Kabinet Kerja dalam Perlawanan Asia

Selasa, 28 Oktober 2014 - 16:01 WIB
Kabinet Kerja dalam Perlawanan Asia
Kabinet Kerja dalam Perlawanan Asia
A A A
Usai menyusun kabinet yang terkesan penuh pencitraan, pemerintahan Presiden Joko Widodo langsung dihadapkan pada persoalan politik luar negeri yang cukup sensitif.

Diprakarsai Tiongkok, tak kurang dari 21 negara Asia menandatangani kesepakatan bersama mendirikan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), sebuah inisiatif yang membuat Amerika Serikat (AS) dan sekutunya gerah. Bagaimana Indonesia menyikapi AIIB? Komunikasi via telepon antara Presiden Joko Widodo dan Presiden Tiongkok Xi Jinping, Jumat (24/10) pekan lalu rupanya bukan sekadar basa basi diplomasi. Komunikasi jarak jauh itu mungkin juga sebagai tindak lanjut dari pertemuan Jokowi dengan Deputi Ketua Parlemen Tiongkok Yan Junqi di Jakarta, Selasa (21/10).

Boleh jadi, setelah saling memberi salam, Presiden Xi kulo nuwun dan menginformasikan kepada Jokowi bahwa di ibu kota Beijing hari itu telah berkumpul delegasi dari 21 negara di Asia untuk menandatangani kesepakatan mendirikan AIIB. Presiden Xi tentu saja merasa perlu memberi tahu Jokowi tentang rencana proyek AIIB itu karena tidak ada delegasi Indonesia dalam perhelatan itu. Belum ada yang tahu seperti apa reaksi Presiden.

Pemerintah baru di Indonesia memang belum mengeluarkan pernyataan resmi guna menanggapi proyek AIIB itu. Namun, pada akhirnya nanti pemerintahan Presiden Joko Widodo harus menunjuk sikap yang jelas. Inisiatif sejumlah negara Asia mendirikan AIIB tentu saja cukup sensitif bagi pemerintahan Jokowi mengingat Indonesia selama ini menjadi costumer tetap Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB).

Apalagi, hingga kini jabatan direktur pelaksana Bank Dunia masih dipercayakan kepada Sri Mulyani Indrawati, ekonom yang juga mantan menteri keuangan Indonesia. Bank Dunia dan ADB dikenal sebagai dua lembaga keuangan multilateral yang dikendalikan oleh AS dan para sekutu terdekatnya. AS sejak awal sudah terangterangan menyatakan tidak sukadenganproposalAIIBitu. AIIB adalah bentuk nyata dari perlawanan Asia terhadap dominasi Barat.

Sangat beralasan bagi AS untuk khawatir sebab pada saatnya nanti AIIB bukan hanya berpotensi mereduksi pasar dan peran Bank Dunia serta ADB, tetapi juga bisa menyurutkan peran politik ekonomi negeri adi daya itu di kawasan ini. Pendirian AIIB diumumkan di Beijing, Jumat pekan lalu, dalam sebuah upacara yang dihadiri Menteri Keuangan Tiongkok Lou Jiwei dan delegasi dari 21 negara di Asia, termasuk India, Thailand, dan Malaysia.

Dengan target setoran modal awal USD100 miliar, AIIB akan fokus pada pemberian pinjaman untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan negara-negara di Asia. Tiongkok berambisi menjadi pemegang saham terbesar di AIIB dengan target lebih dari 50%. Saat ini Tiongkok sudah mengalokasikan USD50 miliar untuk setoran modal AIIB.

Akan berkantor pusat di Beijing, AIIB direncanakan operasional pada akhir 2015, dipimpin oleh Jin Liqun, bankir senior Tiongkok yang pernah memimpin China International Capital Corp. Menarik untuk disimak adalah penekanan pers asing dalam memublikasikan pendirian AIIB di Beijing itu.

Diberitakan bahwa tanpa partisipasi dari tiga negara utama di Asia yakni Korea Selatan, Indonesia, plus Australia, Tiongkok mulai merealisasikan proyek AIIB itu. Partisipasi Jepang memang tidak diharapkan karena Jepang bersama AS bisa disebut sebagai pemegang saham pengendali dalam ADB karena masing-masing menggenggam 15,6%.

Kebutuhan dan Persyaratan

Ketidakhadiran delegasi Indonesia di Beijing hanya disinggung sepintas. Tetapi, absennya Australia diulas cukup mendalam. Disebutkan bahwa saat berada di Jakarta menghadiri upacara pelantikan Presiden Joko Widodo, Menteri Luar Negeri AS John Kerry dan Perdana Menteri Australia Tony Abbott sempat membahas inisiatif Tiongkok mendirikan AIIB.

Kerry mendesak Abbott agar Australia tidak ikut-ikutan menjadi pendiri AIIB. Di Jakarta, Kerry pun melakukan pertemuan empat mata dengan Jokowi. Seperti pesannya kepada Abbot, bukan tidak mungkin Kerry pun memberi saran yang sama kepada Presiden Jokowi. Lalu, untuk menggugurkan saran Kerry, komunikasi via telepon antara Presiden Jokowi dan Presiden Xi menjadi sangat relevan.

Mengacu pada posisinya yang strategis dengan wilayah dan jumlah penduduk yang begitu besar, Presiden Xi pasti ingin agar Indonesia juga berpartisipasi dalam proses pendirian AIIB. Para elite di Tiongkok pun pasti tahu betul kemarahan sebagian rakyat Indonesia terhadap lembaga-lembaga keuangan multilateral dukungan AS dan sekutunya karena dinilai telah memberi resep yang salah bagi pembangunan di Indonesia.

Bank Dunia, ADB, bersama Dana Moneter Internasional (IMF) selama ini menjadi pelengkap sumber pendanaan pembangunan. Bunga untuk dana yang dipinjamkan memang lebih rendah dari suku bunga pasar uang, tetapi dengan syaratnya mendapatkan pinjaman sangat mencekik. Muncul ungkapan, tumpukan utang dari tiga lembaga keuangan multilateral itu justru ”membunuh” masa depan negeri penerima pinjaman.

Karena itu, tidak mengherankan jika AS tidak respek dengan proposal AIIB. AS melihat AIIB sebagai strategi atau upaya Tiongkok secara bertahap mereduksi peran dan pengaruh AS di Asia. Setelah berkembang menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, Tiongkok pun pasti ingin memperluas pengaruhnya di benua ini. Tiongkok ingin menjadikan AIIB sebagai jembatan mewujudkan dominasinya di kawasan Asia.

Persoalannya, apakah Indonesia nyaman dengan dominasi Tiongkok di kawasan ini? Inilah yang harus dikaji oleh pemerintahan Presiden Jokowi. Bagaimanapun, Indonesia negara besar yang harus menentukan jalannya sendiri. Masa depan Indonesia harus dibangun berlandaskan semangat Trisakti dan karenanya tidak satu pun kekuatan asing boleh mendikte kemauannya terhadap bangsa ini.

Dewasa ini kekuatan-kekuatan ekonomi besar di dunia sedang membangun blok-blok kekuatan baru. Dengan kesadaran penuh, Indonesia sebaiknya tidak terperangkap dalam rivalitas itu. Artinya, jika Tiongkok ingin membangun blok kekuatan baru di Asia, Indonesia tak perlu berada dalam blok kekuatan itu. Akan menjadi sangat sensitif bagi sebagian masyarakat jika Indonesia berada dalam blok kekuatan yang dipimpin negara yang menganut paham komunis.

Dengan begitu, pemerintahan Presiden Jokowi sebaiknya moderat atau mengambil jalan tengah dalam menyikapi AIIB. Artinya, Indonesia mendukung tanpa harus tercatat sebagai pendiri AIIB. Kerja sama Pemerintah RI dengan semua lembaga keuangan multilateral disesuaikan dengan kebutuhan, dengan syarat-syarat yang saling menguntungkan.

Posisi minimalis Indonesia dalam AIIB tentu layak diapresiasi AS dan para sekutunya yang mengendalikan Bank Dunia dan ADB. Persoalan berikutnya, bagaimana pemerintahan Jokowi bisa mengonversi posisi minimalis Indonesia itu menjadi alat tawar yang bisa menguntungkan negara. Menurut Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Kemenkeu, hingga Juni 2014 utang Pemerintah Indonesia sudah mencapai Rp2.507,52 triliun.

Sekitar 10% dari jumlah ini utang pemerintah kepada Bank Dunia. Tidaklah berlebihan jika posisi minimalis Indonesia di AIIB itu patut diganjar dengan keringanan atau penghapusan utang dari Bank Dunia. Upaya ini perlu ditempuh pemerintahan Presiden Jokowi jika ingin menyehatkan postur anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Selain tekanan dari alokasi subsidi bahan bakar minyak (BBM), kewajiban membayar pokok dan bunga utang luar negeri juga ikut memperlemah kinerja APBN.

BAMBANG SOESATYO
Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR RI/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017 dan Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6107 seconds (0.1#10.140)