeki yang legit. Apa itu? Kredit mikro. Bagaimana prospek usaha mikro? Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mencatat bahwa terdapat 55.206.444 unit usaha pada 2012.
Hal ini terdiri dari usaha mikro 54.559.969 (98,83%), usaha kecil 602.195 (1,09%) dan usaha menengah 44.280 (0,08%) unit. Dengan bahasa lebih bening, peluang bisnis kredit mikro begitu luas. Belum banyak bank nasional papan atas yang melirik sektor sederhana tetapi penuh pesona ini. BRI salah satunya yang setia menggarap kredit mikro. Tengok saja, pada kuartal III 2014 BRI sanggup mencetak laba bersih tertinggi Rp18,16triliunmelesat 18% dibandingkan dengan periode yang sama 2013.
Kredit mikro itu telah menyumbang cukup signifikan 31,97% dari total kredit BRI. Kinerja unggul itu jauh meninggalkan Bank Mandiri, BCA dan BNI. Laba bersih Bank Mandiri mencapai Rp14,45 triliun naik 12,89% dibayangi BCA Rp12,20 triliun melejit 17,70% dan BNI Rp7,61 triliun menebal 16,40%.
Padahal laba bersih sebagian bank nasional papan menengah justru menipis. Laba bersih Bank Danamon menurun 30% menjadi Rp2,11 triliun, CIMB Niaga menurun 28,5% menjadi Rp2,29 triliun, Bank Permata mengempis 6,06% menjadi Rp1,24 triliun dan Bank Bukopin merosot 8,29% menjadi Rp676,60 miliar. Langkah membumi BRI itu ternyata telah dibayangi bank lain.
Bank Mandiri mampu memacu pertumbuhan kredit mikro 31,4% atau Rp32,70 triliun. Pertumbuhan itu akan lebih digenjot melalui mobil mitra usaha (MobilMU) yang diluncurkan akhir November 2014 agar lebih mampu melakukan penetrasi pedesaan dan perkebunan. Bank Danamon pun telah mengucurkan kredit mikro Rp19,7 triliun. Kedua, sumber pendapatan bunga bersih (netinterestmargin/NIM).
Tak dapat disangkal lagi, kredit mikro merupakan sumber NIM tinggi lantaran menawarkan margin yang sangat tebal. NIM BRI naik 8,25% per September 2013 menjadi 8,78% per September 2014. Angka itu jauh di atas NIM kelompok bank persero 5,12% dan rata-rata industri yang justru menipis dari 5,46% menjadi 4,21% pada periode yang sama. Sementara NIM bank-bank di ASEAN berkisar 2-3%.
Artinya, peluang bisnis di dalam negeri masih sangat basah. Ketiga, tidak begitu sensitif terhadap kenaikan suku bunga. Kredit mikro itu dikenal sebagai sektor yang tidak begitu sensitif terhadap kenaikan suku bunga. Dengan bahasa lebih tegas, berapapun kenaikan suku bunga kredit ya tetap akan diambil. Maka menjadi tidak mengherankan ketika suku bunga kredit mikro masih bertengger di sekitar 30%.
Kelak manakala suku bunga kredit mikro naik karena BI Rate naik dari 7,50% menjadi 7,75%, kredit mikro tetap berjaya. Amati saja suku bunga rata-rata kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang selama ini rajin mengelola kredit mikro.
Statistik Perbankan Indonesia (SPI) mencatat suku bunga rata-rata BPR menipis dari 29,61% per Agustus 2014 menjadi 29,55% per September 2014 untuk kredit modal kerja dan dari 25,49% menjadi 25,47% untuk kredit konsumsi. Sementara itu, suku bunga ratarata kredit investasi justru menebal dari 25,89% menjadi 25,97%. Oleh sebab itu, OJK akan menetapkan batas atas premi risiko (risk premium) khusus untuk kredit mikro.
Siap Siaga
Namun, ingat, bank nasional wajib pula menjaga rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/ NPL) supaya tetap rendah. SPI menunjukkan NPL bank umum naik dari Rp58,61 triliun (1,86%) per September 2013 menjadi Rp81,68 triliun (2,29%) per September 2014. Itu peringatan keras bagi bank nasional untuk meningkatkan kualitas kredit.
Bagaimana kiatnya? Memperkaya pengetahuan dan keterampilan analis kredit (credit officer/CO) sehingga menghasilkan analisis yang akurat. Bank nasional pun perlu meningkatkan jumlah pemasar yang andal untuk mampu mencapai target tinggi dan menggalakkan penagih agar pembayaran angsuran selalu lancar. Apalagi, wong cilik itu lebih patuh dalam memenuhi kewajibannya.
Alhasil, kredit mikro bakal menjadi primadona pendapatan bank nasional. Dengan mengucurkan kredit mikro, bank nasional otomatis telah ikut memberdayakan ekonomi rakyat agar lebih perkasa. Peningkatan penyaluran kredit mikro akan menekan tingkat pengangguran terbuka yang kini mencapai 5,70% per Februari 2014. Bank nasional pun bakal meraih laba signifikan. Sungguh!
(bhr)
Pertumbuhan ekonomi nasional masih bakal melambat. Sekiranya bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve alias The Fed jadi menaikkan suku bunga yang kini mencapai 0,25% menjadi minimal 1% pada 2015, maka BI Rate yang baru saja naik dari 7.50% menjadi 7,75% amat dicemaskan akan naik lagi. Likuiditas pun bakal kian ketat sehingga prospek perbankan nasional belum akan lebih cerah.
Pada akhir 2015, Masyarakat Ekonomi ASEAN akan efektif yang berarti persaingan di sektor perdagangan bakal lebih terbuka dan sengit. Meskipun sektor keuangan seperti perbankan dan pasar modal baru akan efektif 2020, bank nasional wajib berbenah diri. Oleh karena itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera melakukan konsolidasi perbankan melalui merger dan akuisisi. Bahkan OJK telah menggodok cetak biru (blue print) sektor jasa keuangan yang bertajuk Master Plan Jasa Keuangan Indonesia (MPJKI).
Gurihnya Kredit Mikro
Lantas, sektorapayangpaling basah untuk digarap bank nasional? Usaha kredit mikro, kecil dan menengah (UMKM) terutama kredit mikro. Mengapa demikian? Pertama, peluang masih terbuka lebar. Regulator sering mengimbau bank nasional agar mampu menembus perbankan internasional dengan membuka kantor di luar negeri. Seolah bank nasional diminta ambil strategi menyerang seperti dalam laga sepak bola.
Eit, tunggu dulu. Jangan hanya menyerang tetapi bank nasional juga harus mampu bertahan. Nah, untuk itu bank nasional jangan melupakan peluang bisnis yang selama ini kurang dirawat padahal menghasilkan rezeki yang legit. Apa itu? Kredit mikro. Bagaimana prospek usaha mikro? Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mencatat bahwa terdapat 55.206.444 unit usaha pada 2012.
Hal ini terdiri dari usaha mikro 54.559.969 (98,83%), usaha kecil 602.195 (1,09%) dan usaha menengah 44.280 (0,08%) unit. Dengan bahasa lebih bening, peluang bisnis kredit mikro begitu luas. Belum banyak bank nasional papan atas yang melirik sektor sederhana tetapi penuh pesona ini. BRI salah satunya yang setia menggarap kredit mikro. Tengok saja, pada kuartal III 2014 BRI sanggup mencetak laba bersih tertinggi Rp18,16triliunmelesat 18% dibandingkan dengan periode yang sama 2013.
Kredit mikro itu telah menyumbang cukup signifikan 31,97% dari total kredit BRI. Kinerja unggul itu jauh meninggalkan Bank Mandiri, BCA dan BNI. Laba bersih Bank Mandiri mencapai Rp14,45 triliun naik 12,89% dibayangi BCA Rp12,20 triliun melejit 17,70% dan BNI Rp7,61 triliun menebal 16,40%.
Padahal laba bersih sebagian bank nasional papan menengah justru menipis. Laba bersih Bank Danamon menurun 30% menjadi Rp2,11 triliun, CIMB Niaga menurun 28,5% menjadi Rp2,29 triliun, Bank Permata mengempis 6,06% menjadi Rp1,24 triliun dan Bank Bukopin merosot 8,29% menjadi Rp676,60 miliar. Langkah membumi BRI itu ternyata telah dibayangi bank lain.
Bank Mandiri mampu memacu pertumbuhan kredit mikro 31,4% atau Rp32,70 triliun. Pertumbuhan itu akan lebih digenjot melalui mobil mitra usaha (MobilMU) yang diluncurkan akhir November 2014 agar lebih mampu melakukan penetrasi pedesaan dan perkebunan. Bank Danamon pun telah mengucurkan kredit mikro Rp19,7 triliun. Kedua, sumber pendapatan bunga bersih (netinterestmargin/NIM).
Tak dapat disangkal lagi, kredit mikro merupakan sumber NIM tinggi lantaran menawarkan margin yang sangat tebal. NIM BRI naik 8,25% per September 2013 menjadi 8,78% per September 2014. Angka itu jauh di atas NIM kelompok bank persero 5,12% dan rata-rata industri yang justru menipis dari 5,46% menjadi 4,21% pada periode yang sama. Sementara NIM bank-bank di ASEAN berkisar 2-3%.
Artinya, peluang bisnis di dalam negeri masih sangat basah. Ketiga, tidak begitu sensitif terhadap kenaikan suku bunga. Kredit mikro itu dikenal sebagai sektor yang tidak begitu sensitif terhadap kenaikan suku bunga. Dengan bahasa lebih tegas, berapapun kenaikan suku bunga kredit ya tetap akan diambil. Maka menjadi tidak mengherankan ketika suku bunga kredit mikro masih bertengger di sekitar 30%.
Kelak manakala suku bunga kredit mikro naik karena BI Rate naik dari 7,50% menjadi 7,75%, kredit mikro tetap berjaya. Amati saja suku bunga rata-rata kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang selama ini rajin mengelola kredit mikro.
Statistik Perbankan Indonesia (SPI) mencatat suku bunga rata-rata BPR menipis dari 29,61% per Agustus 2014 menjadi 29,55% per September 2014 untuk kredit modal kerja dan dari 25,49% menjadi 25,47% untuk kredit konsumsi. Sementara itu, suku bunga ratarata kredit investasi justru menebal dari 25,89% menjadi 25,97%. Oleh sebab itu, OJK akan menetapkan batas atas premi risiko (risk premium) khusus untuk kredit mikro.
Siap Siaga
Namun, ingat, bank nasional wajib pula menjaga rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/ NPL) supaya tetap rendah. SPI menunjukkan NPL bank umum naik dari Rp58,61 triliun (1,86%) per September 2013 menjadi Rp81,68 triliun (2,29%) per September 2014. Itu peringatan keras bagi bank nasional untuk meningkatkan kualitas kredit.
Bagaimana kiatnya? Memperkaya pengetahuan dan keterampilan analis kredit (credit officer/CO) sehingga menghasilkan analisis yang akurat. Bank nasional pun perlu meningkatkan jumlah pemasar yang andal untuk mampu mencapai target tinggi dan menggalakkan penagih agar pembayaran angsuran selalu lancar. Apalagi, wong cilik itu lebih patuh dalam memenuhi kewajibannya.
Alhasil, kredit mikro bakal menjadi primadona pendapatan bank nasional. Dengan mengucurkan kredit mikro, bank nasional otomatis telah ikut memberdayakan ekonomi rakyat agar lebih perkasa. Peningkatan penyaluran kredit mikro akan menekan tingkat pengangguran terbuka yang kini mencapai 5,70% per Februari 2014. Bank nasional pun bakal meraih laba signifikan. Sungguh!
(bhr)
(bhr)