Demokrasi yang Ksatria
A
A
A
ABDUL MUTI
Sekretaris PP Muhammadiyah; Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
SEBAGAI sistem, demokrasi memiliki empat aspek; nilai, prosedur, tata kelola pemerintahan, dan kebudayaan. Demokrasi adalah produk ikhtiar manusia dalam mewujudkan tata kehidupan yang maju, makmur, dan adil.
Cita-cita demokrasi lahir dari suasana kehidupan sosial dan politik yang bengis, feodal, dan kesengsaraan. Demokrasi memiliki nilai-nilai yang menjadi dasar, spirit, dan arah yang menentukan pelaksanaan, prosedur, dan penyelenggaraan negara.
Nilai dan Budaya Demokrasi
Demokrasi memiliki tiga nilai fundamental yang bersifat universal. Dikatakan universal karena nilai-nilai demokrasi bersesuaian dengan nilai-nilai dan ajaran agama dan budaya besar dunia. Nilai yang pertama adalah kesamaan antarmanusia (egalitarianism).
Setiap manusia lahir di dunia sebagai makhluk Tuhan yang mulia. Selain memiliki wujud yang sempurna, manusia memiliki potensi fitri dan sifat-sifat utama yang memungkinkan mereka mengembangkan diri dan meraih prestasi yang setinggi-tingginya.
Berdasarkan nilai egalitarianisme, setiap manusia adalah individu yang diakui eksistensinya dan dihormati sesuai dengan harkat dan martabatnya. Nilai yang kedua adalah keterbukaan. Demokrasi memberikan ruang terbuka bagi siapa saja untuk melakukan mobilitas sosial vertikal, mengubah keadaan dan kedudukan yang terbaik. Di dalam demokrasi terkandung spirit level yang menggerakkan dan memberikan harapan kepada setiap manusia untuk meraih kedudukan sosial dan politik yang setinggi-tingginya.
Demokrasi memungkinkan siapa pun yang giat-berkeringat dengan cerdas untuk menjadi apa pun, from zero to hero . Untuk meraih dan mempertahankan kedudukan, seseorang tidak bisa duduk ongkang kaki. Nilai yang ketiga adalah pluralisme. Setiap manusia adalah individu yang merdeka dan berdaulat atas diri dan tindakannya. Setiap individu berhak memilih dan dipilih. Demokrasi memberi pilihan bagi individu untuk menentukan pilihan yang terbaik.
Di dalam demokrasi terdapat perbedaan aspirasi yang menuntut sikap toleran, tenggang rasa, dan ksatria. Seseorang harus berlapang dada berbagi, memberi, dan menerima. Ingin menang sendiri, monopoli, dominan, dan tiran adalah sikap yang bertentangan dengan nilai pluralisme. Untuk itu, diperlukan musyawarah sebagai sebuah konsultasi publik untuk mengambil keputusan bersama.
Aktualisasi nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan melahirkan budaya demokrasi; perilaku kolektif suatu masyarakat yang didasarkan atas kepercayaan, nilai, dan norma yang dianutnya. Demokrasi tidak terbatas pada ranah politik kekuasaan, tetapi dalam seluruh bidang kehidupan seperti ekonomi, pendidikan, kemasyarakatan, dan sosial-keagamaan. Demokrasi adalah keadaban publik yang mencerminkan keseluruhan budi, ketinggian intelektual, dan kekuatan nalar sehat masyarakat.
Sikap Ksatria
Walaupun mendapatkan pujian internasional sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia belum menjadi negara yang demokratis. Nilai-nilai dan budaya demokrasi belum terimplementasi dalam tata kelola negara dan pemerintahan.
Demokrasi dimaknai dan direduksi sebatas pemilihan umum, pergantian, dan perebutan kekuasaan. Karena tercerabut dari nilainilai yang melahirkannya, demokrasi laksana sistem robotik yang mekanistis. Robot adalah makhluk canggih yang direkayasa manusia untuk membantu mencapai tujuan.
Demokrasi robotik adalah sistem yang bergerak secara kaku, prosedur belaka, tanpa jiwa dan hati nurani. Demokrasi robotik inilah yang tampaknya sedang berlaku di Tanah Air kita. Rakyat melihat dengan mata jelaga bagaimana praktik demokrasi yang brutal, mahal, dan ribet. Rakyat menjadi saksi bagaimana libido kekuasaan telah melenyapkan kesantunan. Yang terjadi adalah kekerasan verbal jauh dari nalar intelektual, sikap ngotot mengandalkan otot, pemilihan berbelit saat keuangan makin pailit.
Sudah waktunya bangsa Indonesia membangun demokrasi yang ksatria. Demokrasi ini memiliki tiga pilar. Pertama , kekuatan moral dan intelektual. Yang terjadi selama ini khususnya Pemilu 2014 adalah adu kekuatan finansial. Mereka yang bermoral tanpa kapital tebal gugur terpental. Kekuatan ksatria terletak pada kepribadian yang utama, bersenjata akhlak mulia, dan keunggulan ilmunya.
Tidak ada gunanya meratap. Rakyat tetap berdaulat dengan mengontrol sepak terjang para wakilnya. Kedua, kebesaran jiwa untuk menjadi leader-follower, pejabat-rakyat, imam-makmum. Ksatria mahir berbicara dan pandai mendengar. Ksatria tidak umuk (sombong) ketika menang, dan ngamuk sebagai pecundang. Para pemimpin perlu belajar dari para petinju yang berpelukan dengan tubuh berpeluh setelah adu jotos di ring tinju. Sedih dan kecewa karena kalah lumrah bagi manusia.
Meski demikian, ksatria sejati masih saling memuji, bukan menghabisi dan mencaci maki. Ksatria akan datang dengan kepala tegak menjabat tangan sang pemenang dan mengucap selamat dengan penuh hormat. Itulah cara terhormat para ksatria hebat.
Ketiga, kebesaran hati untuk saling berbagi. Para ksatria sejati bertarung dengan lawan yang seimbang, naik ke podium setelah bertanding dengan sportif bukan karena lawan tidak berdaya. Di dalam Islam tidak diajarkan the winner takes all; menangmenangan karena menang, monopoli, dan menghabisi.
Dalam hubungannya dengan kekuasaan, demokrasi ditandai oleh adanya pembagian kekuasaan (distribution of power) bukan pemusatan kekuatan (centrality of power) dan akumulasi kekuasaan (accumulation of power). Rakyat sudah lelah melihat para elitenya bertikai. Mereka merindukan pemimpin yang teguh dan teduh, mengayomi, dan melayani. Rakyat ingin pemimpin segera bekerja untuk kemajuan bangsa dan kemakmuran yang merata.
Sekretaris PP Muhammadiyah; Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
SEBAGAI sistem, demokrasi memiliki empat aspek; nilai, prosedur, tata kelola pemerintahan, dan kebudayaan. Demokrasi adalah produk ikhtiar manusia dalam mewujudkan tata kehidupan yang maju, makmur, dan adil.
Cita-cita demokrasi lahir dari suasana kehidupan sosial dan politik yang bengis, feodal, dan kesengsaraan. Demokrasi memiliki nilai-nilai yang menjadi dasar, spirit, dan arah yang menentukan pelaksanaan, prosedur, dan penyelenggaraan negara.
Nilai dan Budaya Demokrasi
Demokrasi memiliki tiga nilai fundamental yang bersifat universal. Dikatakan universal karena nilai-nilai demokrasi bersesuaian dengan nilai-nilai dan ajaran agama dan budaya besar dunia. Nilai yang pertama adalah kesamaan antarmanusia (egalitarianism).
Setiap manusia lahir di dunia sebagai makhluk Tuhan yang mulia. Selain memiliki wujud yang sempurna, manusia memiliki potensi fitri dan sifat-sifat utama yang memungkinkan mereka mengembangkan diri dan meraih prestasi yang setinggi-tingginya.
Berdasarkan nilai egalitarianisme, setiap manusia adalah individu yang diakui eksistensinya dan dihormati sesuai dengan harkat dan martabatnya. Nilai yang kedua adalah keterbukaan. Demokrasi memberikan ruang terbuka bagi siapa saja untuk melakukan mobilitas sosial vertikal, mengubah keadaan dan kedudukan yang terbaik. Di dalam demokrasi terkandung spirit level yang menggerakkan dan memberikan harapan kepada setiap manusia untuk meraih kedudukan sosial dan politik yang setinggi-tingginya.
Demokrasi memungkinkan siapa pun yang giat-berkeringat dengan cerdas untuk menjadi apa pun, from zero to hero . Untuk meraih dan mempertahankan kedudukan, seseorang tidak bisa duduk ongkang kaki. Nilai yang ketiga adalah pluralisme. Setiap manusia adalah individu yang merdeka dan berdaulat atas diri dan tindakannya. Setiap individu berhak memilih dan dipilih. Demokrasi memberi pilihan bagi individu untuk menentukan pilihan yang terbaik.
Di dalam demokrasi terdapat perbedaan aspirasi yang menuntut sikap toleran, tenggang rasa, dan ksatria. Seseorang harus berlapang dada berbagi, memberi, dan menerima. Ingin menang sendiri, monopoli, dominan, dan tiran adalah sikap yang bertentangan dengan nilai pluralisme. Untuk itu, diperlukan musyawarah sebagai sebuah konsultasi publik untuk mengambil keputusan bersama.
Aktualisasi nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan melahirkan budaya demokrasi; perilaku kolektif suatu masyarakat yang didasarkan atas kepercayaan, nilai, dan norma yang dianutnya. Demokrasi tidak terbatas pada ranah politik kekuasaan, tetapi dalam seluruh bidang kehidupan seperti ekonomi, pendidikan, kemasyarakatan, dan sosial-keagamaan. Demokrasi adalah keadaban publik yang mencerminkan keseluruhan budi, ketinggian intelektual, dan kekuatan nalar sehat masyarakat.
Sikap Ksatria
Walaupun mendapatkan pujian internasional sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia belum menjadi negara yang demokratis. Nilai-nilai dan budaya demokrasi belum terimplementasi dalam tata kelola negara dan pemerintahan.
Demokrasi dimaknai dan direduksi sebatas pemilihan umum, pergantian, dan perebutan kekuasaan. Karena tercerabut dari nilainilai yang melahirkannya, demokrasi laksana sistem robotik yang mekanistis. Robot adalah makhluk canggih yang direkayasa manusia untuk membantu mencapai tujuan.
Demokrasi robotik adalah sistem yang bergerak secara kaku, prosedur belaka, tanpa jiwa dan hati nurani. Demokrasi robotik inilah yang tampaknya sedang berlaku di Tanah Air kita. Rakyat melihat dengan mata jelaga bagaimana praktik demokrasi yang brutal, mahal, dan ribet. Rakyat menjadi saksi bagaimana libido kekuasaan telah melenyapkan kesantunan. Yang terjadi adalah kekerasan verbal jauh dari nalar intelektual, sikap ngotot mengandalkan otot, pemilihan berbelit saat keuangan makin pailit.
Sudah waktunya bangsa Indonesia membangun demokrasi yang ksatria. Demokrasi ini memiliki tiga pilar. Pertama , kekuatan moral dan intelektual. Yang terjadi selama ini khususnya Pemilu 2014 adalah adu kekuatan finansial. Mereka yang bermoral tanpa kapital tebal gugur terpental. Kekuatan ksatria terletak pada kepribadian yang utama, bersenjata akhlak mulia, dan keunggulan ilmunya.
Tidak ada gunanya meratap. Rakyat tetap berdaulat dengan mengontrol sepak terjang para wakilnya. Kedua, kebesaran jiwa untuk menjadi leader-follower, pejabat-rakyat, imam-makmum. Ksatria mahir berbicara dan pandai mendengar. Ksatria tidak umuk (sombong) ketika menang, dan ngamuk sebagai pecundang. Para pemimpin perlu belajar dari para petinju yang berpelukan dengan tubuh berpeluh setelah adu jotos di ring tinju. Sedih dan kecewa karena kalah lumrah bagi manusia.
Meski demikian, ksatria sejati masih saling memuji, bukan menghabisi dan mencaci maki. Ksatria akan datang dengan kepala tegak menjabat tangan sang pemenang dan mengucap selamat dengan penuh hormat. Itulah cara terhormat para ksatria hebat.
Ketiga, kebesaran hati untuk saling berbagi. Para ksatria sejati bertarung dengan lawan yang seimbang, naik ke podium setelah bertanding dengan sportif bukan karena lawan tidak berdaya. Di dalam Islam tidak diajarkan the winner takes all; menangmenangan karena menang, monopoli, dan menghabisi.
Dalam hubungannya dengan kekuasaan, demokrasi ditandai oleh adanya pembagian kekuasaan (distribution of power) bukan pemusatan kekuatan (centrality of power) dan akumulasi kekuasaan (accumulation of power). Rakyat sudah lelah melihat para elitenya bertikai. Mereka merindukan pemimpin yang teguh dan teduh, mengayomi, dan melayani. Rakyat ingin pemimpin segera bekerja untuk kemajuan bangsa dan kemakmuran yang merata.
(nfl)