Tanggung Jawab KPK
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran
Untuk ke sekian kalinya, saya mengkritisi KPK bukan karena tidak suka pada KPK, tetapi karena tanggung jawab moral saya sebagai salah satu pendiri KPK.
Kali ini penulis mempertanyakan tanggung jawab KPK karena keikutsertaannya (sekalipun diminta presiden) dalam penentuan calon menteri bermasalah/ tidak bermasalah. KPK sebagai lembaga independen (Pasal 3) tampaknya “kooperatif” terhadap (permintaan) eksekutif dengan niat baik dan tujuan baik untuk kepentingan lima tahun pemerintahan Jokowi- JK ke depan.
Dari sisi sistem pemerintahan (masih) berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan, cara presiden Jokowi dan kerja sama KPK dan presiden dalam penentuan calon menteri bermasalah/ tidak berasalah merupakan “terobosan” yang juga oleh Buya Syafii Maarif dipandang cerdik. Namun dari sisi etika pemerintahan, kerja sama KPK (yudikatif) yang independen dan presiden (eksekutif) kurang tepat dan cenderung melanggar asas praduga tak bersalah.
Karena hasil akhir dari “kerja sama” tersebut terdapat calon menteri yang “disingkirkan” oleh presiden, sekalipun bersifat rahasia dan tertutup, bukan mustahil lambat laun terbuka juga, seperti halnya tersingkirnya ketua umum PKB dan nasib Enggartiarso dari Partai Nasdem.
*** Masyarakat luas tentu memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pola pemilihan dan penentuan menteri-menteri pada pemerintahan Jokowi- JK, sekalipun dalam pandangan ahli hukum khususnya penulis dalam bidang hukum pidana; pola tersebut sarat dengan pelanggaran HAM. Penulis tidak bermaksud “menghakimi” presiden karena justru penulis meminta pertanggungjawaban KPK sesuai dengan UU KPK 2002 tentang penilaian dengan “stabilo merah, kuning dan pink “ yang pernah diucapkan salah satu pimpinan KPK.
Pertanggungjawaban KPK kepada publik adalah melaksanakan tugas dan wewenang sesuai dengan UU KPK (pasal 6-pasal 8) dan secara konsisten menyampaikan kepada publik mengenai langkah hukum selanjutnya terhadap mereka yang diberi stabilo warna-warni tersebut. Mengapa demikian? Sesuai dengan UU KPK, dalam melaksanakan tugas dan wewenang KPK harus dilandaskan pada lima asas antara lain, asas keterbukaan, profesionalitas, akuntabilitas, dan proporsionalitas.
Sebab lain karena khususnya bagi calon menteri yang dicap dengan warna-warni itu, juga memerlukan kejelasan status hukum sekaligus status sosial bagi masa depan mereka. Penulis sebagai ahli hukum amat berhati-hati dalam memandang masalah terkait status hukum setiap warga negara karena konstitusi UUD 1945 telah menegaskan jaminan perlindunganhukumdankepastian hukum terhadap setiap warga negaranya khususnya dalam hak ekonomi, sosial, dan hak politik.
Penulis berpendapat bahwa apalagi pimpinan lembaga negara juga termasuk KPK wajib tunduk tanpa kecuali pada ketentuan jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum tersebut. Tidak ada satu pun ketentuan di dalam UUD 1945 yang membolehkan penyimpangan terhadap Konstitusi UUD 1945 demi kepentingan politik seperti jabatan menteri, kecuali jika demi untuk kepentingan ketertiban, kesusilaan dan keamanan (sesuai Pasal 28 J UUD 1945) atau demi untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain.
*** Merujuk pada pertimbangan tersebut, penulis meminta dengan sangat agar KPK menuntaskan segera para calon menteri yang diberi stabilo merah, kuning dan pink sehingga terhindar dari potensi pelanggaran terhadap ketentuan UUD 1945 tersebut. Jika KPK tidak juga bergeming dan tetap tidak menuntaskan langkah hukum dimaksud maka dikhawatirkan KPK melanggar konstitusi dan UU HAM.
Jika hal tersebut terjadi maka semua pihak yang terlibat dalam pelanggaran tersebut dapat dipandang sebagai perbuatan penyertaan (Pasal 55 KUHP)—menyuruh melakukan, melakukan, pembantuan atau penganjuran. Harapan saya selaku ahli hukum hanya untuk turut serta bertanggung jawab menegakkan konstitusi dan UU di negeri ini terlepas dari siapa pun dan dalam status hukum dan sosial apapun yang melekat pada orang yang bersangkutan.
Selain dari hal tersebut, saya tetap teguh pada pandangan bahwa karakter hukum yang benar adalah mengharamkan prinsip “tujuan menghalalkan cara” (het doel heilig de middelen) dalam setiap pengambilan kebijakan apapun karena dalam keadaan (ber)perang pun sejalan dengan hukum internasional tentang perang masih terdapat rambu-rambu hukum yang harus dipatuhi oleh pihak yang berperang yang disebut “just war, dan penyimpangan sedikit saja, berpotensi menjadi agresor.
Yang lebih memprihatinkan bagi saya, beberapa saat setelah proses pemilihan menteri selesai KPK memberikan pernyataan dalam media cetak dan elektronik bahwa mereka tidak menjamin calon menteri yang lolos dari KPK tidak akan bermasalah (korupsi, sic pen).
Tentu pertanyaannya, mengapa pimpinan KPK mau ikut cawe-cawe dalam proses pemilihan calon menteri kalau pada akhirnya juga KPK merasa tidak bertanggung jawab? Jika sikap KPK seperti itu maka pertanyaan lanjutan adalah “who control the controllers ?”
Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran
Untuk ke sekian kalinya, saya mengkritisi KPK bukan karena tidak suka pada KPK, tetapi karena tanggung jawab moral saya sebagai salah satu pendiri KPK.
Kali ini penulis mempertanyakan tanggung jawab KPK karena keikutsertaannya (sekalipun diminta presiden) dalam penentuan calon menteri bermasalah/ tidak bermasalah. KPK sebagai lembaga independen (Pasal 3) tampaknya “kooperatif” terhadap (permintaan) eksekutif dengan niat baik dan tujuan baik untuk kepentingan lima tahun pemerintahan Jokowi- JK ke depan.
Dari sisi sistem pemerintahan (masih) berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan, cara presiden Jokowi dan kerja sama KPK dan presiden dalam penentuan calon menteri bermasalah/ tidak berasalah merupakan “terobosan” yang juga oleh Buya Syafii Maarif dipandang cerdik. Namun dari sisi etika pemerintahan, kerja sama KPK (yudikatif) yang independen dan presiden (eksekutif) kurang tepat dan cenderung melanggar asas praduga tak bersalah.
Karena hasil akhir dari “kerja sama” tersebut terdapat calon menteri yang “disingkirkan” oleh presiden, sekalipun bersifat rahasia dan tertutup, bukan mustahil lambat laun terbuka juga, seperti halnya tersingkirnya ketua umum PKB dan nasib Enggartiarso dari Partai Nasdem.
*** Masyarakat luas tentu memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pola pemilihan dan penentuan menteri-menteri pada pemerintahan Jokowi- JK, sekalipun dalam pandangan ahli hukum khususnya penulis dalam bidang hukum pidana; pola tersebut sarat dengan pelanggaran HAM. Penulis tidak bermaksud “menghakimi” presiden karena justru penulis meminta pertanggungjawaban KPK sesuai dengan UU KPK 2002 tentang penilaian dengan “stabilo merah, kuning dan pink “ yang pernah diucapkan salah satu pimpinan KPK.
Pertanggungjawaban KPK kepada publik adalah melaksanakan tugas dan wewenang sesuai dengan UU KPK (pasal 6-pasal 8) dan secara konsisten menyampaikan kepada publik mengenai langkah hukum selanjutnya terhadap mereka yang diberi stabilo warna-warni tersebut. Mengapa demikian? Sesuai dengan UU KPK, dalam melaksanakan tugas dan wewenang KPK harus dilandaskan pada lima asas antara lain, asas keterbukaan, profesionalitas, akuntabilitas, dan proporsionalitas.
Sebab lain karena khususnya bagi calon menteri yang dicap dengan warna-warni itu, juga memerlukan kejelasan status hukum sekaligus status sosial bagi masa depan mereka. Penulis sebagai ahli hukum amat berhati-hati dalam memandang masalah terkait status hukum setiap warga negara karena konstitusi UUD 1945 telah menegaskan jaminan perlindunganhukumdankepastian hukum terhadap setiap warga negaranya khususnya dalam hak ekonomi, sosial, dan hak politik.
Penulis berpendapat bahwa apalagi pimpinan lembaga negara juga termasuk KPK wajib tunduk tanpa kecuali pada ketentuan jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum tersebut. Tidak ada satu pun ketentuan di dalam UUD 1945 yang membolehkan penyimpangan terhadap Konstitusi UUD 1945 demi kepentingan politik seperti jabatan menteri, kecuali jika demi untuk kepentingan ketertiban, kesusilaan dan keamanan (sesuai Pasal 28 J UUD 1945) atau demi untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain.
*** Merujuk pada pertimbangan tersebut, penulis meminta dengan sangat agar KPK menuntaskan segera para calon menteri yang diberi stabilo merah, kuning dan pink sehingga terhindar dari potensi pelanggaran terhadap ketentuan UUD 1945 tersebut. Jika KPK tidak juga bergeming dan tetap tidak menuntaskan langkah hukum dimaksud maka dikhawatirkan KPK melanggar konstitusi dan UU HAM.
Jika hal tersebut terjadi maka semua pihak yang terlibat dalam pelanggaran tersebut dapat dipandang sebagai perbuatan penyertaan (Pasal 55 KUHP)—menyuruh melakukan, melakukan, pembantuan atau penganjuran. Harapan saya selaku ahli hukum hanya untuk turut serta bertanggung jawab menegakkan konstitusi dan UU di negeri ini terlepas dari siapa pun dan dalam status hukum dan sosial apapun yang melekat pada orang yang bersangkutan.
Selain dari hal tersebut, saya tetap teguh pada pandangan bahwa karakter hukum yang benar adalah mengharamkan prinsip “tujuan menghalalkan cara” (het doel heilig de middelen) dalam setiap pengambilan kebijakan apapun karena dalam keadaan (ber)perang pun sejalan dengan hukum internasional tentang perang masih terdapat rambu-rambu hukum yang harus dipatuhi oleh pihak yang berperang yang disebut “just war, dan penyimpangan sedikit saja, berpotensi menjadi agresor.
Yang lebih memprihatinkan bagi saya, beberapa saat setelah proses pemilihan menteri selesai KPK memberikan pernyataan dalam media cetak dan elektronik bahwa mereka tidak menjamin calon menteri yang lolos dari KPK tidak akan bermasalah (korupsi, sic pen).
Tentu pertanyaannya, mengapa pimpinan KPK mau ikut cawe-cawe dalam proses pemilihan calon menteri kalau pada akhirnya juga KPK merasa tidak bertanggung jawab? Jika sikap KPK seperti itu maka pertanyaan lanjutan adalah “who control the controllers ?”
(ars)