Momentum Surat Rini
A
A
A
Surat Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno yang meminta penundaan rapat dengan Komisi VI DPR, menyulut hubungan tidak harmonis antara pemerintah dan lembaga wakil rakyat.
Pimpinan Komisi VI tersinggung dan mempertanyakan sikap Rini Soemarno yang dinilai tidak menghargai undangan rapat dengar pendapat itu. Atas ketersinggungan tersebut, Komisi VI akan menempuh jalan pemanggilan paksa apabila sudah tiga kali diundang yang bersangkutan tidak hadir.
Mekanisme pemanggilan paksa itu merujuk pada Undang-Undang (UU) No 17 Tahun 2014. Sebagai langkah awal, surat balasan bernada protes dari komisi pun dilayangkan. Melalui surat bernomor S-724/MBU/XI/2014 itu yang ditandatangani sendiri oleh Rini Soemarno, intinya:
“Dengan ini kami mengharapkan bantuannya untuk sementara waktu tidak menerbitkan undangan Rapat Dengar Pendapat dengan Pejabat Eselon I KBUMN dan BUMN sampai dengan adanya arahan lebih lanjut dari pimpinan.” Demikian bunyi surat tersebut yang membuat anggota DPR, khususnya dari Koalisi Merah Putih (KMP), tersinggung.
Surat tersebut selain dilayangkan ke berbagai instansi dan pimpinan Komisi VI, juga ditembuskan kepada para direksi BUMN. Pihak DPR sebagaimana ditegaskan Wakil Ketua DPR Agus Hermanto menyatakan, Rini Soemarno telah mengganggu kinerja DPR berkaitan dengan fungsi pengawasan.
Pimpinan DPR tidak bisa memahami surat Menteri BUMN yang dinilai tak beralasan menunda rapat dengan legislatif. Sayangnya, sikap DPR terbelah menghadapi persoalan ini. Buktinya ada yang mendukung surat permintaan penundaan rapat dengan Komisi VI itu. Langkah Rini Soemarno yang oleh sebagian anggota DPR dianggap sebagai “pembangkangan” ternyata hanya melaksanakan perintah atasan.
Terbukti dari Surat Edaran Sekretaris Kabinet (Seskab) bernomor SE-12/Seskab/XI/2014, bertanggal 4 November 2014 yang ditandatangani Seskab Andi Widjajanto dan ditujukan ke Menteri Kabinet Kerja, Panglima TNI, Kapolri, Kepala Staf Angkatan, Kepala BIN, dan Plt Jaksa Agung, untuk sementara waktu menunda pertemuan dengan pihak DPR.
Surat edaran Seskab itu kini menjadi “bola panas” yang akan menambah gaduh pertarungan antara KIH dan KMP ditambah pemerintah. Terlepas dari pro dan kontra surat Menteri BUMN tersebut, yang menarik disimak adalah isi surat yang secara tegas juga melarang pimpinan BUMN “bertemu” dengan pihak DPR.
Larangan tersebut menarik untuk ditindaklanjuti sebagai momentum guna mencegah intervensi politik terhadap BUMN. Selama ini, sejumlah direksi BUMN merasa gundah gulana setelah rapat dengan pihak legislatif. Pasalnya, terkadang anggota Dewan “menguliti” pimpinan BUMN sampai mendetail pada tingkat teknis yang sudah menyangkut program kerja yang sangat rahasia.
Yang dikhawatirkan, tidak ada jaminan program kerja yang menyangkut rahasia perusahaan jatuh ke pihak pesaing. Soal intervensi terhadap BUMN bukan hanya monopoli dari pihak legislatif, namun peluang lebih besar juga bersumber dari pihak eksekutif. Intervensi penguasa terhadap BUMN selama ini masih sering terdengar dengan istilah “BUMN sebagai sapi perah”.
Untuk menghindari aksi intervensi terhadap BUMN dari berbagai pihak telah muncul beberapa kebijakan. Sayangnya, kebijakan yang sudah dirancang dengan baik tak pernah bisa diimplementasikan secara efektif. Pada masa kepemimpinan Tanri Abeng di Kementerian BUMN, blue print perusahaan pelat merah yang jumlahnya ratusan itu diarahkan pada bentuk holding perusahaan.
Namun, pembentukan holding masih terkatung-katung hingga sekarang. Pasalnya, setiap terjadi pergantian pucuk pimpinan Kementerian BUMN, kebijakan pun berubah. Kebijakan Rini Soemarno yang hendak membawa ke mana arah BUMN belum terlihat. Kita berharap jangan sampai Menteri BUMN yang juga mantan petinggi perusahaan swasta nasional, waktunya tersita hanya untuk berdebat dengan DPR. Harus fokus pada kinerja sebagai indikator sukses mengurusi BUMN.
Pimpinan Komisi VI tersinggung dan mempertanyakan sikap Rini Soemarno yang dinilai tidak menghargai undangan rapat dengar pendapat itu. Atas ketersinggungan tersebut, Komisi VI akan menempuh jalan pemanggilan paksa apabila sudah tiga kali diundang yang bersangkutan tidak hadir.
Mekanisme pemanggilan paksa itu merujuk pada Undang-Undang (UU) No 17 Tahun 2014. Sebagai langkah awal, surat balasan bernada protes dari komisi pun dilayangkan. Melalui surat bernomor S-724/MBU/XI/2014 itu yang ditandatangani sendiri oleh Rini Soemarno, intinya:
“Dengan ini kami mengharapkan bantuannya untuk sementara waktu tidak menerbitkan undangan Rapat Dengar Pendapat dengan Pejabat Eselon I KBUMN dan BUMN sampai dengan adanya arahan lebih lanjut dari pimpinan.” Demikian bunyi surat tersebut yang membuat anggota DPR, khususnya dari Koalisi Merah Putih (KMP), tersinggung.
Surat tersebut selain dilayangkan ke berbagai instansi dan pimpinan Komisi VI, juga ditembuskan kepada para direksi BUMN. Pihak DPR sebagaimana ditegaskan Wakil Ketua DPR Agus Hermanto menyatakan, Rini Soemarno telah mengganggu kinerja DPR berkaitan dengan fungsi pengawasan.
Pimpinan DPR tidak bisa memahami surat Menteri BUMN yang dinilai tak beralasan menunda rapat dengan legislatif. Sayangnya, sikap DPR terbelah menghadapi persoalan ini. Buktinya ada yang mendukung surat permintaan penundaan rapat dengan Komisi VI itu. Langkah Rini Soemarno yang oleh sebagian anggota DPR dianggap sebagai “pembangkangan” ternyata hanya melaksanakan perintah atasan.
Terbukti dari Surat Edaran Sekretaris Kabinet (Seskab) bernomor SE-12/Seskab/XI/2014, bertanggal 4 November 2014 yang ditandatangani Seskab Andi Widjajanto dan ditujukan ke Menteri Kabinet Kerja, Panglima TNI, Kapolri, Kepala Staf Angkatan, Kepala BIN, dan Plt Jaksa Agung, untuk sementara waktu menunda pertemuan dengan pihak DPR.
Surat edaran Seskab itu kini menjadi “bola panas” yang akan menambah gaduh pertarungan antara KIH dan KMP ditambah pemerintah. Terlepas dari pro dan kontra surat Menteri BUMN tersebut, yang menarik disimak adalah isi surat yang secara tegas juga melarang pimpinan BUMN “bertemu” dengan pihak DPR.
Larangan tersebut menarik untuk ditindaklanjuti sebagai momentum guna mencegah intervensi politik terhadap BUMN. Selama ini, sejumlah direksi BUMN merasa gundah gulana setelah rapat dengan pihak legislatif. Pasalnya, terkadang anggota Dewan “menguliti” pimpinan BUMN sampai mendetail pada tingkat teknis yang sudah menyangkut program kerja yang sangat rahasia.
Yang dikhawatirkan, tidak ada jaminan program kerja yang menyangkut rahasia perusahaan jatuh ke pihak pesaing. Soal intervensi terhadap BUMN bukan hanya monopoli dari pihak legislatif, namun peluang lebih besar juga bersumber dari pihak eksekutif. Intervensi penguasa terhadap BUMN selama ini masih sering terdengar dengan istilah “BUMN sebagai sapi perah”.
Untuk menghindari aksi intervensi terhadap BUMN dari berbagai pihak telah muncul beberapa kebijakan. Sayangnya, kebijakan yang sudah dirancang dengan baik tak pernah bisa diimplementasikan secara efektif. Pada masa kepemimpinan Tanri Abeng di Kementerian BUMN, blue print perusahaan pelat merah yang jumlahnya ratusan itu diarahkan pada bentuk holding perusahaan.
Namun, pembentukan holding masih terkatung-katung hingga sekarang. Pasalnya, setiap terjadi pergantian pucuk pimpinan Kementerian BUMN, kebijakan pun berubah. Kebijakan Rini Soemarno yang hendak membawa ke mana arah BUMN belum terlihat. Kita berharap jangan sampai Menteri BUMN yang juga mantan petinggi perusahaan swasta nasional, waktunya tersita hanya untuk berdebat dengan DPR. Harus fokus pada kinerja sebagai indikator sukses mengurusi BUMN.
(bbg)