Sumpah Pemuda & Pemanfaatan Bonus Demografi

Selasa, 28 Oktober 2014 - 16:05 WIB
Sumpah Pemuda & Pemanfaatan Bonus Demografi
Sumpah Pemuda & Pemanfaatan Bonus Demografi
A A A
Sejarah mencatat bahwa sumpah pemuda yang merajut keindonesiaan kita. Imaji kebangsaan ini merupakan terobosan penting kala mayoritas masyarakat kita pada saat itu masih berkutat dengan primordialisme dan perlawanan kedaerahan.

Meskipun demikian, harus kita akui setelah 86 tahun berlalu identitas kolektif bertanah air, bangsa, dan bahasa yang satu masih sebatas slogan politik belaka. Sebagai bangsa kita mungkin berhasil menundukkan keragaman ras, suku bangsa, bahasa, dalam bingkai kebinekaan yang cukup kuat dan mengakar dalam sanubari setiap anak bangsa. Tetapi komitmen kebangsaan yang selama ini didengung- dengungkan belum menyentuh persatuan ekonomi sepenuhnya.

Di tengah gonjang-ganjing politik dalam negeri yang tampak tak berkesudahan, bangsa Indonesiadiperhadapkandenganmasalah lain yang cukup pelik yaitu tidak meratanya proses pembangunan. Ketimpangan kesejahteraan antara barat dan timur masih menjadi semacam enigma yang belum terpecahkan sampai sekarang. Di masa yang akan datang hal ini menjadi masalah serius yang kiranya harus menjadi perhatian kita semua.

Sudah saatnya bagi pemuda untuk tidak hanya menyerukan persatuan politik belaka, tetapi juga menyerukan pemerataan ekonomi karena persatuan dan pemerataan ekonomi ibarat dua sisi mata uang, di mana persatuan politik ini menjadi bermakna ketika dapat menghantarkan kesejahteraan melalui pemerataan pembangunan.

Relasi Pemuda dan Bonus Demografi

Ada beberapa catatan penting yang diperoleh melalui serangkaian focus group discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) dalam mengkaji peluang pemanfaatan bonus demografi terutama dalam kaitannya dengan aspek kepemudaan.

Bonus demografi dapat diartikan sebagai peluang kesempatan (window of opportunity ) yang timbul akibat menurunnya tingkat kelahiran dan perubahan dalam struktur umur penduduk dengan jumlah angkatan kerja (15-64 tahun) yang lebih banyak dibandingkan dengan masyarakat nonproduktif. Bonus demografi ini menjadi pijakan penting karena banyak menjelaskan vitalnya peran pemuda dalam menopang masa depan Indonesia.

Pemuda merupakan elemen utama dari angkatan kerja yang nantinya diproyeksikan sebagai tulang punggung peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat. Diskursus tentang bonus demografi kembali mengemuka ketika Ketua MPR menyinggung tentang bonus demografi ini dalam pidatonya seusai pelantikan Jokowi-JK.

Zulkifli Hasan menyebut Indonesia berada pada lingkungan strategis yang menguntungkan akibat bonus demografi. Best practices dapat kita lihat dari negara-negara Asia Timur yang menyiapkan rekayasa kependudukan yang matang sehingga menikmati transisi demografi yang optimal antara tahun 1965- 1990.

Hasilnya, pada rentang waktu tersebut populasi penduduk produktif tumbuh empat kali lebih cepat dan terserap dengan baik di dunia kerja. Bagaimana dengan Indonesia? Tidak banyak yang tahu bahwa Indonesia telah menikmati bonus demografi sejak tahun 2012 dan terus bergerak menuju puncaknya pada 2028 sampai 2031 ketika rasio ketergantungan menyentuh level terendah, yaitu 47.

Artinya 100 orang produktif akan menanggung 47 orang tidak produktif. Kontras dengan kondisi di negara maju yang mulai meninggalkan bonus demografi akibat struktur usia penduduknya yang mulai menua. Melalui kalkulasi sederhana kita dapat menyimpulkan bahwa kualitas bonus demografi sangat bergantung pada kapasitas generasi muda. Hari ini jumlah pemuda Indonesia berjumlah lebih 65 juta jiwa (BPS).

Saat puncak bonus demografi mereka akan berusia 29-47 tahun dan termasuk angkatan kerja yang ada. Selain pemuda sekarang, anak-anak yang lahir pada 2000- an ke atas juga akan memasuki fase kepemudaan (15 tahun) dan berusia 28 tahun ke atas pada puncak bonus demografi. Artinya apa? Persiapan menuju untuk kedua kelompok umur tersebut harus disiapkan mulai dari sekarang.

Jika tidak dipersiapkan dengan baik maka bonus ini dapat berubah menjadi bencana. Bencana demografi ini tentunya timbul jika angkatan kerja ini tidak dibarengi akses terhadap program kesehatan, kualitas pendidikan yang baik, dan tersedianya lapangan kerja yang cukup. Sayangnya, bonus demografi ini tidak dinikmati secara merata di seluruh wilayah Indonesia.

Selama ini kita hanya berkutat pada aspek makro seperti urbanisasi dan pembangunan infrastruktur saja tanpa menitikberatkan pada sebaran pemuda di seluruh Indonesia. Faktanya rata-rata provinsi yang berada di Indonesia bagian Timur bahkan tidak akan menikmati bonus demografi sampai 2035 sama sekali.

Setidaknya ada empat provinsi yang sama sekali tidak menikmati bonus demografi sampai tahun 2035, yaitu Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat dan Maluku. Pesatnya pembangunan di Indonesia bagian barat akan menyedot terjadinya urbanisasi pemuda secara besar-besaran sehingga hanya menyisakan lebih banyak masyarakat tidak produktif seperti lansia dan anak kecil diIndonesia bagian timur. Jika tidak disertai dengan kebijakan yang tepat maka ketimpangan ini akan senantiasa terus terpelihara atau bahkan akan semakin parah.

Road Map Kepemudaan

Ironisnya, kita tergolong sebagai negara yang lambat dalam mengantisipasi peluang ini. Kebijakan terkait pemuda belum mampu memahami keragaman dimensi dan permasalahan spesifik dalam diri pemuda. Sampai hari ini terdapat 21 institusi kenegaraan yang berhubungan dengan masalah kepemudaan tanpa adanya visi yang integral.

Tanpa adanya visi yang sama ini maka akan sulit bagi kita mengoptimalkan semua potensi kelembagaan yang kita miliki. Hal ini diperparah dengan program tersebut tidak tersosialisasikan dengan baik sehingga terkesan tertutup dan tidak partisipatif bahkan tidak jarang saling beririsan dan saling tumpang tindih.

Pada zaman Orde Baru isu kepemudaan merupakan crosscutting issue, isu lintas sektoral, vitalnya posisi Menpora terlihat dari Keppres 1979 di zaman Menteri Abdul Ghafur yang mengatur temu konsultasi tingkat menteri untuk mengelola isu kepemudaan. Meskipun output dari kebijakan ini cenderung sentralistik dan lebih pada penyeragaman ideologi, tetapi semangat dasarnya dalam melakukan pendekatan multisektoral masih relevan.

Penyesuaian perlu dilakukan terutama terkait paradigma negara dalam memandang pemuda. Pemuda tidak bisa dilihat lagi sebagai obyek, melainkan sebagai mitra dan pengawas jalannya kinerja pemerintah. Melalui perubahan paradigma ini diharapkan kebijakan yang nantinya dibuat relevan dan tepat sasaran terhadap masalah-masalah faktual yang sedang terjadi seperti apatisme pemuda terhadap isu-isu kebangsaan dan kenegaraan.

Adalah sebuah tuntutan yang mendesak bagi Indonesia dalam membentuk peta jalan (road map ) pembangunan kepemudaan berkelanjutan yang mampu memberikan pedoman yang jelas mengenai pencapaian terukur di masa yang akan datang. Selain peningkatan kualitas dari angkatan kerja secara makro, roadmap ini juga harus memuat langkah taktis yang dilakukan untuk memastikan bahwa angkatan kerja ini terdistribusi dengan rata ke seluruh wilayah di Indonesia sehingga pertumbuhan yang berkualitas dapat mendorong lahirnya pusat- pusat pertumbuhan baru di luar Jawa.

Asa tersebut pastinya menjadi beban dari pemerintahan yang baru terbentuk. Kami selalu yakin bahwa generasi muda Indonesia adalah generasi yang kreatif dan inovatif, yang mampu tetap hidup meskipun tanpa harus bergantung pada belas kasihan negara sekalipun. Meskipun demikian, inisiatif negara juga harus muncul dalam meyakinkan pemuda bahwa mereka tidak sendiri dalam mewujudkan cita-cita bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

M ARIEF ROSYID HASAN
Ketua Umum PB HMI 2013–2015
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4604 seconds (0.1#10.140)