Jaksa Agung dan Jaminan Penegakan Hukum

Rabu, 26 November 2014 - 10:44 WIB
Jaksa Agung dan Jaminan...
Jaksa Agung dan Jaminan Penegakan Hukum
A A A
FRANS H WINARTA
Ketua Umum Peradin dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan

Pengumuman nama menteri- menteri di Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukan merupakan akhir dari tugas Presiden Jokowi dalam memilih the right man in the right place untuk mengurus negara ini.

Beberapa waktu lalu tidak pelak lagi bahwa pemilihan jaksa agung RI merupakan dilema tersendiri bagi Presiden Jokowi karena memakan waktu yang cukup lama dalam pemilihan tersebut. Namun, pengangkatan M Prasetyo sebagai jaksa agung RI pada 20 November 2014 tetap saja menuai banyak kritikan dari berbagai pihak.

Ada kekhawatiran bahwa revolusi mental yang dicanangkan Presiden Jokowi tidak akan berjalan dengan baik karena jaksa agung RI terpilih tersebut merupakan orang dalam yang dianggap konservatif dan di-takutkan tidak akan reformis membersihkan diri ke dalam internal kejaksaan. Padahal, integritas dan profesionalisme yang dituntut dari jabatan jaksa agung RI sungguh diharapkan oleh masyarakat Indonesia.

Apalagi saat ini kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap penegak hukum khususnya Kejaksaan RI sangatlah rendah, serta agenda pemberantasan korupsi dan pengembalian aset (asset recovery ) selama ini lamban dengan berbagai alasan yang menghambat. Kemudian banyak pula deretan putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht ) yang antre dan tidak segera dieksekusi karena ada berbagai pertimbangan politis dan intervensi kekuasaan.

Selain itu juga mengenai persoalan pelanggaran hak asasi manusia masa lalu (past human rights abuses) yang mandek karena tidak ada kemauan keras menyelesaikan itu. Dalam penegakan hukum, tentu saja selain keadilan yang harus diutamakan, harus ada juga penghormatan hak asasi manusia terhadap tiap individu sesuai perlindungan yang diberikan konstitusi (UUD 1945) dan undang- undang.

Berkaca pada hal tersebut, apakah figur jaksa agung RI terpilih saat ini merupakan figur yang dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi para korban serta keluarga korban yang ditinggalkan. Saat ini enam puluh sembilan tahun setelah kemerdekaan Indonesia, pelanggaran hak asasi manusia seperti kejahatan terhadap kemanusiaan, pembasmian etnis, terorisme, dan pelanggaran hak asasi manusia pada umumnya seperti penembak misterius, peristiwa Trisakti, peristiwa Lampung, peristiwa Tanjung Priok, peristiwa Semanggi, pembantaian Santa Cruz, pelanggaran hak asasi di Aceh dan Papua, kasus Marsinah, dan kasus Munir, masih menyisakan duka yang mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan.

Karena itu, pemikiran tentang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Commission of Truth and Reconciliation) pada zaman pemerintahan Abdurrahman Wahid perlu dipikirkan dan dikaji ulang untuk mengatasi sejarah hitam pelanggaran hak asasi manusia masa lalu (past human rights abuses ).

Kita tidak dapat hidup terus-menerus dengan sejarah masa lalu c.q. pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan masif (gross violation of human rights). Untuk tidak terus-menerus dibayangi masa lalu, perlu dimunculkan lagi kemungkinan membentuk komisi tersebut.

Jika Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada akhirnya terbentuk, diharapkan pelanggaran hak asasi manusia masa lalu tersebut dapat diselesaikan dengan tuntas. Presiden dapat memilih alternatif berupa pemberian maaf secara terbuka kepada pihak yang terlibat, permohonan maaf di hadapan publik oleh pelaku terutama mantan pimpinan lembaga penegak hukum atau keamanan yang merupakan penggagas (actor intelectualis), atau rehabilitasi dan ganti rugi kepada keluarga para korban.

Intinya, penyelesaian yang manusiawi dan pemberian maaf dapat dijadikan langkah alternatif dalam mengupayakan gagasan pembentukan komisi tersebut. Hal serupa juga perlu diterapkan dalam persoalan korupsi yang pada dekade terakhir ini dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang serius, dengan ada gagasan PBB untuk memulai gagasan UNCAC (United Nations Convention Against Corruptions).

Korupsi dianggap menciptakan kemiskinan, kebodohan, kriminalitas, dan pemerintahan yang tidak efisien yang bertentangan dengan konsep good governance (pemerintahan yang efisien). Kejahatan korupsi biasanya dekat dengan praktik pencucian uang (money laundering). Karena itu, pemerintahan Jokowi-JK harus membuat kebijakan bagaimana mengatasi korupsi yang semakin merajalela.

Apalagi, tidak semua korupsi murni dilakukan oleh keinginan pelakunya, tidak sedikit korupsi justru diakibatkan oleh sistem yang sudah terbangun dengan mapannya sehingga siapa pun yang memangku kekuasaan tersebut, mau tidak mau, akan terseret dalam korupsi. Penegakan hukum harus segera dimulai dengan kekuatan penuh. Jaksa agung adalah penegak hukum. Walau berada di dalam kabinet, dalam menegakkan hukum dia harus tegas dan independen.

Dia tidak boleh didikte oleh atasannya. Karena jaksa agung sudah terpilih, fair jika masyarakat memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk menjalankan tugas dan kewajibannya. Namun, jika dalam kurun waktu 100 hari tidak ada petunjuk gebrakan berarti dan signifikan dalam penegakan hukum, jaksa agung RI harus diganti. Begitu pula dengan menteri-menteri yang lain.

Penegakan hukum salah satu pekerjaan rumah besar pemerintahan sekarang. Pembangunan ekonomi tanpa penegakan hukum yang dikawal oleh kepastian hukum akan menjadi gagal. Rule of law adalah conditio sine qua non Indonesia dalam pembangunan ke depan.

Nelson Mandela, seorang pejuang hak asasi manusia, sekali waktu pernah berkata: ” A good head and a good heart are always a formidable combination.” Selain memiliki rekam jejak yang bersih, jaksa agung RI yang baru nanti juga memiliki integritas dan rasa kemanusiaan yang tinggi. Dia harus tegas mengingat banyak putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi belum juga dieksekusi sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Semua itu demi Indonesia baru ke depan di bawah kepemimpinan Jokowi dan JK.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0615 seconds (0.1#10.140)