Menghalau Demokrasi Tanpa Hati
A
A
A
Setelah pertemuan primus interpares masing-masing kubu, banyak yang mengira persaingan Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di DPR akan reda.
Nyatanya, lakon terbaru kedua kubu menunjukkan hal yang sebaliknya. Jokowi boleh saja mencairkan kebekuan komunikasi politik dengan mengunjungi Prabowo menjelang pelantikannya sebagai presiden. Namun, para punggawa kedua panglima tetap saja bertempur, melanjutkan lakon perseteruan KMP-KIH. Entah kapan selesainya. Lakon terbaru soal perebutan jatah pimpinan alat kelengkapan DPR.
KMP sudah tak sabar ingin menyapu bersih pimpinan alat kelengkapan DPR, menyusul dominasi mereka dalam pemilihan pimpinan DPR maupun MPR. KIH, sebaliknya, ingin mengerem laju dominasi tersebut dengan cara memboikot sidang paripurna pemilihan (penetapan) alat kelengkapan DPR. Cara KIH memboikot adalah dengan belum mengirimkan nama-nama anggota DPR yang akan mengisi alat kelengkapan.
KMP tetap memaksakan penetapan alat kelengkapan DPR karena menganggap kuorum pengambilan keputusan sebagaimana diatur dalam Pasal 284 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR sudah tercapai, yaitu dengan kehadiran enam fraksi di DPR, yaitu Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PKS, dan PPP. Artinya, kuorum lebih dari setengah jumlah fraksi sudah tercapai, demikian juga kuorum lebih dari setengah jumlah anggota DPR.
Namun, KIH tetap menganggap kuorum itu tidak tercapai karena nama-nama alat kelengkapan dari Fraksi PPP tidak sah, tidak mewakili hasil kongres di Surabaya baru-baru ini, yang juga sudah didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sendiri sudah mengeluarkan surat keputusan akan perubahan kepengurusan tersebut, yang tentu saja diprotes balik oleh kubu KMP.
Buntut dari semua itu, terbentuknya pimpinan DPR tandingan oleh kubu KIH setelah sebelumnya menyampaikan mosi tidak percaya kepada pimpinan DPR yang berasal dari kubu KMP. Hingga tulisan ini dibuat terjadi deadlock. Celakanya, peraturan tata tertib DPR tidak menyediakan mekanisme untuk mengatasi jalan buntu tersebut.
Sistem Paket
Keinginan kubu KMP untuk menguasai pucuk-pucuk pimpinan parlemen, mulai dari ketua- wakil ketua DPR hingga pimpinan alat-alat kelengkapan, sesungguhnya difasilitasi oleh aturan yang memang sudah salah dari awal, yaitu pemilihan dengan sistem paket ketika musyawarah-mufakat tidak tercapai.
Pemilihan model seperti ini, dalam aras persaingan dua kubu yang permanen, mengakibatkan dampak negatif bagi bekerjanya parlemen dan keberlangsungan praktik demokrasi. Dengan pemilihan sistem paket, bisa terjadi fenomena zero sum game, fenomena saling meniadakan. Bila satu kubu muncul, sudah pasti akan menenggelamkan kubu yang lain. Pemilihan ini juga memunculkan fenomena the winner takes all, pemenang mengambil semuanya, seperti halnya sistem pemilu mayoritarian (distrik).
Prinsip pemilihan pimpinan seperti ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang mengutamakan prinsip kebersamaan, bukan invididualisme yang sangat ditentang oleh the founding parents saat merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Terlebih hal ini terjadi di rumah rakyat, baik MPR maupun DPR. Kita tahu bahwa MPR dan DPR adalah representasi dari keberagaman seluruh rakyat.
Keberagaman seluruh rakyat ini harus tecermin pula dari unsur pimpinan dan alat kelengkapan. Dengan model sapu bersih ala KMP sudah pasti prinsip representasi dari keberagaman seluruh rakyat tersebut tidak akan tercapai. Celakanya, celah dominasi ini difasilitasi oleh aturan tentang pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan DPR baik dalam undang-undang maupun tatib DPR. Seperti yang diatur dalam UU Nomor 17/2014 (UU MD3), bila pemilihan dengan musyawarah-mufakat tidak tercapai, dilakukan pemungutan suara terbanyak dengan sistem paket.
Karena itu, kita harus kembali kepada prinsip kedaulatan rakyat. Dalam prinsip ini, DPR sesungguhnya (seharusnya) hanyalah perpanjangan tangan dari rakyat, bukan dari fraksi atau elite-elite politik parpol. Bila prinsip musyawarah-mufakat tidak tercapai, seharusnya dilakukan pemilihan dari dan oleh anggota. Prinsipnya, one person one vote, satu anggota satu suara.
Dengan model pemilihan seperti ini bisa dipastikan tidak akan terjadi dominasi satu kelompok terhadap pemilihan unsur pimpinan yang lebih dari satu orang. Bisa saja kelompok mayoritas memenangkan suara terbanyak pertama, tetapi suara terbanyak kedua atau ketiga pasti milik kelompok politik lain. Dengan demikian, bila jumlah pimpinan alat kelengkapan sebanyak empat orang, sapu bersih tidak akan terjadi. Kubu-kubu yang ada di DPR tetap akan terwakili dalam alat kelengkapan.
Pemilihan Anggota Lembaga Independen
Prinsip one person one vote harus berlaku pula untuk pemilihan pejabat-pejabat publik yang harus melalui pemilihan (seleksi) oleh DPR nantinya, seperti para anggota KPU, Bawaslu, KPK, dan sebagainya.
Selama ini, pemilihan dengan sistem paket telah membuat calon-calon terbaik tidak terpilih, karena tidak masuk dalam paket yang dipilih oleh DPR. Sering dalam beberapa kesempatan saya mengatakan, dalam pemilihan atau seleksi di DPR, makin seorang calon independen, kredibel, dan berkualitas, makin dia tidak terpilih. Orang yang terpilih biasanya calon yang mau berkompromi dengan DPR.
Selama ini model pemilihan seperti tidak bermasalah karena umumnya semua kekuatan fraksi terwakili, tidak ada pengelompokan politik yang ekstrem seperti KMP versus KIH. Yang berlaku adalah aliran-aliran politik seperti berasal dari NU, Muhammadiyah, HMI, GMNI, dan sebagainya. Aliran-aliran politik tersebut menyebar di banyak partai, tidak mengumpul.
Pemilihan dengan model paket selama ini diletakkan dalam kerangka persaingan KMPKIH, tentu akan memunculkan dominasi satu kelompok saja yang kebetulan menguasai suara mayoritas. Bisa KMP, bisa KIH. Yang jelas, dominasi kelompok mana pun menjadi tidak sehat.
Fenomena ini tidak mencerminkan tradisi berdemokrasi Pancasila, tetapi sekadar demokrasi pancaindra, yaitu mengambil keuntungan berdasarkan sinyal yang disampaikan oleh pancaindra, baik itu penglihatan, pendengaran, ucapan, penciuman, maupun rabaan tanpa melibatkan hati.
Demokrasi pancaindra hanya mewadahi kepentingan jangka pendek sebatas apa yang bisa dirasakan oleh indra kita. Kita harus menghalau tumbuhnya demokrasi seperti ini. Tidak peduli siapa yang diuntungkan antara KMP dan KIH, karena tanpa hati demokrasi kita akan mati. ●
REFLY HARUN
Pengajar dan Praktisi Hukum Tata Negara
Nyatanya, lakon terbaru kedua kubu menunjukkan hal yang sebaliknya. Jokowi boleh saja mencairkan kebekuan komunikasi politik dengan mengunjungi Prabowo menjelang pelantikannya sebagai presiden. Namun, para punggawa kedua panglima tetap saja bertempur, melanjutkan lakon perseteruan KMP-KIH. Entah kapan selesainya. Lakon terbaru soal perebutan jatah pimpinan alat kelengkapan DPR.
KMP sudah tak sabar ingin menyapu bersih pimpinan alat kelengkapan DPR, menyusul dominasi mereka dalam pemilihan pimpinan DPR maupun MPR. KIH, sebaliknya, ingin mengerem laju dominasi tersebut dengan cara memboikot sidang paripurna pemilihan (penetapan) alat kelengkapan DPR. Cara KIH memboikot adalah dengan belum mengirimkan nama-nama anggota DPR yang akan mengisi alat kelengkapan.
KMP tetap memaksakan penetapan alat kelengkapan DPR karena menganggap kuorum pengambilan keputusan sebagaimana diatur dalam Pasal 284 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR sudah tercapai, yaitu dengan kehadiran enam fraksi di DPR, yaitu Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PKS, dan PPP. Artinya, kuorum lebih dari setengah jumlah fraksi sudah tercapai, demikian juga kuorum lebih dari setengah jumlah anggota DPR.
Namun, KIH tetap menganggap kuorum itu tidak tercapai karena nama-nama alat kelengkapan dari Fraksi PPP tidak sah, tidak mewakili hasil kongres di Surabaya baru-baru ini, yang juga sudah didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sendiri sudah mengeluarkan surat keputusan akan perubahan kepengurusan tersebut, yang tentu saja diprotes balik oleh kubu KMP.
Buntut dari semua itu, terbentuknya pimpinan DPR tandingan oleh kubu KIH setelah sebelumnya menyampaikan mosi tidak percaya kepada pimpinan DPR yang berasal dari kubu KMP. Hingga tulisan ini dibuat terjadi deadlock. Celakanya, peraturan tata tertib DPR tidak menyediakan mekanisme untuk mengatasi jalan buntu tersebut.
Sistem Paket
Keinginan kubu KMP untuk menguasai pucuk-pucuk pimpinan parlemen, mulai dari ketua- wakil ketua DPR hingga pimpinan alat-alat kelengkapan, sesungguhnya difasilitasi oleh aturan yang memang sudah salah dari awal, yaitu pemilihan dengan sistem paket ketika musyawarah-mufakat tidak tercapai.
Pemilihan model seperti ini, dalam aras persaingan dua kubu yang permanen, mengakibatkan dampak negatif bagi bekerjanya parlemen dan keberlangsungan praktik demokrasi. Dengan pemilihan sistem paket, bisa terjadi fenomena zero sum game, fenomena saling meniadakan. Bila satu kubu muncul, sudah pasti akan menenggelamkan kubu yang lain. Pemilihan ini juga memunculkan fenomena the winner takes all, pemenang mengambil semuanya, seperti halnya sistem pemilu mayoritarian (distrik).
Prinsip pemilihan pimpinan seperti ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang mengutamakan prinsip kebersamaan, bukan invididualisme yang sangat ditentang oleh the founding parents saat merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Terlebih hal ini terjadi di rumah rakyat, baik MPR maupun DPR. Kita tahu bahwa MPR dan DPR adalah representasi dari keberagaman seluruh rakyat.
Keberagaman seluruh rakyat ini harus tecermin pula dari unsur pimpinan dan alat kelengkapan. Dengan model sapu bersih ala KMP sudah pasti prinsip representasi dari keberagaman seluruh rakyat tersebut tidak akan tercapai. Celakanya, celah dominasi ini difasilitasi oleh aturan tentang pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan DPR baik dalam undang-undang maupun tatib DPR. Seperti yang diatur dalam UU Nomor 17/2014 (UU MD3), bila pemilihan dengan musyawarah-mufakat tidak tercapai, dilakukan pemungutan suara terbanyak dengan sistem paket.
Karena itu, kita harus kembali kepada prinsip kedaulatan rakyat. Dalam prinsip ini, DPR sesungguhnya (seharusnya) hanyalah perpanjangan tangan dari rakyat, bukan dari fraksi atau elite-elite politik parpol. Bila prinsip musyawarah-mufakat tidak tercapai, seharusnya dilakukan pemilihan dari dan oleh anggota. Prinsipnya, one person one vote, satu anggota satu suara.
Dengan model pemilihan seperti ini bisa dipastikan tidak akan terjadi dominasi satu kelompok terhadap pemilihan unsur pimpinan yang lebih dari satu orang. Bisa saja kelompok mayoritas memenangkan suara terbanyak pertama, tetapi suara terbanyak kedua atau ketiga pasti milik kelompok politik lain. Dengan demikian, bila jumlah pimpinan alat kelengkapan sebanyak empat orang, sapu bersih tidak akan terjadi. Kubu-kubu yang ada di DPR tetap akan terwakili dalam alat kelengkapan.
Pemilihan Anggota Lembaga Independen
Prinsip one person one vote harus berlaku pula untuk pemilihan pejabat-pejabat publik yang harus melalui pemilihan (seleksi) oleh DPR nantinya, seperti para anggota KPU, Bawaslu, KPK, dan sebagainya.
Selama ini, pemilihan dengan sistem paket telah membuat calon-calon terbaik tidak terpilih, karena tidak masuk dalam paket yang dipilih oleh DPR. Sering dalam beberapa kesempatan saya mengatakan, dalam pemilihan atau seleksi di DPR, makin seorang calon independen, kredibel, dan berkualitas, makin dia tidak terpilih. Orang yang terpilih biasanya calon yang mau berkompromi dengan DPR.
Selama ini model pemilihan seperti tidak bermasalah karena umumnya semua kekuatan fraksi terwakili, tidak ada pengelompokan politik yang ekstrem seperti KMP versus KIH. Yang berlaku adalah aliran-aliran politik seperti berasal dari NU, Muhammadiyah, HMI, GMNI, dan sebagainya. Aliran-aliran politik tersebut menyebar di banyak partai, tidak mengumpul.
Pemilihan dengan model paket selama ini diletakkan dalam kerangka persaingan KMPKIH, tentu akan memunculkan dominasi satu kelompok saja yang kebetulan menguasai suara mayoritas. Bisa KMP, bisa KIH. Yang jelas, dominasi kelompok mana pun menjadi tidak sehat.
Fenomena ini tidak mencerminkan tradisi berdemokrasi Pancasila, tetapi sekadar demokrasi pancaindra, yaitu mengambil keuntungan berdasarkan sinyal yang disampaikan oleh pancaindra, baik itu penglihatan, pendengaran, ucapan, penciuman, maupun rabaan tanpa melibatkan hati.
Demokrasi pancaindra hanya mewadahi kepentingan jangka pendek sebatas apa yang bisa dirasakan oleh indra kita. Kita harus menghalau tumbuhnya demokrasi seperti ini. Tidak peduli siapa yang diuntungkan antara KMP dan KIH, karena tanpa hati demokrasi kita akan mati. ●
REFLY HARUN
Pengajar dan Praktisi Hukum Tata Negara
(ars)