Daulat Pangan

Kamis, 18 September 2014 - 20:38 WIB
Daulat Pangan
Daulat Pangan
A A A
KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat,
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)


Beban yang dipikul sektor pertanian kian berat. Di satu sisi sektor ini menampung lebih sepertiga tenaga kerja. Di sisi lain bertahun-tahun sektor pertanian tumbuh rendah. Sektor manufaktur yang diharapkan menyerap banyak tenaga kerja jauh panggang dari api. Akibat surplus tenaga kerja, kemiskinan menumpuk di sektor pertanian.

BPS mencatat, dari jumlah penduduk miskin 28,28 juta orang, Maret 2014, 63% tinggal di desa yang sebagian besar petani. Sebagai produsen pangan petani jadi kelompok paling terancam rawan pangan. Lahan pertanian kian sempit dan kelelahan. Keuntungan pertanian on farm belum menjanjikan, produktivitas aneka pangan melandai, diversifikasi pangan gagal, jumlah penduduk kian banyak, sementara karena deraan kemiskinan konversi lahan pertanian berlangsung kian masif. Bukan hanya lahan, petani pun terancam punah. Menurut Sensus Pertanian 2013, selama satu dekade terakhir jumlah keluarga petani menurun 5 juta, dari 31,17 jadi 26,13 juta.

Pertanian dijauhi karena tak menjanjikan kesejahteraan dan masa depan. Menurut BPS, pendapatan rumah tangga tani dari usaha di sektor pertanian rata-rata Rp12,4 juta/tahun atau Rp1 juta/bulan. Pendapatan ini hanya menopang sepertiga kebutuhan. Sisanya disumbang dari kegiatan di luar pertanian, seperti ngojek, berdagang, dan jadi pekerja kasar. Fakta ini menunjukkan tidak ada lagi ”masyarakat petani”, yakni mereka yang bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan itu.

Pertanian dijauhi tenaga kerja muda terdidik. Menurut Sensus Pertanian 2013, lebih sepertiga pekerja sektor pertanian berusia lebih 54 tahun. Pertanian terancam gerontrokrasi. Ini terjadi karena pertanian mengalami destruksi sistemis di semua lini: di on farm, off farm, serta industri dan jasa pendukung. Otonomi daerah dan desentralisasi membuat Kementerian Pertanian tidak punya ”tangan dan kaki” di daerah. Ditambah sikap pemerintah daerah yang tidak memandang penting pertanian membuat, sektor pertanian rapuh di segala lini.

***Sejak 2007 Indonesia defisit perdagangan pangan. Impor pangan melesat lebih cepat ketimbang ekspor, sehingga defisit cenderung melebar. Laju permintaan pangan di Indonesia sebesar 4,87% per tahun tak mampu dikejar oleh kemampuan produksi domestik. Nilai impor paling besar disumbang gandum, kedelai, beras, jagung, gula, susu, daging dan bakalan sapi, aneka buah dan bawang putih. Selama satu dekade terakhir ketergantungan Indonesia pada pangan impor nyaris tak berubah: 100% untuk gandum, 78% kedelai, 72% susu, 54% gula, 18% daging sapi, dan 95% bawang putih. Sebagian besar diimpor dari negara-negara maju.

Indeks keamanan pangan Indonesia, seperti diukur dalam Global Food Security Index , terus merosot: dari posisi 62 dari 105 negara (skor antara 0-100) pada 2012 anjlok ke posisi 72 dari 109 negara pada 2014. Posisi negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Tiongkok dan Filipina lebih baik daripada Indonesia. Negara-negara industri maju sekalipun tak abai persoalan pangan, tecermin dari skor mereka yang tinggi. Misalnya Amerika Serikat dengan skor 89,3 di posisi puncak. Jepang dan Korsel berada di posisi terhormat, masing-masing ke-21 dengan skor 77,8 dan ke- 25 dengan skor 73,2.

Kedaulatan pangan Indonesia kian rapuh dan rentan oleh fluktuasi harga pangan dunia dan perubahan iklim ekstrem yang sulit diantisipasi. Instabilitas harga pangan selalu berulang akibat dominasi orientasi pasar dalam kebijakan pangan.

***Presiden-wakil presiden terpilih, Jokowi-JK, berjanji menempatkan pertanian pada posisi penting guna mengembalikan kedaulatan pangan. Ini ditempuh lewat sejumlah langkah: membagikan 9 juta hektare lahan ke petani, menambah kepemilikan lahan dari 0,3 hektare jadi 2 hektare, membangun irigasi/ embung, mencetak 1 juta hektare lahan baru, mendirikan bank pertanian, mendorong industri pengolahan.

Langkah ini tak cukup guna membangun kedaulatan pangan. Agar berdaulat pangan, pertama-tama petani sebagai pelaku utama harus berdaulat. Petani berdaulat bila memiliki tanah, bukan penggarap, apalagi buruh. Karena itu, pertama, untuk menjamin tegaknya kedaulatan pangan, akses dan kontrol petani pada sumber daya penting (tanah, air, benih, teknologi, dan finansial) harus dijamin lewat reforma agraria. Tanpa jaminan akses dan kontrol sumber daya produksi kedaulatan hanya omong kosong.

Kedua, sumber daya penting harus dikelola seoptimal mungkin guna memproduksi aneka pangan sesuai keragaman hayati dan kearifan lokal. Langkah peningkatan produksi, produktivitas dan efisiensi usaha tani dan tata niaga tak bisa ditawar-tawar. Kebijakan ini harus ditopang perluasan lahan pangan, perbaikan infrastruktur, pembenahan sistem informasi harga, pasar, dan teknologi. Perluasan lahan merupakan keniscayaan karena ketersediaan lahan pangan per kapita Indonesia amat sempit, hanya 359 m2 untuk sawah (451 m2 bila digabung lahan kering), jauh dari Vietnam (960 m2), Thailand (5.226 m2), Tiongkok (1.120 m2).

Ketiga, perlindungan petani terhadap sistem perdagangan yang tidak adil. Dalam lingkup sosial-ekonomi, negara perlu menjamin struktur pasar yang jadi fondasi pertanian, baik domestik maupun dunia, merupakan pasar yang adil. Liberalisasi kebablasan mesti dikoreksi. Lalu dikembangkan perdagangan adil buat petani dengan mengadopsi harga pantas (fair price ): harga break even point (BEP), plus asuransi gagal panen (50% dari BEP), tabungan masa depan, dan tabungan pengembangan usaha (masing-masing 10% dari BEP). Perdagangan adil membuat petani berdaya karena mereka punya asuransi dan dana investasi.

Dalam konteks lingkungan alam, petani perlu perlindungan atas pelbagai kerugian bencana. Negara perlu memberi jaminan hukum bila itu terjadi petani tak menderita. Pendek kata, semua yang menambah biaya eksternal petani, menurunkan harga riil produk pertanian dan struktur yang menghambat kemajuan pertanian perlu landasan hukum yang kuat agar perlindungan petani bisa dilaksanakan sebagai kewajiban negara (Pakpahan, 2012). Karena UU Nomor 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani masih jauh dari memadai.

Keempat, mengembalikan fungsi negara sebagai stabilisator harga pangan strategis. Caranya, merevitalisasi Bulog dengan memperluas kapasitasnya. Bulog tidak hanya mengurus beras, tetapi juga mengelola sejumlah komoditas penting lain disertasi instrumen stabilisasi yang lengkap, seperti cadangan, harga (atas dan bawah), pengaturan impor (waktu dan kuota), dan anggaran yang memadai. Impor komoditas pangan pokok yang semula diserahkan swasta bisa dikembalikan sebagian atau seluruhnya pada Bulog. Ini akan mengeliminasi kuasa swasta dalam mengontrol harga dan mereduksi praktik rente.

Agar peta jalan kedaulatan pangan berjalan, perlu dua syarat: anggaran memadai dan kelembagaan yang powerful. Selama reformasi pertanian dipinggirkan. Politik pembangunan dan anggaran menjauh dari pertanian. Pertanian dinilai tidak lagi penting. Kelembagaan yang mengurus pangan dibubarkan. Padahal, sejarah negara-negara maju seperti AS, Jepang, dan yang lain mengajarkan tidak ada negara yang ekonominya maju dan stabil tanpa ditopang pertanian. Meskipun ekonomi mereka sudah tergantung pada pertanian, tidak serta-merta pertanian ditinggalkan. Justru pertanian diperkuat dengan anggaran dan aneka perundangan. Pertanian ditaruh di tempat terhormat: sebagai persoalan bangsa. Untuk berdaulat pangan, Jokowi-JK harus menempatkan pangan dan pertanian sebagai persoalan bangsa.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0084 seconds (0.1#10.140)