Jokowi Jangan Parno, KMP Bukan Musuh
A
A
A
BAMBANG SOESATYO
Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR/ Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
REFORMASI politik Indonesia maju satu tahap lagi. Penanda pertama adalah terpilih sosok presiden yang bukan berasal dari komunitas elite atau darah biru dalam jagat perpolitikan nasional.
Sedangkan penanda kedua adalah penguasaan oposisi atas parlemen. Dua penanda ini otomatis sudah menggambarkan kematangan Indonesia dalam menerapkan prinsip negara yang demokratis.
Bisa dipastikan bahwa demokratisasi Indonesia akan terus berevolusi, sejalan dengan meningkatnya kepedulian rakyat terhadap idealisme kehidupan berbangsa-bernegara. Rakyat kini tidak hanya peduli pada program dan gerakan pemberantasan korupsi, tetapi juga lantang menyuarakan aspirasinya terhadap misalnya sistem pemilihan kepala daerah (pilkada).
Banyak daerah berhasil melahirkan sejumlah pemimpin baru berusia muda. Mereka bukan berasal dari komunitas darah biru di negara ini. Orangorang muda penuh idealisme itu terpilih karena program pembangunan daerah yang mereka tawarkan bisa meyakinkan rakyat.
Gejala ini membuktikan bahwa mesin demokrasi telah bekerja cukup efektif di Indonesia sehingga setiap orang bisa tampil di pentas kepemimpinan nasional atau daerah. Pentas kepemimpinan tidak lagi menjadi jatah komunitas darah biru.
Sepanjang tahun politik 2014 ini, efektivitas kerja mesin demokrasi di Indonesia juga telah membuat kejutan baru. Selain terpilih Joko Widodo sebagai presiden, kejutan lainnya adalah penguasaan oposisi atas parlemen. Mayoritas parlemen digenggam oposisi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP).
Konsekuensinya, kursi kepemimpinan DPR dan MPR pun diraih oleh koalisi partai politik yang berseberangan dengan presiden terpilih. Perkembangan ini seharusnya melegakan karena mekanisme checks and balances akan lebih sehat dan kuat. Posisi legislatif dan eksekutif yang berimbang seharusnya dilihat sebagai faktor yang ideal.
Harap diingat lagi bahwa sepanjang era Orde Baru hingga 10 tahun periode kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, mekanisme checks and balances oleh parlemen jauh dari efektif karena mayoritas kekuatan politik di parlemen justru berada di bawah ketiak presiden alias dikontrol oleh eksekutif. Sepanjang periode kedua 2009-2014, Presiden Yudhoyono menggagas apa yang dikenal dengan Sekretariat Gabungan Koalisi parpol pendukung pemerintah.
Kalau konfigurasi kekuatan parlemen dibuat seperti itu, mekanisme checks and balances pasti tak akan jalan karena Sekretariat Gabungan Koalisi akan memaksa anggotanya di parlemen (fraksi DPR) menuruti apa saja langkah pemerintah.
Publik tentu masih ingat bagaimana fraksi-fraksi DPR yang menjadi anggota koalisi itu harus “berontak” menyikapi skandal Bank Century. Atau, program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang nyata-nyata tidak efektif dan juga tidak produktif itu dibiarkan lolos dalam pembahasan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) di DPR.
Lolosnya program BLT menjadi bukti bahwa parlemen kehilangan sikap kritisnya karena mayoritas kekuatan parlemen tercatat sebagai bagian dari pemerintah. Kini terbukti bahwa BLT itu bahkan tidak mampu mengurangi jumlah warga miskin. Kini dan di masa depan kesalahan yang sama tak boleh berulang. Kekuasaan dan kewenangan besar yang digenggam pemerintah harus diawasi oleh parlemen yang mampu berfungsi efektif melaksanakan mekanisme checks and balances itu.
Maka itu, sangat ideal jika kebiasaan parlemen dikendalikan oleh pemerintah harus dihentikan sekarang juga. Harus ada keberanian untuk mengakui bahwa dalam rentang waktu yang sangat panjang, DPR hanya “bersandiwara” dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah. Kekuatan-kekuatan politik di DPR mudah tergoda untuk menjadi bagian dari pemerintah.
Tak jarang, sikap kritis parlemen hanya dijadikan alat tawar. Manakala kepentingan legislatif dan eksekutif bisa dipertemukan melalui kompromi, kekuatan politik di DPR akan membiarkan apa pun program legislatif lolos. Misalnya, ada UU yang mutlak membolehkan tarif sebuah jasa kepentingan publik dinaikkan setiap dua tahun oleh penyedia jasa publik dimaksud. Jelas bahwa UU yang demikian lahir dari perangai parlemen kolutif.
Curiga Berlebihan
Karena itu, jangan dulu terlalu jauh bertafsir negatif atas konfigurasi kekuatan politik di DPR dan MPR saat ini. Fakta tentang dominasi KMP di parlemen hendaknya dipahami berdasarkan semangat mewujudkan mekanisme checks and balances yang kuat dan efektif. Seharusnya ditumbuhkan keyakinan bersama bahwa perimbangan kekuatan legislatif eksekutif akan mendorong pemerintah lebih produktif dan progresif. Pemerintah tidak lagi tergoda membuat program asal-asalan demi pencitraan. Sebaliknya, DPR pun tidak akan asal-asalan mengkritisi program pemerintah.
Selama program pemerintah berkait langsung dengan perbaikan kesejahteraan rakyat, tidak ada alasan sedikit pun bagi DPR untuk menggagalkan program itu. Semua unsur kekuatan di DPR pun paham bahwa jika sembarangan menjegal program pemerintah, DPR sendirilah yang akan dirugikan. Minimal, sebagai politisi, anggota DPR akan kehilangan simpati dan popularitasnya. Dengan begitu, masyarakat dan juga presiden terpilih Joko Widodo tidak perlu risau menyikapi dominasi KMP di parlemen. Sesungguhnya konfigurasi kekuatan di DPR-MPR saat ini sejalan dengan keinginan Jokowi.
Semua masih ingat ketika Jokowi mengatakan dia ingin koalisi partai pendukung yang ramping. Keinginan Jokowi itu secara tidak langsung memberi akses bagi terbentuk kekuatan oposisi di parlemen. Sebagian besar partai politik didorong untuk membentuk kekuatan yang berseberangan dengan pemerintahannya. Memang, dalam sistem pemerintahan presidensial sangat ideal jika pemerintah diawasi oleh legislatif yang kuat.
Banyak cabang kekuasaan berada dalam genggaman presiden. Seorang presiden bahkan memiliki hak prerogatif dalam lingkup eksekutif. Wajar bila dibutuhkan legislatif yang kuat untuk mengawasi semua kekuasaan itu.
Jadi, keinginan Jokowi itu sudah terwujud dan patut disyukuri karena bisa menjadi modal untuk melaksanakan pemerintahan yang transparan dan prorakyat. Maka itu, kecurigaan tentang niat KMP menjegal atau memakzulkan Jokowi hendaknya tidak diteruskan. Kecurigaan seperti itu bukan hanya berlebihan, tetapi juga membuat suasana tidak kondusif.
Harap dicamkan bahwa harga yang harus dibayar bangsa ini akan sangat mahal jika program presiden dihambat oleh parlemen. Apalagi jika ada target memakzulkan presiden. Butuh proses politik yang panjang dan rumit untuk bisa memakzulkan presiden. Kalau dikonversikan, proses panjang itu menjadi biaya politik dalam bentuk ketidakpastian dan potensi konflik.
DPR tidak serta-merta bisa memakzulkan presiden, melainkan hanya bisa menginisiasi setelah ditemukan bukti kesalahan presiden. Dari bukti itu, DPR masih harus lagi menggunakan hak menyatakan pendapat untuk kemudian membawa masalahnya ke Mahkamah Konstitusi dan seterusnya.
Bukan hanya berlebihan, melainkan juga angan-angan yang sama sekali tidak relevan ketika presiden baru belum juga dilantik, tetapi banyak orang begitu sering menyuarakan kecurigaan tentang kemungkinan pemakzulan. Mereka seakan-akan sudah bisa menebak tindak inkonstitusional apa yang akan dilakukan presiden. Kecenderungan ini tentu saja amat menggelikan. Mereka lupa bahwa kewajiban berkomunikasi pemerintah-DPR akan meminimalisasi potensi kesalahan yang mungkin saja bisa dilakukan presiden.
Terwujudnya perimbangan atau kesetaraan presiden-DPR seyogianya ditanggapi positif karena mekanisme checks and balances akan jauh lebih efektif dibanding jika mayoritas kekuatan di DPR menjadi bagian dari pemerintah. Kalau mau jujur, masyarakat sebenarnya sudah lama mendambakan kesetaraan itu. Jokowi dan para pendukungnya tidak perlu “parno” atau ketakutan.
KMP bukanlah musuh, melainkan mitra dalam usaha bersama menyejahterakan rakyat. Sekaranglah saatnya. Lebih baik memulainya sekarang daripada tidak pernah sama sekali hanya karena ketakutan yang tidak beralasan.
Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR/ Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
REFORMASI politik Indonesia maju satu tahap lagi. Penanda pertama adalah terpilih sosok presiden yang bukan berasal dari komunitas elite atau darah biru dalam jagat perpolitikan nasional.
Sedangkan penanda kedua adalah penguasaan oposisi atas parlemen. Dua penanda ini otomatis sudah menggambarkan kematangan Indonesia dalam menerapkan prinsip negara yang demokratis.
Bisa dipastikan bahwa demokratisasi Indonesia akan terus berevolusi, sejalan dengan meningkatnya kepedulian rakyat terhadap idealisme kehidupan berbangsa-bernegara. Rakyat kini tidak hanya peduli pada program dan gerakan pemberantasan korupsi, tetapi juga lantang menyuarakan aspirasinya terhadap misalnya sistem pemilihan kepala daerah (pilkada).
Banyak daerah berhasil melahirkan sejumlah pemimpin baru berusia muda. Mereka bukan berasal dari komunitas darah biru di negara ini. Orangorang muda penuh idealisme itu terpilih karena program pembangunan daerah yang mereka tawarkan bisa meyakinkan rakyat.
Gejala ini membuktikan bahwa mesin demokrasi telah bekerja cukup efektif di Indonesia sehingga setiap orang bisa tampil di pentas kepemimpinan nasional atau daerah. Pentas kepemimpinan tidak lagi menjadi jatah komunitas darah biru.
Sepanjang tahun politik 2014 ini, efektivitas kerja mesin demokrasi di Indonesia juga telah membuat kejutan baru. Selain terpilih Joko Widodo sebagai presiden, kejutan lainnya adalah penguasaan oposisi atas parlemen. Mayoritas parlemen digenggam oposisi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP).
Konsekuensinya, kursi kepemimpinan DPR dan MPR pun diraih oleh koalisi partai politik yang berseberangan dengan presiden terpilih. Perkembangan ini seharusnya melegakan karena mekanisme checks and balances akan lebih sehat dan kuat. Posisi legislatif dan eksekutif yang berimbang seharusnya dilihat sebagai faktor yang ideal.
Harap diingat lagi bahwa sepanjang era Orde Baru hingga 10 tahun periode kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, mekanisme checks and balances oleh parlemen jauh dari efektif karena mayoritas kekuatan politik di parlemen justru berada di bawah ketiak presiden alias dikontrol oleh eksekutif. Sepanjang periode kedua 2009-2014, Presiden Yudhoyono menggagas apa yang dikenal dengan Sekretariat Gabungan Koalisi parpol pendukung pemerintah.
Kalau konfigurasi kekuatan parlemen dibuat seperti itu, mekanisme checks and balances pasti tak akan jalan karena Sekretariat Gabungan Koalisi akan memaksa anggotanya di parlemen (fraksi DPR) menuruti apa saja langkah pemerintah.
Publik tentu masih ingat bagaimana fraksi-fraksi DPR yang menjadi anggota koalisi itu harus “berontak” menyikapi skandal Bank Century. Atau, program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang nyata-nyata tidak efektif dan juga tidak produktif itu dibiarkan lolos dalam pembahasan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) di DPR.
Lolosnya program BLT menjadi bukti bahwa parlemen kehilangan sikap kritisnya karena mayoritas kekuatan parlemen tercatat sebagai bagian dari pemerintah. Kini terbukti bahwa BLT itu bahkan tidak mampu mengurangi jumlah warga miskin. Kini dan di masa depan kesalahan yang sama tak boleh berulang. Kekuasaan dan kewenangan besar yang digenggam pemerintah harus diawasi oleh parlemen yang mampu berfungsi efektif melaksanakan mekanisme checks and balances itu.
Maka itu, sangat ideal jika kebiasaan parlemen dikendalikan oleh pemerintah harus dihentikan sekarang juga. Harus ada keberanian untuk mengakui bahwa dalam rentang waktu yang sangat panjang, DPR hanya “bersandiwara” dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah. Kekuatan-kekuatan politik di DPR mudah tergoda untuk menjadi bagian dari pemerintah.
Tak jarang, sikap kritis parlemen hanya dijadikan alat tawar. Manakala kepentingan legislatif dan eksekutif bisa dipertemukan melalui kompromi, kekuatan politik di DPR akan membiarkan apa pun program legislatif lolos. Misalnya, ada UU yang mutlak membolehkan tarif sebuah jasa kepentingan publik dinaikkan setiap dua tahun oleh penyedia jasa publik dimaksud. Jelas bahwa UU yang demikian lahir dari perangai parlemen kolutif.
Curiga Berlebihan
Karena itu, jangan dulu terlalu jauh bertafsir negatif atas konfigurasi kekuatan politik di DPR dan MPR saat ini. Fakta tentang dominasi KMP di parlemen hendaknya dipahami berdasarkan semangat mewujudkan mekanisme checks and balances yang kuat dan efektif. Seharusnya ditumbuhkan keyakinan bersama bahwa perimbangan kekuatan legislatif eksekutif akan mendorong pemerintah lebih produktif dan progresif. Pemerintah tidak lagi tergoda membuat program asal-asalan demi pencitraan. Sebaliknya, DPR pun tidak akan asal-asalan mengkritisi program pemerintah.
Selama program pemerintah berkait langsung dengan perbaikan kesejahteraan rakyat, tidak ada alasan sedikit pun bagi DPR untuk menggagalkan program itu. Semua unsur kekuatan di DPR pun paham bahwa jika sembarangan menjegal program pemerintah, DPR sendirilah yang akan dirugikan. Minimal, sebagai politisi, anggota DPR akan kehilangan simpati dan popularitasnya. Dengan begitu, masyarakat dan juga presiden terpilih Joko Widodo tidak perlu risau menyikapi dominasi KMP di parlemen. Sesungguhnya konfigurasi kekuatan di DPR-MPR saat ini sejalan dengan keinginan Jokowi.
Semua masih ingat ketika Jokowi mengatakan dia ingin koalisi partai pendukung yang ramping. Keinginan Jokowi itu secara tidak langsung memberi akses bagi terbentuk kekuatan oposisi di parlemen. Sebagian besar partai politik didorong untuk membentuk kekuatan yang berseberangan dengan pemerintahannya. Memang, dalam sistem pemerintahan presidensial sangat ideal jika pemerintah diawasi oleh legislatif yang kuat.
Banyak cabang kekuasaan berada dalam genggaman presiden. Seorang presiden bahkan memiliki hak prerogatif dalam lingkup eksekutif. Wajar bila dibutuhkan legislatif yang kuat untuk mengawasi semua kekuasaan itu.
Jadi, keinginan Jokowi itu sudah terwujud dan patut disyukuri karena bisa menjadi modal untuk melaksanakan pemerintahan yang transparan dan prorakyat. Maka itu, kecurigaan tentang niat KMP menjegal atau memakzulkan Jokowi hendaknya tidak diteruskan. Kecurigaan seperti itu bukan hanya berlebihan, tetapi juga membuat suasana tidak kondusif.
Harap dicamkan bahwa harga yang harus dibayar bangsa ini akan sangat mahal jika program presiden dihambat oleh parlemen. Apalagi jika ada target memakzulkan presiden. Butuh proses politik yang panjang dan rumit untuk bisa memakzulkan presiden. Kalau dikonversikan, proses panjang itu menjadi biaya politik dalam bentuk ketidakpastian dan potensi konflik.
DPR tidak serta-merta bisa memakzulkan presiden, melainkan hanya bisa menginisiasi setelah ditemukan bukti kesalahan presiden. Dari bukti itu, DPR masih harus lagi menggunakan hak menyatakan pendapat untuk kemudian membawa masalahnya ke Mahkamah Konstitusi dan seterusnya.
Bukan hanya berlebihan, melainkan juga angan-angan yang sama sekali tidak relevan ketika presiden baru belum juga dilantik, tetapi banyak orang begitu sering menyuarakan kecurigaan tentang kemungkinan pemakzulan. Mereka seakan-akan sudah bisa menebak tindak inkonstitusional apa yang akan dilakukan presiden. Kecenderungan ini tentu saja amat menggelikan. Mereka lupa bahwa kewajiban berkomunikasi pemerintah-DPR akan meminimalisasi potensi kesalahan yang mungkin saja bisa dilakukan presiden.
Terwujudnya perimbangan atau kesetaraan presiden-DPR seyogianya ditanggapi positif karena mekanisme checks and balances akan jauh lebih efektif dibanding jika mayoritas kekuatan di DPR menjadi bagian dari pemerintah. Kalau mau jujur, masyarakat sebenarnya sudah lama mendambakan kesetaraan itu. Jokowi dan para pendukungnya tidak perlu “parno” atau ketakutan.
KMP bukanlah musuh, melainkan mitra dalam usaha bersama menyejahterakan rakyat. Sekaranglah saatnya. Lebih baik memulainya sekarang daripada tidak pernah sama sekali hanya karena ketakutan yang tidak beralasan.
(nfl)