Pemilukada yang Konstitusional, Demokratis dan Efisien
A
A
A
AHMAD YANI
Wakil Ketua Fraksi PPP DPR RI
Pro-kontra pemilihan kepala daerah oleh DPRD atau langsung oleh rakyat menunjukkan proses berdemokrasi yang sehat.
Perbedaan pendapat tersebut bukan merupakan langkah mundur, tetapi menjadi musyawarah untuk perbaikan kehidupan berdemokrasi yang efektif dan efisien, serta bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme dan politik dinasti. Selain itu, konstitusi tidak pernah mengharuskan adanya pemilukada langsung.
Di dalam Pasal 18 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan, “Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis." Pemilihan norma dasar berbentuk frase “dipilih secara demokratis” ini berbeda dengan sistem pemilihan anggota DPRD, yang disebut konstitusi “dipilih melalui pemilihan umum”.
Pasal 18 Ayat 3 berbunyi, “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki dewan perwakilan rakyat daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.”
Dua ayat dalam konstitusi tersebut membuktikan sistem pemilihan kepala daerah dan DPRD bersifat asimetris. Norma dasar untuk pemilihan kepala daerah dan DPRD berbeda, sehingga sistem pemilukada dan pemilihan anggota DPRD juga seharusnya berbeda.
Bila pemilukada dijalankan dengan metode seperti pemilihan umum, yang langsung dilakukan oleh rakyat, norma untuk pemilukada dan pemilihan anggota DPRD dalam UUD akan diatur dalam satu ayat yang sama. Ayat tersebut berbunyi misalnya, “Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota, serta anggota dewan perwakilan rakyat daerah dipilih melalui pemilihan umum.”
Pemilukada juga seharusnya sejak dulu tidak dimasukkan dalam rezim pemilu karena batasan pemilu yang konstitusional telah dirumuskan dalam UUD 1945 Pasal 22E ayat 2 bahwa, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, presiden dan wakil presiden, dan dewan perwakilan rakyat daerah.” Konstitusi tidak memasukkan kepala daerah sebagai objek pemilihan umum, yang dipilih langsung oleh rakyat.
Dapat dinyatakan pemilukada langsung selama ini bertentangan atau sekurang-kurangnya tidak sejalan dengan konstitusi. Pemilukada langsung tentu membawa manfaat, tetapi juga mengandung mudarat. Manfaatnya adalah rakyat berkesempatan memberikan suara secara langsung. Tetapi, manfaat ini menjadi kabur karena sesudah pemilukada berlangsung, rakyat tidak berkesempatan mengoreksi dan memperbaiki pemda secara langsung.
Pada sebagian daerah, partisipasi politik pasca pemilukada memang dihargai dan diberi ruang yang luas. Beberapa kepala daerah melakukan blusukan, mencari tahu suara hati rakyat dan situasi kehidupan mereka. Beberapa yang lain membuka ruang di radio dan televisi daerah, membuat ajang urun rembuk setiap pekan, bahkan memanfaatkan jaringan seluler dan internet untuk menjalankan komunikasi publik.
Mereka berhasil menyapa rakyatnya dan dipuji karena kinerjanya memenuhi harapan publik. Akan tetapi, mereka bagus berkomunikasi bukan karena sistemnya yang baik, melainkan karena orangnya yang terdidik, berintegritas tinggi dan mau berbagi dengan rakyat. Padahal, suatu sistem yang baik akan dapat melestarikan yang baik-baik, sementara jika pemimpinnya saja yang baik maka belum tentu kebaikan itu berlanjut setelah dia tidak menjabat.
Pada sebagian besar daerah, hubungan langsung antara kepala daerah dan rakyat pascapilkada baru sebatas mimpi. Kepala-kepala daerah justru menjadi raja-raja kecil, yang begitu berkuasa dan susah dijangkau oleh rakyatnya. Bahkan, mereka pun susah untuk berkomunikasi dengan partaipartai yang mengusungnya, sehingga di banyak kasus terjadi pecah kongsi. Ini indikasi lain dari adanya mudarat pemilukada langsung.
Hal yang lebih memusingkan kepala adalah sekali mereka terpilih, dinasti baru tercipta. Mereka dapat berkuasa dua periode, tetapi mereka dapat melanjutkannya lagi melalui istrinya, anaknya, atau dirinya menjadi wakil kepala daerah. Mereka pun dapat berbagi ruang kekuasaan publik bagi keluarganya di beberapa kabupaten/kota di suatu provinsi. Ini bukan hanya terjadi di Provinsi Banten, tetapi juga daerah-daerah lain.
Dapat dinyatakan bahwa pemilukada langsung memberikan kesempatan tumbuhnya kembali nepotisme dan politik dinasti, yang justru ingin dikubur oleh reformasi dan demokrasi. Produk pemilukada lewat DPRD juga bagus, meski seperti produk pemilukada langsung, tidak semuanya bagus. Contohnya adalah Bang Ali Sadikin, produk pemilihan DPRD.
Pertimbangan strategis lain untuk melakukan perubahan sistem pemilukada adalah efisiensi. Bayangkan, jika diasumsikan biaya pemilukada sembilan provinsi besar (Jatim, Jabar, Jateng, Sumut, Sulsel, Banten, Sumsel, Lampung, dan DKI Jakarta) rata-rata Rp750 miliar, sedangkan 25 provinsi lainnya rata-rata Rp500 miliar, lalu ditambah sekitar 500 kabupaten/kota dengan biaya rata-rata Rp50 miliar, maka total biaya pilkada langsung itu mencapai Rp44,25 triliun!
Ini merupakan penghematan APBN dan APBD yang sangat besar sehingga kita dapat mengurangi beban fiskal tanpa menaikkan harga BBM, elpiji, dan tarif listrik secara rutin. Penghematan akan semakin besar jika dihitung biaya kampanye dari setiap pasangan calon. Bila setiap pasangan menghabiskan Rp10 miliar, dan ada tiga pasangan calon pada setiap pemilukada langsung, maka sekurang-kurangnya ada biaya tambahan lebih dari Rp16 triliun.
Dengan demikian, pemilukada langsung seluruh Indonesia menelan biaya lebih dari Rp60 triliun! Bahkan, jika pemilukada berlanjut ke Mahkamah Konstitusi, biaya-biaya itu membengkak, baik anggaran APBN untuk MK, pembiayaan perkara oleh masing-masing pihak, dan besarnya kemungkinan biaya sosial, seperti kerusuhan.
Jika pemilukada dilakukan oleh DPRD, biayanya diperkirakan tidak sampai sepersepuluhnya, sehingga anggaran yang dapat dihemat dapat disalurkan ke bidang kesejahteraan rakyat. Bila ada kekhawatiran praktik suap-menyuap dalam pemilukada melalui DPRD, maka KPK, Kepolisian RI dan Kejaksaan RI tinggal menjalankan praktik penyelidikan mendalam, termasuk penyadapan bila ada indikasi tersebut.
Lagi pula, PPATK dapat membantu fungsi pencegahan. Lembaga-lembaga tersebut dapat menjalankan tugasnya secara efektif karena yang diawasi hanya puluhan orang anggota DPRD dan pimpinan partai. Di sisi lain, mayoritas produk pemilukada langsung bermasalah secara hukum. Sekitar 60 persen dari kepala daerah diproses hukum oleh Polri, Kejaksaan RI dan KPK.
Banyaknya kepala daerah yang tersangkut hukum karena mereka harus menanggung beban kampanye yang sangat besar, yang harus dikembalikan pada masa kepemimpinannya. Bagi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), pengembalian sistem pemilukada ke jalur yang benar dan konstitusional sudah dipikirkan sejak Mukernas PPP 2010 di Medan. Mukernas merekomendasikan pemilukada dilakukan oleh DPRD.
Karena itu, tudingan perubahan sistem pemilukada menjadi konstitusional ini karena kepentingan politik jelas berlebihan. Jauh sebelum terbetik di dalam pikiran adanya Koalisi Merah Putih, koalisi permanen dan Pilpres 2014, PPP sudah mengusulkannya demi kemaslahatan bangsa Indonesia.
Wakil Ketua Fraksi PPP DPR RI
Pro-kontra pemilihan kepala daerah oleh DPRD atau langsung oleh rakyat menunjukkan proses berdemokrasi yang sehat.
Perbedaan pendapat tersebut bukan merupakan langkah mundur, tetapi menjadi musyawarah untuk perbaikan kehidupan berdemokrasi yang efektif dan efisien, serta bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme dan politik dinasti. Selain itu, konstitusi tidak pernah mengharuskan adanya pemilukada langsung.
Di dalam Pasal 18 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan, “Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis." Pemilihan norma dasar berbentuk frase “dipilih secara demokratis” ini berbeda dengan sistem pemilihan anggota DPRD, yang disebut konstitusi “dipilih melalui pemilihan umum”.
Pasal 18 Ayat 3 berbunyi, “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki dewan perwakilan rakyat daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.”
Dua ayat dalam konstitusi tersebut membuktikan sistem pemilihan kepala daerah dan DPRD bersifat asimetris. Norma dasar untuk pemilihan kepala daerah dan DPRD berbeda, sehingga sistem pemilukada dan pemilihan anggota DPRD juga seharusnya berbeda.
Bila pemilukada dijalankan dengan metode seperti pemilihan umum, yang langsung dilakukan oleh rakyat, norma untuk pemilukada dan pemilihan anggota DPRD dalam UUD akan diatur dalam satu ayat yang sama. Ayat tersebut berbunyi misalnya, “Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota, serta anggota dewan perwakilan rakyat daerah dipilih melalui pemilihan umum.”
Pemilukada juga seharusnya sejak dulu tidak dimasukkan dalam rezim pemilu karena batasan pemilu yang konstitusional telah dirumuskan dalam UUD 1945 Pasal 22E ayat 2 bahwa, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, presiden dan wakil presiden, dan dewan perwakilan rakyat daerah.” Konstitusi tidak memasukkan kepala daerah sebagai objek pemilihan umum, yang dipilih langsung oleh rakyat.
Dapat dinyatakan pemilukada langsung selama ini bertentangan atau sekurang-kurangnya tidak sejalan dengan konstitusi. Pemilukada langsung tentu membawa manfaat, tetapi juga mengandung mudarat. Manfaatnya adalah rakyat berkesempatan memberikan suara secara langsung. Tetapi, manfaat ini menjadi kabur karena sesudah pemilukada berlangsung, rakyat tidak berkesempatan mengoreksi dan memperbaiki pemda secara langsung.
Pada sebagian daerah, partisipasi politik pasca pemilukada memang dihargai dan diberi ruang yang luas. Beberapa kepala daerah melakukan blusukan, mencari tahu suara hati rakyat dan situasi kehidupan mereka. Beberapa yang lain membuka ruang di radio dan televisi daerah, membuat ajang urun rembuk setiap pekan, bahkan memanfaatkan jaringan seluler dan internet untuk menjalankan komunikasi publik.
Mereka berhasil menyapa rakyatnya dan dipuji karena kinerjanya memenuhi harapan publik. Akan tetapi, mereka bagus berkomunikasi bukan karena sistemnya yang baik, melainkan karena orangnya yang terdidik, berintegritas tinggi dan mau berbagi dengan rakyat. Padahal, suatu sistem yang baik akan dapat melestarikan yang baik-baik, sementara jika pemimpinnya saja yang baik maka belum tentu kebaikan itu berlanjut setelah dia tidak menjabat.
Pada sebagian besar daerah, hubungan langsung antara kepala daerah dan rakyat pascapilkada baru sebatas mimpi. Kepala-kepala daerah justru menjadi raja-raja kecil, yang begitu berkuasa dan susah dijangkau oleh rakyatnya. Bahkan, mereka pun susah untuk berkomunikasi dengan partaipartai yang mengusungnya, sehingga di banyak kasus terjadi pecah kongsi. Ini indikasi lain dari adanya mudarat pemilukada langsung.
Hal yang lebih memusingkan kepala adalah sekali mereka terpilih, dinasti baru tercipta. Mereka dapat berkuasa dua periode, tetapi mereka dapat melanjutkannya lagi melalui istrinya, anaknya, atau dirinya menjadi wakil kepala daerah. Mereka pun dapat berbagi ruang kekuasaan publik bagi keluarganya di beberapa kabupaten/kota di suatu provinsi. Ini bukan hanya terjadi di Provinsi Banten, tetapi juga daerah-daerah lain.
Dapat dinyatakan bahwa pemilukada langsung memberikan kesempatan tumbuhnya kembali nepotisme dan politik dinasti, yang justru ingin dikubur oleh reformasi dan demokrasi. Produk pemilukada lewat DPRD juga bagus, meski seperti produk pemilukada langsung, tidak semuanya bagus. Contohnya adalah Bang Ali Sadikin, produk pemilihan DPRD.
Pertimbangan strategis lain untuk melakukan perubahan sistem pemilukada adalah efisiensi. Bayangkan, jika diasumsikan biaya pemilukada sembilan provinsi besar (Jatim, Jabar, Jateng, Sumut, Sulsel, Banten, Sumsel, Lampung, dan DKI Jakarta) rata-rata Rp750 miliar, sedangkan 25 provinsi lainnya rata-rata Rp500 miliar, lalu ditambah sekitar 500 kabupaten/kota dengan biaya rata-rata Rp50 miliar, maka total biaya pilkada langsung itu mencapai Rp44,25 triliun!
Ini merupakan penghematan APBN dan APBD yang sangat besar sehingga kita dapat mengurangi beban fiskal tanpa menaikkan harga BBM, elpiji, dan tarif listrik secara rutin. Penghematan akan semakin besar jika dihitung biaya kampanye dari setiap pasangan calon. Bila setiap pasangan menghabiskan Rp10 miliar, dan ada tiga pasangan calon pada setiap pemilukada langsung, maka sekurang-kurangnya ada biaya tambahan lebih dari Rp16 triliun.
Dengan demikian, pemilukada langsung seluruh Indonesia menelan biaya lebih dari Rp60 triliun! Bahkan, jika pemilukada berlanjut ke Mahkamah Konstitusi, biaya-biaya itu membengkak, baik anggaran APBN untuk MK, pembiayaan perkara oleh masing-masing pihak, dan besarnya kemungkinan biaya sosial, seperti kerusuhan.
Jika pemilukada dilakukan oleh DPRD, biayanya diperkirakan tidak sampai sepersepuluhnya, sehingga anggaran yang dapat dihemat dapat disalurkan ke bidang kesejahteraan rakyat. Bila ada kekhawatiran praktik suap-menyuap dalam pemilukada melalui DPRD, maka KPK, Kepolisian RI dan Kejaksaan RI tinggal menjalankan praktik penyelidikan mendalam, termasuk penyadapan bila ada indikasi tersebut.
Lagi pula, PPATK dapat membantu fungsi pencegahan. Lembaga-lembaga tersebut dapat menjalankan tugasnya secara efektif karena yang diawasi hanya puluhan orang anggota DPRD dan pimpinan partai. Di sisi lain, mayoritas produk pemilukada langsung bermasalah secara hukum. Sekitar 60 persen dari kepala daerah diproses hukum oleh Polri, Kejaksaan RI dan KPK.
Banyaknya kepala daerah yang tersangkut hukum karena mereka harus menanggung beban kampanye yang sangat besar, yang harus dikembalikan pada masa kepemimpinannya. Bagi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), pengembalian sistem pemilukada ke jalur yang benar dan konstitusional sudah dipikirkan sejak Mukernas PPP 2010 di Medan. Mukernas merekomendasikan pemilukada dilakukan oleh DPRD.
Karena itu, tudingan perubahan sistem pemilukada menjadi konstitusional ini karena kepentingan politik jelas berlebihan. Jauh sebelum terbetik di dalam pikiran adanya Koalisi Merah Putih, koalisi permanen dan Pilpres 2014, PPP sudah mengusulkannya demi kemaslahatan bangsa Indonesia.
(kri)