Parpol Jangan Terbelah (Catatan Akhir Tahun Demokrasi)
A
A
A
Konflik internal dua partai politik besar belakangan ini menjadi ukuran bahwa di negeri ini belum sepenuhnya dewasa dalam membangun demokrasi. Dua partai tersebut adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golongan Karya (Golkar) yang sebetulnya bisa disebut “partai senior” karena merupakan partai yang sudah eksis sejak Orde Baru.
Seharusnya mereka lebih matang dalam menata organisasi dan pergantian kepemimpinan, bukan malah terjebak pada permainan dan kepentingan kelompok. Salah satu penyebab kedua partai itu berkonflik lantaran terjebak antara mendukung atau tidak mendukung pemerintahan baru.
Dua kelompok elite parpol saling mengklaim kebenarannya sendiri untuk memperebutkan Ketua Umum dengan beragam kepentingan. Jika dilihat perjalanan sejarahnya, PPP dan Golkar punya prestasi di saat Orde Baru. PPP berhasil dengan posisinya yang selalu di luar pemerintahan, meski beberapa kali ada kadernya dijadikan menteri oleh penguasa Orde Baru. Sedangkan Golkar begitu kokoh menjadi pendukung pemerintah (the ruling party) selama hampir 32 tahun.
Tetapi kisruh internal kali ini malah dibelah oleh keinginan untuk masuk dalam jajaran koalisi partai pemerintah di bawah kendali Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Kelompok lainnya bertekad di luar kekuasaan di bawah Koalisi Merah Putih (KMP). Wajar jika ada tudingan pemerintahan Jokowi-JK punya andil dari terbelahnya soliditas partai yang sejak awal mendukung calon Presiden Prabowo Subianto.
Jaga Soliditas
PPP terbelah setelah dua kubu melakukan muktamar. Kubu Romahurmuziy (Romy) bermuktamar di Surabaya, sedangkan kubu Suryadharma Ali memilih Jakarta sebagai tempat muktamar dengan memilih Djan Faridz sebagai Ketua Umum. Kepengurusan Muktamar Surabaya di bawah pimpinan Romy yang didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM dinyatakan tidak boleh melakukan kegiatan, setelah digugat di PTUN oleh kubu Djan Faridz.
Akibatnya, tidak sedikit pengurus DPW PPP menjadi korban pemecatan dari Ketua Umum PPP versi Muktamar Surabaya lantaran mendukung kubu Muktamar Jakarta. Bagi Golkar yang ikut-ikutan terbelah, setelah Aburizal Bakrie (ARB) terpilih kembali dalam musyawarah nasional (munas) di Bali, kemudian kubu Agung Laksono juga melakukan munas tandingan di Ancol, Jakarta.
Kedua susunan pengurus DPP sudah didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM, tetapi dikembalikan ke Mahkamah Partai untuk diselesaikan melalui rekonsiliasi secara musyawarah dan mufakat, sesuai Pasal 32 Ayat (3) UU Nomor 8/2008 tentang Parpol. Pihak yang tidak menerima keputusan itu dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri (Pasal 32 Ayat 2 UU Parpol).
Fenomena dualisme kepengurusan cukup menghantui sejumlah partai jelang masa akhir jabatan tahun 2015, terutama partai yang tergabung dalam KMP. Partai Gerindra, PAN, dan PKS harus hati-hati dari kemungkinan perpecahan internal. Meski ketiga parpol itu punya tokoh sentral yang punya karisma menenteramkan kader dan elite parpol dalam perbedaan pendapat, tetapi tidak tertutup adanya celah yang bisa dimasuki orang luar untuk memecah belah kesolidan mereka.
Gerindra ada Prabowo Subianto yang punya karisma untuk menangkal isu mendukung pemerintah yang bisa menimbulkan perpecahan. Begitu pula PAN, ada Amien Rais sebagaipemegang kebijakan partai, bahkan PAN punya sistem kuat dalam pergantian kepemimpinan.
Bagi PKS yang dikenal partai kader dengan jenjang pengaderan dari tingkat bawah sampai DPP, sehingga soliditas mereka sangat kuat dan tidak mudah dipecah. Meski begitu, harus tetap waspada dan menjaga soliditas kader agar tidak mudah dibenturkan. Kita ingin parpol yang kuat, sebab dualisme kepengurusan di PPP dan Golkar jelas tidak kondusif bagi pembangunan demokrasi ke depan.
Regenerasi dan Kaderisasi
Salah satu yang sering disoroti pada sebagian besar parpol adalah soal regenerasi dan kaderisasi. Pimpinan parpol selalu tidak sadar akan hal itu. Biasanya barulah tersentak tentang pentingnya regenerasi dan kaderisasi saat menyusun calon anggota legislatif (caleg) menjelang pemilu.
Partai kelimpungan mencari caleg untuk memenuhi ketentuan undang-undang, sehingga banyak caleg yang dipasang tidak dikenal reputasinya. Hanya sekadar memburu kepentingan sesaat dengan mengandalkan kemampuan finansial dan elektabilitas belaka.
Masih kuatnya dominasi tokoh senior (tokoh tua) pada pucuk kepemimpinan parpol, menjadi indikasi kalau parpol sedang krisis regenerasi dan kaderisasi. Sebut saja, Megawati Soekarnoputri di PDIP, ARB di Partai Golkar, Prabowo Subianto di Partai Gerindra, Surya Paloh di Partai Nasdem, Wiranto di Partai Hanura, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Partai Demokrat.
Tetapi karena tokoh itu masih dibutuhkan sebagai pemersatu yang karismatik dan panutan kader, posisinya sangat sulit digantikan oleh kader muda. Salah satu penyebab krisis regenerasi yang dialami sebagian besar parpol ialah tidak adanya upaya maksimal melakukan pengaderan untuk dipersiapkan menjadi pemimpin.
Calon pemimpin diukur melalui lamanya menjadi pengurus dan jabatan apa yang pernah dipegang, serta mampu memengaruhi pemilik suara yang ada di kepengurusan daerah. Bahkan ada yang bisa jadi ketua umum parpol tanpa pernah menjadi pengurus teras, tanpa melalui jenjang pengaderan, tetapi hanya karena punya kekuasaan dan uang. Kader muda potensial di parpol sepertinya kurang mendapat ruang yang memadai.
Apalagi kalau berpikiran progresif untuk perubahan sesuai kehendak rakyat, yang kadang tidak sejalan dengan kebijakan dan pemikiran elite partai. Padahal, pemikiran kaum muda senantiasa berkumandang di balik setiap episode penting perjalanan bangsa. Sangat beralasan apabila tiap parpol berani mempromosikan kader muda di levelkepemimpinannasional.
Tokoh senior elite parpol diharapkan cepat menyadari hal ini betapa urgennya keterlibatan tokoh muda dalam jajaran kepengurusan partai. Jika parpol ingin tetap eksis dalam jangka panjang dan tidak terbelah oleh konflik, tuntutan untuk melahirkan generasi politik muda merupakan sesuatu yang niscaya.
Seharusnya mereka lebih matang dalam menata organisasi dan pergantian kepemimpinan, bukan malah terjebak pada permainan dan kepentingan kelompok. Salah satu penyebab kedua partai itu berkonflik lantaran terjebak antara mendukung atau tidak mendukung pemerintahan baru.
Dua kelompok elite parpol saling mengklaim kebenarannya sendiri untuk memperebutkan Ketua Umum dengan beragam kepentingan. Jika dilihat perjalanan sejarahnya, PPP dan Golkar punya prestasi di saat Orde Baru. PPP berhasil dengan posisinya yang selalu di luar pemerintahan, meski beberapa kali ada kadernya dijadikan menteri oleh penguasa Orde Baru. Sedangkan Golkar begitu kokoh menjadi pendukung pemerintah (the ruling party) selama hampir 32 tahun.
Tetapi kisruh internal kali ini malah dibelah oleh keinginan untuk masuk dalam jajaran koalisi partai pemerintah di bawah kendali Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Kelompok lainnya bertekad di luar kekuasaan di bawah Koalisi Merah Putih (KMP). Wajar jika ada tudingan pemerintahan Jokowi-JK punya andil dari terbelahnya soliditas partai yang sejak awal mendukung calon Presiden Prabowo Subianto.
Jaga Soliditas
PPP terbelah setelah dua kubu melakukan muktamar. Kubu Romahurmuziy (Romy) bermuktamar di Surabaya, sedangkan kubu Suryadharma Ali memilih Jakarta sebagai tempat muktamar dengan memilih Djan Faridz sebagai Ketua Umum. Kepengurusan Muktamar Surabaya di bawah pimpinan Romy yang didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM dinyatakan tidak boleh melakukan kegiatan, setelah digugat di PTUN oleh kubu Djan Faridz.
Akibatnya, tidak sedikit pengurus DPW PPP menjadi korban pemecatan dari Ketua Umum PPP versi Muktamar Surabaya lantaran mendukung kubu Muktamar Jakarta. Bagi Golkar yang ikut-ikutan terbelah, setelah Aburizal Bakrie (ARB) terpilih kembali dalam musyawarah nasional (munas) di Bali, kemudian kubu Agung Laksono juga melakukan munas tandingan di Ancol, Jakarta.
Kedua susunan pengurus DPP sudah didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM, tetapi dikembalikan ke Mahkamah Partai untuk diselesaikan melalui rekonsiliasi secara musyawarah dan mufakat, sesuai Pasal 32 Ayat (3) UU Nomor 8/2008 tentang Parpol. Pihak yang tidak menerima keputusan itu dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri (Pasal 32 Ayat 2 UU Parpol).
Fenomena dualisme kepengurusan cukup menghantui sejumlah partai jelang masa akhir jabatan tahun 2015, terutama partai yang tergabung dalam KMP. Partai Gerindra, PAN, dan PKS harus hati-hati dari kemungkinan perpecahan internal. Meski ketiga parpol itu punya tokoh sentral yang punya karisma menenteramkan kader dan elite parpol dalam perbedaan pendapat, tetapi tidak tertutup adanya celah yang bisa dimasuki orang luar untuk memecah belah kesolidan mereka.
Gerindra ada Prabowo Subianto yang punya karisma untuk menangkal isu mendukung pemerintah yang bisa menimbulkan perpecahan. Begitu pula PAN, ada Amien Rais sebagaipemegang kebijakan partai, bahkan PAN punya sistem kuat dalam pergantian kepemimpinan.
Bagi PKS yang dikenal partai kader dengan jenjang pengaderan dari tingkat bawah sampai DPP, sehingga soliditas mereka sangat kuat dan tidak mudah dipecah. Meski begitu, harus tetap waspada dan menjaga soliditas kader agar tidak mudah dibenturkan. Kita ingin parpol yang kuat, sebab dualisme kepengurusan di PPP dan Golkar jelas tidak kondusif bagi pembangunan demokrasi ke depan.
Regenerasi dan Kaderisasi
Salah satu yang sering disoroti pada sebagian besar parpol adalah soal regenerasi dan kaderisasi. Pimpinan parpol selalu tidak sadar akan hal itu. Biasanya barulah tersentak tentang pentingnya regenerasi dan kaderisasi saat menyusun calon anggota legislatif (caleg) menjelang pemilu.
Partai kelimpungan mencari caleg untuk memenuhi ketentuan undang-undang, sehingga banyak caleg yang dipasang tidak dikenal reputasinya. Hanya sekadar memburu kepentingan sesaat dengan mengandalkan kemampuan finansial dan elektabilitas belaka.
Masih kuatnya dominasi tokoh senior (tokoh tua) pada pucuk kepemimpinan parpol, menjadi indikasi kalau parpol sedang krisis regenerasi dan kaderisasi. Sebut saja, Megawati Soekarnoputri di PDIP, ARB di Partai Golkar, Prabowo Subianto di Partai Gerindra, Surya Paloh di Partai Nasdem, Wiranto di Partai Hanura, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Partai Demokrat.
Tetapi karena tokoh itu masih dibutuhkan sebagai pemersatu yang karismatik dan panutan kader, posisinya sangat sulit digantikan oleh kader muda. Salah satu penyebab krisis regenerasi yang dialami sebagian besar parpol ialah tidak adanya upaya maksimal melakukan pengaderan untuk dipersiapkan menjadi pemimpin.
Calon pemimpin diukur melalui lamanya menjadi pengurus dan jabatan apa yang pernah dipegang, serta mampu memengaruhi pemilik suara yang ada di kepengurusan daerah. Bahkan ada yang bisa jadi ketua umum parpol tanpa pernah menjadi pengurus teras, tanpa melalui jenjang pengaderan, tetapi hanya karena punya kekuasaan dan uang. Kader muda potensial di parpol sepertinya kurang mendapat ruang yang memadai.
Apalagi kalau berpikiran progresif untuk perubahan sesuai kehendak rakyat, yang kadang tidak sejalan dengan kebijakan dan pemikiran elite partai. Padahal, pemikiran kaum muda senantiasa berkumandang di balik setiap episode penting perjalanan bangsa. Sangat beralasan apabila tiap parpol berani mempromosikan kader muda di levelkepemimpinannasional.
Tokoh senior elite parpol diharapkan cepat menyadari hal ini betapa urgennya keterlibatan tokoh muda dalam jajaran kepengurusan partai. Jika parpol ingin tetap eksis dalam jangka panjang dan tidak terbelah oleh konflik, tuntutan untuk melahirkan generasi politik muda merupakan sesuatu yang niscaya.
(bbg)