Jalan Panjang Pilkada
A
A
A
IRFAN RIDWAN MAKSUM
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi,FISIP, UI, Anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah RI
BERLALU sudah keputusan oleh DPR RI terhadap RUU mengenai pilkada diambil. Sistem ini boleh dikatakan telah mengalami pasangsurut dalam bumi NKRI. Pilkada langsung ataupun tidak langsung adalah strategis dalam NKRI, karena melalui proses ini didapat pemimpin bangsa di tingkat lokal.
Intinya dalam proses tersebut adalah diperolehnya kepala daerah yang berkualitas. Kepala daerah yang mengerti tugas-tugas pemerintahan, mampu mengoperasionalkan kebijakan pusat di tempatnya, dan mampu mendorong kemajuan daerahnya. Soal mekanismenya, yang sekarang dikenal dengan pilkada, berubah-ubah caranya sepanjang sejarah NKRI. Pertanyaannya selalu dimunculkan, tepatkah secara sistematis dengan bangun NKRI?
Tidak Kompatibel
Dalam masa-masa awal kemerdekaan, karena serbataktis manajemen republik ini membawa pengisian jabatan kepala daerah melalui pilkada amatlah sederhana termasuk jabatan anggota DPRD. Jabatan kepala daerah masih bervariasi polanya.
Di beberapa tempat faktor keturunan menjadi mekanisme, di beberapa tempat exofficio, di beberapa tempat diangkat pemerintah pusat. Namun, semuanya disahkan pemerintah pusat. Secara normatif sejak kemerdekaan, bangsa Indonesia telah memiliki sejumlah UU Pemerintahan daerah yang di dalamnya mengatur soal pilkada.
Undang-undang pertama, UU No 1 Tahun 1945, adalah UU yang paling sederhana dan tidak terlalu jelas mengatur soal ini. Praktiknya juga mencerminkan keadaan negara yang masih baru lepas dari kemerdekaan.
Banyak kepala daerah adalah hasil masa penjajahan. Kepala daerah yang mengikuti UU tersebut umumnya exofficio pejabat pusat di daerah, terdapat pula kepala daerah yang merupakan mantan pejuang dalam Komite Nasional Indonesia di Daerah. Undang-undang berikutnya, UU No 22 Tahun 1948, diatur bahwa pilkada oleh DPRD.
Undang-undang ini menyatakan bahwa kepala daerah tidak berdiri sendiri dalam menjalankan pemerintahan daerah. Kepala daerah memimpin sebuah dewan terdiri dari beberapa orang berjumlah ganjil termasuk dengan dirinya.
Anggota yang lain tersebut diambil dari anggota DPRD untuk menjalankan pemerintahan daerah. Maka dikenal sistem “plural executive“ sama dengan di masa UU sebelumnya. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa kepala daerah baik di provinsi maupun kabupaten/ kota saat itu, sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat (wakil pemerintah).
Dikenal dengan sistem prefektur dan bersifat fused sehingga terjadi peran ganda pada seorang kepala daerah. UU No 22 Tahun 1948 diganti oleh UU No 1 Tahun 1957. UU pengganti ini mengatur pilkada langsung dan tidak mengenal kepala daerah sebagai perpanjangan tangan pusat, baik gubernur maupun bupati/ wali kota. Tidak ada wakil pemerintah di daerah pada masa UU ini. Namun, UU tersebut masih mengenal “plural executive“. Kepala daerah memimpin dewan pemerintah daerah sebagai elemen tertinggi dalam pemerintah daerah.
Anggotanya diambil dari anggota DPRD sebagian yang terpilih dan berjumlah ganjil. Pada saat itu, di tingkat nasional terjadi pergantian sistem presidensial menjadi parlementer. Di tingkat nasional menganut sistem multipartai. Di tingkat nasional terjadi perpecahan antara Bung Karno dan Bung Hatta.
Bung Hatta keluar dari kabinet karena ketidaksetujuannya terhadap sistem pilkada langsung tersebut. Praktiknya sampai UU tersebut dicabut kembali, pilkada langsung yang diatur oleh UU tidak pernah terlaksana. Hampir semua kepala daerah adalah hasil pemilihan melalui DPRD hasil UU sebelumnya.
Undang-undang berikutnya, UU No 18 Tahun 1965, mencabut kembali sistem pilkada langsung yang sampai masa Pak Harto dianut. Pilkada saat itu melalui DPRD. Pada saat UU 18/1965, pimpinan DPRD wajib diisi oleh Nasakom sesuai UUt ersebut. Kepala daerah masa Pak Karno ini, semua diisi oleh unsur Nasakom.
Dalam masa ini, eksekutif bersifat tunggal karena tidak bersamasama memimpin dengan suatu badan atau dewan seperti pada masa sebelumnya. Kepala daerah kembali dual-role. Menurut UU, di samping sebagai kepala daerah, juga merangkap sebagai wakilpemerintahpusat.
Bahkan, DPRD tunduk kepada wakil pemerintah pusat. Pada masa ini justru, DPRD memberi laporan kepada Wakil pemerintah. Secara nasional, terjadi pergeseran sistem presidensial kembali. Multipartai masih diacu dengan dominasi Nasakom. Sistem pilkada oleh DPRD diteruskan oleh UU No 5 Tahun 1974.
Masa ini menganut eksekutif tunggal seperti UU sebelumnya. Dual-role juga demikian, tetap diacu dengan keadaan nasional telah berubah. Multipartai tidak dianut, hanya tiga partai. Dominasi eksekutif sangat kuat dengan tetap diacunya presidensial.
Pemilihan kepala daerah cenderung rekayasa pemerintah pusat. Dalam hal ini, DPRD sangat lemah. Undang-undang penggantinya, UU No 22 Tahun 1999, pilkada tetap melalui DPRD ditambah hak impeach DPRD atas kepala daerah. Dikenal istilah legislative heavy.
Stagnasi pemerintahan terjadi karena hubungan antara DPRD dan kepala daerah sering kali dispute. Gubernur bertindak pula sebagai wakil pemerintah, sedangkan bupati/walikota tidak. Di tingkat nasional tetap dianut sistem presidensial hanya menganut multipartai.
Keadaan di tingkat daerah yang tidak kondusif membawa keinginan merevisi UU tersebut. Keinginan yang kuat adalah mengubah Pilkada melalui DPRD ke pilkada langsung. Akhirnya, pilkada langsung dianut oleh UU No 32 Tahun 2004 pengganti UU 22/1999. Sistem wakil pemerintah masih berlaku hanya di pundak gubernur, sedangkan bupati/wali kota berkedudukan sebagai kepala daerah semata. Sistem multipartai dianut dan legislative heavy masih mewarnai di tingkat nasional.
Pilkada di tangan DPRD masa UUNo 22/1999 dan pilkada langsung masa UU No 32/ 2004, semuanya menganut sistem paket. Dalam kedua sistem, dipilih kepala daerah bersama-sama seorang wakil kepala daerah. Dua UU terakhir yang dilahirkan sejak masa reformasi ini dikenal dengan UU pengubah momentum pelaksanaan otonomi daerah di bumi NKRI yang mengacu ‘local-democratic model’. Keduanya tergolong hasil big-bang approach dalam desentralisasi di Indonesia.
Pelajaran Berharga
Pilkada langsung di bumi NKRI diacu oleh para pendiri negara dan penerusnya dengan memperhatikan sistem yang berkembang, tidak sepenggalsepenggal hanya memikirkan nilai demokrasi. Nilai demokrasi jika dipikirkan semata, tentu Inggris, Australia, Prancis, Jerman sebagai negara-negara sangat demokratis seharusnya memilih pilkada langsung. Buktinya mereka tidak menganutnya, bahkan sebagian besar pemerintah daerah di Amerika Serikat pun tidak dengan pilkada langsung.
Sistem wakil pemerintah pun menjadi acuan. Negara-negara di mana dianut wakil pemerintah, maka tidak dianut pilkada langsung. Pendiri negara memahami betul soal ini. Sistem kepartaian harus diperbaiki.
Seharusnya DPRD pun dapat diisi oleh kalangan nonpartai agar mampu menampung calon independen. Ini semua soal kekompakan antarsubsistem pemerintahan dalam NKRI. Dengan demikian, pilkada melalui DPRD juga memiliki agenda perbaikan, pilkada langsung pun demikian terhadap bangun NKRI.
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi,FISIP, UI, Anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah RI
BERLALU sudah keputusan oleh DPR RI terhadap RUU mengenai pilkada diambil. Sistem ini boleh dikatakan telah mengalami pasangsurut dalam bumi NKRI. Pilkada langsung ataupun tidak langsung adalah strategis dalam NKRI, karena melalui proses ini didapat pemimpin bangsa di tingkat lokal.
Intinya dalam proses tersebut adalah diperolehnya kepala daerah yang berkualitas. Kepala daerah yang mengerti tugas-tugas pemerintahan, mampu mengoperasionalkan kebijakan pusat di tempatnya, dan mampu mendorong kemajuan daerahnya. Soal mekanismenya, yang sekarang dikenal dengan pilkada, berubah-ubah caranya sepanjang sejarah NKRI. Pertanyaannya selalu dimunculkan, tepatkah secara sistematis dengan bangun NKRI?
Tidak Kompatibel
Dalam masa-masa awal kemerdekaan, karena serbataktis manajemen republik ini membawa pengisian jabatan kepala daerah melalui pilkada amatlah sederhana termasuk jabatan anggota DPRD. Jabatan kepala daerah masih bervariasi polanya.
Di beberapa tempat faktor keturunan menjadi mekanisme, di beberapa tempat exofficio, di beberapa tempat diangkat pemerintah pusat. Namun, semuanya disahkan pemerintah pusat. Secara normatif sejak kemerdekaan, bangsa Indonesia telah memiliki sejumlah UU Pemerintahan daerah yang di dalamnya mengatur soal pilkada.
Undang-undang pertama, UU No 1 Tahun 1945, adalah UU yang paling sederhana dan tidak terlalu jelas mengatur soal ini. Praktiknya juga mencerminkan keadaan negara yang masih baru lepas dari kemerdekaan.
Banyak kepala daerah adalah hasil masa penjajahan. Kepala daerah yang mengikuti UU tersebut umumnya exofficio pejabat pusat di daerah, terdapat pula kepala daerah yang merupakan mantan pejuang dalam Komite Nasional Indonesia di Daerah. Undang-undang berikutnya, UU No 22 Tahun 1948, diatur bahwa pilkada oleh DPRD.
Undang-undang ini menyatakan bahwa kepala daerah tidak berdiri sendiri dalam menjalankan pemerintahan daerah. Kepala daerah memimpin sebuah dewan terdiri dari beberapa orang berjumlah ganjil termasuk dengan dirinya.
Anggota yang lain tersebut diambil dari anggota DPRD untuk menjalankan pemerintahan daerah. Maka dikenal sistem “plural executive“ sama dengan di masa UU sebelumnya. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa kepala daerah baik di provinsi maupun kabupaten/ kota saat itu, sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat (wakil pemerintah).
Dikenal dengan sistem prefektur dan bersifat fused sehingga terjadi peran ganda pada seorang kepala daerah. UU No 22 Tahun 1948 diganti oleh UU No 1 Tahun 1957. UU pengganti ini mengatur pilkada langsung dan tidak mengenal kepala daerah sebagai perpanjangan tangan pusat, baik gubernur maupun bupati/ wali kota. Tidak ada wakil pemerintah di daerah pada masa UU ini. Namun, UU tersebut masih mengenal “plural executive“. Kepala daerah memimpin dewan pemerintah daerah sebagai elemen tertinggi dalam pemerintah daerah.
Anggotanya diambil dari anggota DPRD sebagian yang terpilih dan berjumlah ganjil. Pada saat itu, di tingkat nasional terjadi pergantian sistem presidensial menjadi parlementer. Di tingkat nasional menganut sistem multipartai. Di tingkat nasional terjadi perpecahan antara Bung Karno dan Bung Hatta.
Bung Hatta keluar dari kabinet karena ketidaksetujuannya terhadap sistem pilkada langsung tersebut. Praktiknya sampai UU tersebut dicabut kembali, pilkada langsung yang diatur oleh UU tidak pernah terlaksana. Hampir semua kepala daerah adalah hasil pemilihan melalui DPRD hasil UU sebelumnya.
Undang-undang berikutnya, UU No 18 Tahun 1965, mencabut kembali sistem pilkada langsung yang sampai masa Pak Harto dianut. Pilkada saat itu melalui DPRD. Pada saat UU 18/1965, pimpinan DPRD wajib diisi oleh Nasakom sesuai UUt ersebut. Kepala daerah masa Pak Karno ini, semua diisi oleh unsur Nasakom.
Dalam masa ini, eksekutif bersifat tunggal karena tidak bersamasama memimpin dengan suatu badan atau dewan seperti pada masa sebelumnya. Kepala daerah kembali dual-role. Menurut UU, di samping sebagai kepala daerah, juga merangkap sebagai wakilpemerintahpusat.
Bahkan, DPRD tunduk kepada wakil pemerintah pusat. Pada masa ini justru, DPRD memberi laporan kepada Wakil pemerintah. Secara nasional, terjadi pergeseran sistem presidensial kembali. Multipartai masih diacu dengan dominasi Nasakom. Sistem pilkada oleh DPRD diteruskan oleh UU No 5 Tahun 1974.
Masa ini menganut eksekutif tunggal seperti UU sebelumnya. Dual-role juga demikian, tetap diacu dengan keadaan nasional telah berubah. Multipartai tidak dianut, hanya tiga partai. Dominasi eksekutif sangat kuat dengan tetap diacunya presidensial.
Pemilihan kepala daerah cenderung rekayasa pemerintah pusat. Dalam hal ini, DPRD sangat lemah. Undang-undang penggantinya, UU No 22 Tahun 1999, pilkada tetap melalui DPRD ditambah hak impeach DPRD atas kepala daerah. Dikenal istilah legislative heavy.
Stagnasi pemerintahan terjadi karena hubungan antara DPRD dan kepala daerah sering kali dispute. Gubernur bertindak pula sebagai wakil pemerintah, sedangkan bupati/walikota tidak. Di tingkat nasional tetap dianut sistem presidensial hanya menganut multipartai.
Keadaan di tingkat daerah yang tidak kondusif membawa keinginan merevisi UU tersebut. Keinginan yang kuat adalah mengubah Pilkada melalui DPRD ke pilkada langsung. Akhirnya, pilkada langsung dianut oleh UU No 32 Tahun 2004 pengganti UU 22/1999. Sistem wakil pemerintah masih berlaku hanya di pundak gubernur, sedangkan bupati/wali kota berkedudukan sebagai kepala daerah semata. Sistem multipartai dianut dan legislative heavy masih mewarnai di tingkat nasional.
Pilkada di tangan DPRD masa UUNo 22/1999 dan pilkada langsung masa UU No 32/ 2004, semuanya menganut sistem paket. Dalam kedua sistem, dipilih kepala daerah bersama-sama seorang wakil kepala daerah. Dua UU terakhir yang dilahirkan sejak masa reformasi ini dikenal dengan UU pengubah momentum pelaksanaan otonomi daerah di bumi NKRI yang mengacu ‘local-democratic model’. Keduanya tergolong hasil big-bang approach dalam desentralisasi di Indonesia.
Pelajaran Berharga
Pilkada langsung di bumi NKRI diacu oleh para pendiri negara dan penerusnya dengan memperhatikan sistem yang berkembang, tidak sepenggalsepenggal hanya memikirkan nilai demokrasi. Nilai demokrasi jika dipikirkan semata, tentu Inggris, Australia, Prancis, Jerman sebagai negara-negara sangat demokratis seharusnya memilih pilkada langsung. Buktinya mereka tidak menganutnya, bahkan sebagian besar pemerintah daerah di Amerika Serikat pun tidak dengan pilkada langsung.
Sistem wakil pemerintah pun menjadi acuan. Negara-negara di mana dianut wakil pemerintah, maka tidak dianut pilkada langsung. Pendiri negara memahami betul soal ini. Sistem kepartaian harus diperbaiki.
Seharusnya DPRD pun dapat diisi oleh kalangan nonpartai agar mampu menampung calon independen. Ini semua soal kekompakan antarsubsistem pemerintahan dalam NKRI. Dengan demikian, pilkada melalui DPRD juga memiliki agenda perbaikan, pilkada langsung pun demikian terhadap bangun NKRI.
(nfl)