BBM, Kedaulatan Energi, dan SKK Migas
A
A
A
FAHMY RADHI
Pengamat Ekonomi Energi
Universitas Gadjah Mada (UGM)
Belakangan ini isu energi kian mengemuka, yaitu masalah subsidi bahan bakar minyak (BBM). Masalah ini harus dapat perhatian serius, karena salah satu misi Jokowi-JK adalah pencapaian Kedaulatan Energi sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945.
Kedaulatan energi merupakan hak negara dan bangsa dalam menentukan kebijakan pengelolaan energi secara mandiri tanpa campur tangan dari pihak asing. Pencapaian Kedaulatan Energi di negeri ini bukanlah perkara mudah. Pasalnya, Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (Migas) masih bernuansa liberal.
Selain UU yang liberal tersebut, lembaga yang berwenang mengelola migas, yakni Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), yang kemudian digantikan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), tampaknya tidak mempunyai komitmen kuat untuk mencapai kedaulatan energi. Tidak mengherankan, sejak pendirian BP Migas pada 2002 hingga kini, dominasi penguasaan ladang Migas Indonesia sudah jatuh ke tangan kontraktor asing.
Data Direktorat Jenderal Migas ESDM menyebutkan, sejak 2002, pengelolaan sumber Migas Indonesia lebih didominasi oleh kontraktor asing yang menguasai sekitar 74%, hanya 22% dikuasai oleh perusahaan swasta nasional dan BUMN, sementara yang dikelola oleh konsorsium sebesar 4%. Kalau pemerintahan Jokowi-JK memang serius menerapkan misinya untuk mencapai Kedaulatan Energi, salah satu yang harus diprioritaskan adalah membubarkan SKK Migas, dengan melakukan reorganisasi lembaga tersebut.
Pertimbangannya, selain tidak punya komitmen terhadap pencapaian Kedaulatan Energi, keberadaan SKK Migas sesungguhnya ilegal karena sudah dibubarkan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Putusan MK terhadap uji materi UU No 22/2001 telah menetapkan bahwa keberadaan BP Migas bertentangan dengan UUD 1945.
Oleh karena itu harus dibubarkan terhitung sejak 13 November 2012. Memang pemerintahan SBY sudah membubarkan BP Migas, namun kemudian mengubahnya menjadi SKK Migas, yang ditempatkan di bawah struktur Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Kewenangan Besar SKK Migas
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 9 Tahun 2013, SKK Migas ditunjuk untuk melaksanakan pengelolaan kontrak kerja sama (KKS) seluruh kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Seperti BP Migas, kewenangan SKK Migas sangat besar, di antaranya: memberikan pertimbangan kepada menteri ESDM untuk persetujuan KKS, menandatangani kontrak, menjual migas bagian dari pemerintah, mengeluarkan peraturan, dan melaksanakan pengawasan terhadap KKS.
Kewenangan SKK Migas yang sangat besar berpotensi memicu moral hazard terjadinya penyimpangan tindak pidana korupsi dan suap, yang merugikan negara. Penangkapan ketua SKK Migas Rudi Rubiandini oleh KPK disebabkan penyalahgunaan kewenangannya dalam menjual minyak jatah pemerintah. Rudi Rubiandini ditangkap tangan atas penerimaan suap dari PT Kernel Oil, perusahaan oil trading yang bermarkas di Singapura.
Pemberian suap tersebut tentunya dimaksudkan sebagai pelicin untuk memenangkan PT Kernel Oil dalam tender kontrak penjualan minyak Indonesia. Aroma suap tersebut sesungguhnya tidak hanya terjadi pada proses pemenangan tender lelang oil trading, tetapi juga berpotensi terjadi pada setiap penetapan kontrak pengelolaan ladang migas, baik kontrak yang baru, maupun perpanjangan kontrak ladang migas.
Adanya indikasi suap tersebut barangkali menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pengelolaan ladang migas di Indonesia lebih dikuasai oleh kontraktor asing ketimbang kontraktor nasional. Sedangkan potensi penyimpangan lainnya terjadi dalam penetapan recovery cost, biaya yang dibebankan dalam APBN untuk membayar biaya eksplorasi kepada investor.
Indikasinya, alokasi recovery cost dalam APBN cenderung meningkat, sedangkan lifting minyak justru cenderung menurun. Dalam APBNP 2012, recovery cost dianggarkan sebesar USD15,16, meningkat dibanding APBN 2012 yang dianggarkan sebesar USD12,33. Anehnya, peningkatan recovery cost itu tidak secara signifikan menaikkan lifting minyak, justru sebaliknya malah terjadi penurunan.
Lifting minyak Indonesia hingga akhir 2013 hanya mencapai 891 barel per hari, padahal produksi minyak tahun sebelumnya bisa mencapai 950 barel per hari. Selainitu, SKK Migas juga berwenang sebagai regulator dan pengawas, sekaligus sebagai pemain bisnis migas. Dengan kewenangan tersebut, hubungan antara SKK Migas dan kontraktor sebagai G-to-B (government-tobusiness).
Hubungan G-to-B berpotensi menimbulkan permasalahanseriusbagi negara manakala terjadi persengketaan bisnis yangdiadukankeArbitraseInternasional. Kontraktor sebagai pemohon bisa menuntut kepada Arbitrase Internasional untuk menyita seluruh aset negara selama proses persidangan persengketaan berlangsung, sehingga negara bisa bangkrut jika seluruh asetnya harus disita.
Reorganisasi SKK Migas
Untuk meminimkan berbagai persoalan yang timbul akibat kewenangan yang terlalu besar, pemerintahan Jokowi-JK harus segera membubarkan SKK Migas dan melakukan reorganisasi lembaga tersebut. Prinsip utama dalam reorganisasi adalah pemisahan kewenangan yang selama ini digenggam SKK Migas.
Kewenangan sebagai regulator dan pengawasan sebaiknya diserahkan kepada Kementerian ESDM, sedangkan kewenangan sebagai pelaku bisnis diberikan kepada BUMN yang baru dibentuk untuk menjalankan usaha hulu minyak dan gas bumi. BUMN itu diberikan kewenangan untuk mengambil alih seluruh pengelolaan KKS, baik kontrak lama maupun kontrak baru.
Seluruh aset dan sekitar 1.200 karyawan yang selama ini dikelola oleh SKK Migas dialihkan ke BUMN tersebut. Tujuan pembentukan BUMN adalah untuk melakukan pengelolaan usaha hulu migas secara optimal sehingga dapat memaksimalkan penerimaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945.
Untuk mencapai tujuan tersebut, BUMN itu dituntut untuk meningkatkan lifting sesuai target ditetapkan oleh pemerintah, yang menjadi salah satu indikator kinerja BUMN baru tersebut. Selain itu, BUMN itu harus lebih berpihak kepada kontraktor dalam negeri, baik BUMN maupun perusahaan swasta nasional, ketimbang kontraktor asing, sehingga mempercepat pencapaian Kedaulatan Energi.
Mengingat peran penting dalam pengelolaan migas dalam pencapaian Kedaulatan Energi dan peningkatan penerimaan negara, pemerintahan Jokowi-JK harus segera membubarkan SKK Migas, sekaligus melakukan reorganisasi dalam waktu dekat ini.
Kalau perlu, upaya pembubaran dan reorganisasi tersebut dilakukannya dengan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) sebagai dasar hukumnya, sembari menunggu diundangkannya UU Migas yang baru. Tanpa pembubaran dan reorganisasi SKK Migas, jangan harap misi Jokowi-JK dalam pencapaian kedaulatan energi untuk negeri dapat dicapai.
Pengamat Ekonomi Energi
Universitas Gadjah Mada (UGM)
Belakangan ini isu energi kian mengemuka, yaitu masalah subsidi bahan bakar minyak (BBM). Masalah ini harus dapat perhatian serius, karena salah satu misi Jokowi-JK adalah pencapaian Kedaulatan Energi sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945.
Kedaulatan energi merupakan hak negara dan bangsa dalam menentukan kebijakan pengelolaan energi secara mandiri tanpa campur tangan dari pihak asing. Pencapaian Kedaulatan Energi di negeri ini bukanlah perkara mudah. Pasalnya, Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (Migas) masih bernuansa liberal.
Selain UU yang liberal tersebut, lembaga yang berwenang mengelola migas, yakni Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), yang kemudian digantikan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), tampaknya tidak mempunyai komitmen kuat untuk mencapai kedaulatan energi. Tidak mengherankan, sejak pendirian BP Migas pada 2002 hingga kini, dominasi penguasaan ladang Migas Indonesia sudah jatuh ke tangan kontraktor asing.
Data Direktorat Jenderal Migas ESDM menyebutkan, sejak 2002, pengelolaan sumber Migas Indonesia lebih didominasi oleh kontraktor asing yang menguasai sekitar 74%, hanya 22% dikuasai oleh perusahaan swasta nasional dan BUMN, sementara yang dikelola oleh konsorsium sebesar 4%. Kalau pemerintahan Jokowi-JK memang serius menerapkan misinya untuk mencapai Kedaulatan Energi, salah satu yang harus diprioritaskan adalah membubarkan SKK Migas, dengan melakukan reorganisasi lembaga tersebut.
Pertimbangannya, selain tidak punya komitmen terhadap pencapaian Kedaulatan Energi, keberadaan SKK Migas sesungguhnya ilegal karena sudah dibubarkan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Putusan MK terhadap uji materi UU No 22/2001 telah menetapkan bahwa keberadaan BP Migas bertentangan dengan UUD 1945.
Oleh karena itu harus dibubarkan terhitung sejak 13 November 2012. Memang pemerintahan SBY sudah membubarkan BP Migas, namun kemudian mengubahnya menjadi SKK Migas, yang ditempatkan di bawah struktur Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Kewenangan Besar SKK Migas
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 9 Tahun 2013, SKK Migas ditunjuk untuk melaksanakan pengelolaan kontrak kerja sama (KKS) seluruh kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Seperti BP Migas, kewenangan SKK Migas sangat besar, di antaranya: memberikan pertimbangan kepada menteri ESDM untuk persetujuan KKS, menandatangani kontrak, menjual migas bagian dari pemerintah, mengeluarkan peraturan, dan melaksanakan pengawasan terhadap KKS.
Kewenangan SKK Migas yang sangat besar berpotensi memicu moral hazard terjadinya penyimpangan tindak pidana korupsi dan suap, yang merugikan negara. Penangkapan ketua SKK Migas Rudi Rubiandini oleh KPK disebabkan penyalahgunaan kewenangannya dalam menjual minyak jatah pemerintah. Rudi Rubiandini ditangkap tangan atas penerimaan suap dari PT Kernel Oil, perusahaan oil trading yang bermarkas di Singapura.
Pemberian suap tersebut tentunya dimaksudkan sebagai pelicin untuk memenangkan PT Kernel Oil dalam tender kontrak penjualan minyak Indonesia. Aroma suap tersebut sesungguhnya tidak hanya terjadi pada proses pemenangan tender lelang oil trading, tetapi juga berpotensi terjadi pada setiap penetapan kontrak pengelolaan ladang migas, baik kontrak yang baru, maupun perpanjangan kontrak ladang migas.
Adanya indikasi suap tersebut barangkali menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pengelolaan ladang migas di Indonesia lebih dikuasai oleh kontraktor asing ketimbang kontraktor nasional. Sedangkan potensi penyimpangan lainnya terjadi dalam penetapan recovery cost, biaya yang dibebankan dalam APBN untuk membayar biaya eksplorasi kepada investor.
Indikasinya, alokasi recovery cost dalam APBN cenderung meningkat, sedangkan lifting minyak justru cenderung menurun. Dalam APBNP 2012, recovery cost dianggarkan sebesar USD15,16, meningkat dibanding APBN 2012 yang dianggarkan sebesar USD12,33. Anehnya, peningkatan recovery cost itu tidak secara signifikan menaikkan lifting minyak, justru sebaliknya malah terjadi penurunan.
Lifting minyak Indonesia hingga akhir 2013 hanya mencapai 891 barel per hari, padahal produksi minyak tahun sebelumnya bisa mencapai 950 barel per hari. Selainitu, SKK Migas juga berwenang sebagai regulator dan pengawas, sekaligus sebagai pemain bisnis migas. Dengan kewenangan tersebut, hubungan antara SKK Migas dan kontraktor sebagai G-to-B (government-tobusiness).
Hubungan G-to-B berpotensi menimbulkan permasalahanseriusbagi negara manakala terjadi persengketaan bisnis yangdiadukankeArbitraseInternasional. Kontraktor sebagai pemohon bisa menuntut kepada Arbitrase Internasional untuk menyita seluruh aset negara selama proses persidangan persengketaan berlangsung, sehingga negara bisa bangkrut jika seluruh asetnya harus disita.
Reorganisasi SKK Migas
Untuk meminimkan berbagai persoalan yang timbul akibat kewenangan yang terlalu besar, pemerintahan Jokowi-JK harus segera membubarkan SKK Migas dan melakukan reorganisasi lembaga tersebut. Prinsip utama dalam reorganisasi adalah pemisahan kewenangan yang selama ini digenggam SKK Migas.
Kewenangan sebagai regulator dan pengawasan sebaiknya diserahkan kepada Kementerian ESDM, sedangkan kewenangan sebagai pelaku bisnis diberikan kepada BUMN yang baru dibentuk untuk menjalankan usaha hulu minyak dan gas bumi. BUMN itu diberikan kewenangan untuk mengambil alih seluruh pengelolaan KKS, baik kontrak lama maupun kontrak baru.
Seluruh aset dan sekitar 1.200 karyawan yang selama ini dikelola oleh SKK Migas dialihkan ke BUMN tersebut. Tujuan pembentukan BUMN adalah untuk melakukan pengelolaan usaha hulu migas secara optimal sehingga dapat memaksimalkan penerimaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945.
Untuk mencapai tujuan tersebut, BUMN itu dituntut untuk meningkatkan lifting sesuai target ditetapkan oleh pemerintah, yang menjadi salah satu indikator kinerja BUMN baru tersebut. Selain itu, BUMN itu harus lebih berpihak kepada kontraktor dalam negeri, baik BUMN maupun perusahaan swasta nasional, ketimbang kontraktor asing, sehingga mempercepat pencapaian Kedaulatan Energi.
Mengingat peran penting dalam pengelolaan migas dalam pencapaian Kedaulatan Energi dan peningkatan penerimaan negara, pemerintahan Jokowi-JK harus segera membubarkan SKK Migas, sekaligus melakukan reorganisasi dalam waktu dekat ini.
Kalau perlu, upaya pembubaran dan reorganisasi tersebut dilakukannya dengan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) sebagai dasar hukumnya, sembari menunggu diundangkannya UU Migas yang baru. Tanpa pembubaran dan reorganisasi SKK Migas, jangan harap misi Jokowi-JK dalam pencapaian kedaulatan energi untuk negeri dapat dicapai.
(bbg)