Dalil Wheare tentang Konstitusi

Sabtu, 20 Desember 2014 - 11:16 WIB
Dalil Wheare tentang...
Dalil Wheare tentang Konstitusi
A A A
”Tidak ada reformasi tanpa amendemen konstitusi,” demikian diteriakkan para pejuang reformasi kita pada awalawal Reformasi 1998-1999.

Maka dilakukanlah serangkaian amendemen atas UUD 1945 (pada 1999-2002). Ketika kini ternyata Indonesia tidak menjadi lebih baik, banyaklah yang menyalahkan dilakukannya amendemen konstitusi itu. Ada yang mengatakan bahwa amendemen konstitusi telah kebablasan, emosional, terburuburu, dan mengkhianati kesepakatan para pendiri negara. Mereka mengusulkan agar kita segera kembali ke UUD 1945 yang asli.

Ada juga yang mengusulkan agar dilakukan amendemen lanjutan karena hasil amendemen pertama yang dilakukan dalam empat tahap belum sempurna sehingga perlu dilanjutkan dengan tahap kelima. Ada yang juga nimbrung, amendemen kita keliru karena tidak mengikuti teori konstitusi yang berlaku di Negara tertentu.

Penilaian-penilaian seperti itu boleh saja, tetapi haruslah diingat bahwa UUD yang berlaku di suatu negara itu takkan pernah bisa dikategorikan benar atau salah, baik atau jelek. Benar atau salahnya dan baik atau jeleknya konstitusi itu relatif dan takkan pernah bisa disepakati semua orang. Benar kata A, salah kata B; bagus kata C, jelek kata D. UUD yang sah itu harus ditaati bukan karena benar atau baik, tetapi karena dinyatakan berlaku secara sah oleh lembaga yang memang berhak memberlakukannya.

Oleh sebab itu seumpama pun kita akan mengamendemen UUD lagi pastilah hasilnya akan ada yang mengkritik lagi. Begawan konstitusi KC Wheare di dalam bukunya The Modern Constitutions mengatakan bahwa konstitusi merupakan resultante atau kesepakatan para pembentuknya sesuai situasi dan kondisi politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada saat dibuat. Dalil Wheare ini, bagi kita, sekurang-kurangnya mempunyai dua arti. Pertama, setiap konstitusi bisa diubah sesuai dengan kebutuhan tempat dan waktu atau perubahan situasi.

Jadi ketika dulu kita membuat UUD 1945 kemudian mengamendemennya pada tahun 1999 dan sekarang mau mengubahnya lagi itu biasa saja jika diperlukan resultante baru karena situasi dan kebutuhan baru. Kedua, konstitusi suatu negara tidak harus mengikuti atau tidak mengikuti teori tertentu atau konstitusi yang berlaku di negara lain.

Konstitusi setiap negara dibuat berdasarkan kebutuhannya sendiri-sendiri yang boleh mengikuti tetapi tidak harus mengikuti teori yang berlaku di negara lain. Teori yang realistis tentang pembentukan konstitusi adalah ”teori tidak harus ikut teori”. Ketika membentuk UUD 1945 para pendiri negara seperti Bung Karno, Bung Hatta, dan Prof Soepomo jelas-jelas mengatakan bahwa kita akan membuat konstitusi berdasar kebutuhan kita sendiri.

Begitu juga yang pernah dikatakan Ki Hajar Dewantara. Ini penting dikatakan karena kerap kali ada ilmuwan secara genit mencerca konstitusi dengan mengatakan bahwa konstitusi kita salah karena tidak sesuai dengan teori trias politika yang murni sehingga banci. Konstitusi kita tidak murni seperti negara Amerika atau Inggris, mengarang- ngarang sendiri.

Sejak awal para pendiri negara ini sudah mengatakan kita tidak mengikuti trias politika meskipun ada pengaruh konsepnya. Pada UUD 1945 yang pertama (sering disebut sebagai UUD yang asli) misalnya, kita tidak menciptakan tiga poros kekuasaan sejajar seperti ide dasar trias politika, melainkan membuat model sendiri, yakni panca as politika (lima poros kekuasan), yakni legislatif (DPR dan Presiden), eksekutif (Presiden), yudikatif (Mahkamah Agung), auditif (Badan Pemeriksa Keuangan), dan konsultatif (Dewan Pertimbangan Agung).

Di atas lima poros kekuasaan itu ada satu pemegang kekuasaan suprematif, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sehingga hubungan strukturalnya bersifat ”vertikal-struktural”, artinya ada yang diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara. Selanjutnya pada saat melakukan amendemen atas UUD 1945, pada 1999-2002, kita pun tidak mengikuti trias politika, melainkan membuat poros-poros kekuasaan sendiri lagi sehingga menjadi hasta as politika (delapan poros kekuasaan), yakni MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, Mahkmah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.

Delapan poros kekuasaan itu strukturnya tersusun dalam hubungan ”horizontal- fungsional”, kedudukannya sejajar sehingga tidak ada yang diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara. Mana yang lebih benar dan bagus di antara UUD 1945 yang asli dan yang hasil amendemen?

Tidak ada yang lebih benar atau lebih bagus, tidak ada yang lebih salah atau jelek karena keduanya merupakan resultante sesuai kebutuhan pada saat dibuat. Jadi kalau nanti kita akan membuat amendemen lagi berarti akan membuat resultante baru karena kebutuhan baru yang muncul dari situasi dan kondisi poleksosbud baru di dalam masyarakat. Namun, harus disadari, apa pun hasil amendemen itu nanti pasti ada yang suka dan tidak suka lagi.

Sebenarnya yang kita perlukan adalah membangun kebiasaan hidup secara konstitusional, yakni hidup dengan menaati konstitusi yang berlaku karena sudah disepakati keberlakuannya oleh pembentuk yang berhak. Jadi kalau nanti ada amendemen lagi, kita harus taat dan konsisten melaksanakannya bukan karena isinya benar atau baik, melainkan karena disepakati sebagai resultante baru.

Sebenarnya yang kita butuhkan sekarang ini bukan lagi perbaikan konstitusi, melainkan peneguhan konsistensi, yakni sikap kolektif untuk tunduk pada konstitusi yang berlaku. Soalnya, aparat pemerintah dan aparat penegak hukumlah yang sering tidak konsisten pada konstitusi dan hukum sehingga keadaan menjadi begini-begini terus.

Moh Mahfud MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0872 seconds (0.1#10.140)