BBM, Pangan, dan Urbanisasi

Rabu, 26 November 2014 - 10:43 WIB
BBM, Pangan, dan Urbanisasi
BBM, Pangan, dan Urbanisasi
A A A
POSMAN SIBUEA
Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara,
Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)

Pemerintahan Jokowi-JK sudah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Kenaikan harga BBM di satu sisi akan mengatrol laju inflasi dan mengancam pemulihan ekonomi sebab mendorong kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok.

Namun, di sisi lain ia akan mengurangi beban subsidi pada APBN. Pemerintah memang menghadapi persoalan dilematis yang sulit dipecahkan. BBM adalah kebutuhan pokok masyarakat, sama halnya bahan pangan seperti beras, gula, kedelai, jagung dan daging, serta bahan sembako lainnya. Kebutuhan pokok ini menjadi komo-ditas politik, sedikit saja terpe-ngaruh stok dan harga bisa menuai pro dan kontra di tengah warga.

Pembangunan Pertanian

Salah satu rencana pemerintah terkait pengalihan subsidi BBM adalah perbaikan dan pembuatan irigasi baru untuk percepatan pembangunan pertanian. Dalam waktu tiga tahun ke depan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat harus tercapai seperti janji Jokowi-JK saat kampanye pilpres.

Namun, pertanyaan yang segera muncul adalah bagaimana upaya pemerintah mengatasi laju urbanisasi yang jumlahnya setiap tahun terus bertambah. Mereka petani dan buruh tani dari desa yang mencoba keberuntungan di kota. Fenomena kian kencangnya arus urbanisasi akhir-akhir ini selain disebabkan masalah sosial kependudukan yang makin kompleks, juga dipicu persoalan ekonomi.

Penduduk desa terdorong pindah ke kota sebab sektor pertanian sulit diandalkan untuk sandaran hidup. Kota menjanjikan kehidupan lebih manis dan menggiurkan karena pembangunan yang menumpuk di sana menjadi magnet kuat menarik kaum urban. Mereka masih beranggapan sepahit- pahitnya hidup di kota masih lebih manis ketimbang hidup di desa.

Penyelesaian urbanisasi yang menjadi masalah klasik tahunan untuk kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan belum menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya yakni kemiskinan. Sulitnya mendapatkan pekerjaan di desa dan besarnya kesenjangan tingkat pendapatan antara warga desa dan kota membuat arus urbanisasi semakin sulit terbendung dan jumlah kaum urban bertambah secara bermakna setiap tahun.

Jumlah warga miskin dan berpotensi untuk miskin di Indonesia masih tetap tinggi meski pemerintah acap menyebut angka kemiskinan menurun setiap tahun. Sekadar menyebut contoh pada 2012 angka kemiskinan menurun menjadi 11,66% dari 12,36% pada 2011. Dari segi jumlah, penduduk yang kategori miskin berkurang dari 29,89 juta (2011) menjadi 28,59 juta dengan garis kemiskinan (pengeluaran per orang per bulan) sebesar Rp259.520 untuk 2012.

Kinerja pemerintahan sebelumnya dalam memerangi kemiskinan memang tergolong kurang dahsyat. Mereka belum mampu mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Pada 2004 angka kemiskinan nasional bertengger pada posisi 16,00%. Artinya dalam waktu sekitar sepuluh tahun pemerintahan SBY, angka kemiskinan hanya turun 4,34%. Padahal kemampuan anggaran negara sangat jauh lebih besar dibanding pada masa-masa sebelumnya.

Rapor merah Pemerintah Indonesia dalam mengurangi jumlah kemiskinan dan mengatrol tingkat pendapatan masyarakat desa semakin terang benderang jika disandingkan dengan prestasi negara lain. China sebagai serpihan contoh, pemerintahnya mempunyai rekam jejak yang baik dalam penurunan angka kemiskinan. Data Bank Dunia (2005) menunjukkan penduduk China dengan pendapatan kurang dari USD2 per hari sebesar 36,3%.

Di Indonesia, yang memulai pembangunan ekonomi lebih awal, ternyata pada 2009 jumlah penduduk dengan pendapatan kurang dari USD2 per hari masih 50,9%. Lantas pertanyaannya, pelajaran apa yang patut dipetik dari keberhasilan Pemerintah China mengurangi laju kemiskinan penduduknya? Jurus jitu pemerintah Negeri Tirai Bambu ini dalam memerangi kemiskinan adalah menggenjot percepatan pembangunan pertanian pangan yang melibatkan penduduk miskin di perdesaan.

Kembali ke Pertanian

Seiring kenaikan harga BBM, pemerintahan Jokowi- JK dengan kabinet kerjanya harus segera melakukan koreksi kebijakan pembangunan ekonomi kerakyatan lewat jurus baru revolusi mental untuk membangkitkan pertanian pangan yang berpusat di perdesaan. Dengan dana yang tersedia dari pengalihan subsidi konsumtif ke sektor produktif, pemerintah bisa melakukan percepatan pembangunan pertanian.

Prasarana mulai dari transportasi, bibit unggul, pupuk, dan jaminan harga harus segera ditata kembali guna meningkatkan kesejahteraan petani. Data terkini dari BPS menyebutkan bahwa kontribusi makanan terhadap garis kemiskinan masih amat besar. Sekitar tiga perempat pengeluaran orang miskin masih dialokasikan untuk pembelian makanan.

Implikasinya, jika masyarakat miskin dan petani bisa memproduksi sendiri kebutuhan pangan keluarga, sudah pasti mereka dapat keluar dari lingkaran kemiskinan. Namun, jika harus membeli, apalagi sumbernya dari impor, mereka akan mengalami proses pemiskinan yang lebih buruk di tengah inflasi tinggi yang didorong kian mahalnya harga makanan. Puncak inflasi tahun ini kemungkinan akan terjadi pada Desember 2014.

Dari data yang ada, inflasi tertinggi dalam kurun waktu lima tahun terakhir terjadi saat kenaikan harga BBM dan diikuti laju kenaikan harga bahan makanan. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, inflasi bahan makanan relatif sangat tinggi. Warga miskin, meski hampir 65% tinggal di desa, sebagian besar mereka adalah buruh tani yang memenuhi kebutuhan bahan pangan dengan membeli.

Bermukim di sentra-sentra pertanian, namun untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka harus mengulurkan uang dari saku alias membeli. Pertanyaannya, mengapa kebijakan pembangunan pertanian tetap memiskinkan petani? Meski pemerintah telah berganti beberapa kali setelah reformasi 1998, masih gagal menyejahterakan petani. Mereka harus bereksodus ke kota untuk mengais rezeki.

Dalam periode sepuluh tahun belakangan ini, jumlah petani gurem berkurang sebanyak 4,77 juta rumah tangga (BPS, 2013). Mereka keluar dari sektor pertanian karena terpaksa mengingat pertanian tak lagi menjanjikan perbaikan penghidupan. Petani kecil di desa termarginalisasi digilas roda pembangunan hedonis kapitalistik.

Keterpurukan ini membawa konsekuensi logis yakni ketahanan pangan yang berdaulat dan mandiri makin rapuh. Di tengah kian miskinnya petani, Indonesia dibanjiri pangan impor mulai dari buah, beras, daging, bawang, dan pangan lain. Kita terjebak dalam ruang dan sistem pangan impor yang amat mahal. Hampir 75% dari kebutuhan pangan di dalam negeri kini dipenuhi dari impor. Devisa negara terkuras sekitar Rp125 triliun setiap tahun untuk membeli pangan impor.

Suatu jumlah yang sangat besar dan bisa digunakan untuk membangun bendungan dan sarana irigasi untuk percepatan pembangunan kedaulatan pangan. Karena itu, ”Gerakan Kembali ke Pertanian ” patut menjadi kampanye nasional untuk lima tahun ke depan guna mendorong percepatan pembangunan desa berbasis pertanian. Gerakan ini harus terus disuarakan oleh pemerintah pusat ke seluruh provinsi dan kabu-paten/ kota sebagai model pembangunan berbasis kerakyatan yang dapat mengerem laju urbanisasi. Untuk berhasil guna, gerakan ini harus diiringi sinergi kebijakan yang diformat secara komprehensif dan terintegrasi dari semua pemangku kepentingan.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0889 seconds (0.1#10.140)