Mudik, Kerinduan & Kematian
A
A
A
JAUH sebelum Lebaran tiba orang-orang yang akan mudik dari Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia dengan perasaan berbunga-bunga telah merencanakan pulang kampung.
Ada pijar-pijar nostalgia, binar-binar kerinduan, dan gebyar hasrat temu kangen dengan ayah ibu, keluarga, dan kerabat di kampung halaman. Mereka akan saling lepas rindu, bersilaturahmi, dan berlebaran di kampung halaman tercinta. Untuk keperluan mudik sebagian mereka mulai menyervis mobil pribadi untuk membawa istri dan anak tersayang ke kampung halaman. Sepeda motor pun dipersiapkan untuk mudik dengan menempuh jarak yang jauh. Sebagian pergi ke tempat-tempat penyewaan mobil untuk menyewa mobil. Sebagian lagi memesan tiket pesawat, kereta api, atau bus untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarga.
Pelayanan pemesanan tiket pesawat dan kereta api dipermudah karena dapat dilakukan melalui internet secara online. Mudik Lebaran adalah siklus ritual tahunan. Mengapa harus mudik? Jawabannya sangat simpel. Karena ia telah menjadi tradisi yang dilakukan secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. Tradisi Lebaran (dengan segala kebiasaan mudiknya) sebenarnya merupakan tradisi khas Melayu (Indonesia dan Malaysia). Di negara-negara Arab di Timur Tengah, Idul Fitri tidak begitu meriah dirayakan. Yang dirayakan secara besar-besaran adalah Idul Adha karena waktunya terkait dengan upacara pelaksanaan ibadah haji.
Di Indonesia, mudik Lebaran dilakukan karena banyak orang Islam ingin berlebaran di kampung halaman, bersilaturahmi, bersyawalan, memohon maaf kepada orang tua, bermaafan dengan keluarga, sanak saudara, dan kerabat. Tradisi mudik itu bagus. Sebenarnya, ajaran bermaafan dalam Islam tidak harus dilakukan pada saat Lebaran. Segera setelah seorang muslim membuat kesalahan, ia wajib minta maaf kepada orang yang terkena kesalahan. Untuk memberikan fasilitas, kelancaran, dan kenyamanan kepada para mudik, menjelang Lebaran pemerintah memperbaiki jalan-jalan yang rusak dengan mengeluarkan dana besar.
Jalanjalan di pantai utara Jawa, misalnya, diperbaiki agar para pengguna kendaraan dapat mengendarai kendaraan mereka dengan enak, nyaman, dan aman. Disediakan pula pos-pos pemberhentian dan peristirahatan agar para pengendara dapat beristirahat atau tidur sekadarnya agar segar kembali untuk meneruskan perjalanan. Disediakan kereta api untuk mengangkut kendaraan roda dua ke kota tujuan sebagai bentuk kepedulian pemerintah kepada para pemudik.
Pelayanan kesehatan juga disediakan di tempat-tempat tertentu untuk memberikan bantuan kepada orang-orang yang perlu mendapat bantuan medis. Biasanya, sejak H-7 Lebaran dan beberapa hari sesudahnya, prosesi mudik menggeliat dan meningkat. Stasiun kereta api, terminal bus, bandara, dan pelabuhan dipadati para pemudik dari pagi sampai malam hari. Situasi menjadi rentan dan mudah menyulut emosi kemarahan yang dibalut perasaan kesal dan kelelahan.
Terjadi penumpukan penumpang di bandara, stasiun kereta api, dan terminal bus. Para penumpang berjubel di kapal laut sehingga ada orang tua dan anak kecil pingsan akibat saling desak antarpenumpang. Jalur Nagrek dan Pantura, misalnya, dipenuhi kendaraan sehingga lalu lintas terlihat padat merayap. Pemandangan yang sama terlihat pula ketika arus balik terjadi pada beberapa hari setelah Lebaran. Situasi semacam ini dengan segala kompleksitas permasalahannya berulang lagi setiap tahun pada saat arus mudik dan arus balik di musim Lebaran.
Mudik Lebaran bisa dipandang sebagai obat yang bisa mengobati kerinduan seseorang atau sekelompok orang terhadap orang tua, keluarga, sanak saudara, dan kerabat yang sudah (cukup) lama tidak saling jumpa. Mudik dapat dipandang sebagai obat kerinduan seseorang atau sekelompok orang terhadap kampung halaman itu sendiri, kampung halaman tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan, kampung halaman tempat mereka bermain dan bercanda bersama saudara dan kawan di masa kecil.
Dewasa ini mudik Lebaran bukan lagi sekadar tradisi, tapi sudah menjadi nostalgi, obsesi, dan bahkan ilusi yang mempertaruhkan segalanya. Tak jarang orang harus hutang dulu untuk kebutuhan mudik. Tak jarang orang harus menyewa mobil untuk kepentingan mudik. Berapa banyak uang yang harus dikeluarkan demi keperluan mudik, kurang diperhitungkan secara ekonomis. Yang penting, mudik harus dilakukan dan bayar hutang kemudian. Berapa ratus kilometer jarak yang harus ditempuh kadang-kadang tidak dipertimbangkan. Sadar atau tidak, nyawa pun dipertaruhkan demi memenuhi obsesi dan ilusi mudik.
Tahun lalu (Lebaran 2013), Kabagpenum Mabes Polri Kompol Agus Rianto di Jakarta memberikan data kecelakaan dan korban yang terjadi sejak dilakukannya Operasi Ketupat pada H-7 sampai dengan H+7. Korban kecelakaan lalu lintas yang meninggal dunia dan lukaluka adalah sebagai berikut: 719 orang tewas, 1.184 luka berat, dan 4.326 luka ringan. Adapun kendaraan yang mengalami kecelakaan: mobil penumpang (858), mobil barang (358), bus (194), kendaraan tidak bermotor (129), dan kendaraan khusus/pribadi (20). Kabagpenum mencatat, bagian terbesar kecelakaan didominasi oleh sepeda motor (4.159).
Kecelakaan disebabkan oleh faktor kelelahan mental-fisikal (terutama pengendara sepeda motor) yang menempuh jarak jauh (sampai ratusan kilometer), melanggar batas kecepatan, dan tidak menjaga jarak. Kendaraan yang tidak laik pakai dan human error juga menyumbang bagi terjadinya kasus kecelakaan. Kabagpenum Mabes Polri mengklaim, tingkat kecelakaan dan jumlah korban pada Lebaran 2013 turun dibanding dengan jumlah korban dan kecelakaan pada Lebaran 2012.
Tapi jelas jumlah kecelakaan pada musim Lebaran tahun 2013 di atas yang mengakibatkan 719 orang tewas, 1.184 orang luka berat, dan 4.326 orang luka ringan adalah angka yang masih tinggi. Ini bukan korban konflik SARA, perang suku, atau perang saudara, tapi tragedi pembunuhan dan kematian sia-sia di jalan raya saat arus mudik dan arus balik Lebaran. Keceriaan Lebaran seharusnya identik dengan nuansa kegembiraan, bukan identik dengan pembunuhan.
Semoga angka kecelakaan kendaraan, korban luka, dan kematian pada arus mudik dan arus balik Lebaran 2014 jauh lebih menurun lagi.
FAISAL ISMAIL
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Ada pijar-pijar nostalgia, binar-binar kerinduan, dan gebyar hasrat temu kangen dengan ayah ibu, keluarga, dan kerabat di kampung halaman. Mereka akan saling lepas rindu, bersilaturahmi, dan berlebaran di kampung halaman tercinta. Untuk keperluan mudik sebagian mereka mulai menyervis mobil pribadi untuk membawa istri dan anak tersayang ke kampung halaman. Sepeda motor pun dipersiapkan untuk mudik dengan menempuh jarak yang jauh. Sebagian pergi ke tempat-tempat penyewaan mobil untuk menyewa mobil. Sebagian lagi memesan tiket pesawat, kereta api, atau bus untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarga.
Pelayanan pemesanan tiket pesawat dan kereta api dipermudah karena dapat dilakukan melalui internet secara online. Mudik Lebaran adalah siklus ritual tahunan. Mengapa harus mudik? Jawabannya sangat simpel. Karena ia telah menjadi tradisi yang dilakukan secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. Tradisi Lebaran (dengan segala kebiasaan mudiknya) sebenarnya merupakan tradisi khas Melayu (Indonesia dan Malaysia). Di negara-negara Arab di Timur Tengah, Idul Fitri tidak begitu meriah dirayakan. Yang dirayakan secara besar-besaran adalah Idul Adha karena waktunya terkait dengan upacara pelaksanaan ibadah haji.
Di Indonesia, mudik Lebaran dilakukan karena banyak orang Islam ingin berlebaran di kampung halaman, bersilaturahmi, bersyawalan, memohon maaf kepada orang tua, bermaafan dengan keluarga, sanak saudara, dan kerabat. Tradisi mudik itu bagus. Sebenarnya, ajaran bermaafan dalam Islam tidak harus dilakukan pada saat Lebaran. Segera setelah seorang muslim membuat kesalahan, ia wajib minta maaf kepada orang yang terkena kesalahan. Untuk memberikan fasilitas, kelancaran, dan kenyamanan kepada para mudik, menjelang Lebaran pemerintah memperbaiki jalan-jalan yang rusak dengan mengeluarkan dana besar.
Jalanjalan di pantai utara Jawa, misalnya, diperbaiki agar para pengguna kendaraan dapat mengendarai kendaraan mereka dengan enak, nyaman, dan aman. Disediakan pula pos-pos pemberhentian dan peristirahatan agar para pengendara dapat beristirahat atau tidur sekadarnya agar segar kembali untuk meneruskan perjalanan. Disediakan kereta api untuk mengangkut kendaraan roda dua ke kota tujuan sebagai bentuk kepedulian pemerintah kepada para pemudik.
Pelayanan kesehatan juga disediakan di tempat-tempat tertentu untuk memberikan bantuan kepada orang-orang yang perlu mendapat bantuan medis. Biasanya, sejak H-7 Lebaran dan beberapa hari sesudahnya, prosesi mudik menggeliat dan meningkat. Stasiun kereta api, terminal bus, bandara, dan pelabuhan dipadati para pemudik dari pagi sampai malam hari. Situasi menjadi rentan dan mudah menyulut emosi kemarahan yang dibalut perasaan kesal dan kelelahan.
Terjadi penumpukan penumpang di bandara, stasiun kereta api, dan terminal bus. Para penumpang berjubel di kapal laut sehingga ada orang tua dan anak kecil pingsan akibat saling desak antarpenumpang. Jalur Nagrek dan Pantura, misalnya, dipenuhi kendaraan sehingga lalu lintas terlihat padat merayap. Pemandangan yang sama terlihat pula ketika arus balik terjadi pada beberapa hari setelah Lebaran. Situasi semacam ini dengan segala kompleksitas permasalahannya berulang lagi setiap tahun pada saat arus mudik dan arus balik di musim Lebaran.
Mudik Lebaran bisa dipandang sebagai obat yang bisa mengobati kerinduan seseorang atau sekelompok orang terhadap orang tua, keluarga, sanak saudara, dan kerabat yang sudah (cukup) lama tidak saling jumpa. Mudik dapat dipandang sebagai obat kerinduan seseorang atau sekelompok orang terhadap kampung halaman itu sendiri, kampung halaman tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan, kampung halaman tempat mereka bermain dan bercanda bersama saudara dan kawan di masa kecil.
Dewasa ini mudik Lebaran bukan lagi sekadar tradisi, tapi sudah menjadi nostalgi, obsesi, dan bahkan ilusi yang mempertaruhkan segalanya. Tak jarang orang harus hutang dulu untuk kebutuhan mudik. Tak jarang orang harus menyewa mobil untuk kepentingan mudik. Berapa banyak uang yang harus dikeluarkan demi keperluan mudik, kurang diperhitungkan secara ekonomis. Yang penting, mudik harus dilakukan dan bayar hutang kemudian. Berapa ratus kilometer jarak yang harus ditempuh kadang-kadang tidak dipertimbangkan. Sadar atau tidak, nyawa pun dipertaruhkan demi memenuhi obsesi dan ilusi mudik.
Tahun lalu (Lebaran 2013), Kabagpenum Mabes Polri Kompol Agus Rianto di Jakarta memberikan data kecelakaan dan korban yang terjadi sejak dilakukannya Operasi Ketupat pada H-7 sampai dengan H+7. Korban kecelakaan lalu lintas yang meninggal dunia dan lukaluka adalah sebagai berikut: 719 orang tewas, 1.184 luka berat, dan 4.326 luka ringan. Adapun kendaraan yang mengalami kecelakaan: mobil penumpang (858), mobil barang (358), bus (194), kendaraan tidak bermotor (129), dan kendaraan khusus/pribadi (20). Kabagpenum mencatat, bagian terbesar kecelakaan didominasi oleh sepeda motor (4.159).
Kecelakaan disebabkan oleh faktor kelelahan mental-fisikal (terutama pengendara sepeda motor) yang menempuh jarak jauh (sampai ratusan kilometer), melanggar batas kecepatan, dan tidak menjaga jarak. Kendaraan yang tidak laik pakai dan human error juga menyumbang bagi terjadinya kasus kecelakaan. Kabagpenum Mabes Polri mengklaim, tingkat kecelakaan dan jumlah korban pada Lebaran 2013 turun dibanding dengan jumlah korban dan kecelakaan pada Lebaran 2012.
Tapi jelas jumlah kecelakaan pada musim Lebaran tahun 2013 di atas yang mengakibatkan 719 orang tewas, 1.184 orang luka berat, dan 4.326 orang luka ringan adalah angka yang masih tinggi. Ini bukan korban konflik SARA, perang suku, atau perang saudara, tapi tragedi pembunuhan dan kematian sia-sia di jalan raya saat arus mudik dan arus balik Lebaran. Keceriaan Lebaran seharusnya identik dengan nuansa kegembiraan, bukan identik dengan pembunuhan.
Semoga angka kecelakaan kendaraan, korban luka, dan kematian pada arus mudik dan arus balik Lebaran 2014 jauh lebih menurun lagi.
FAISAL ISMAIL
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
(hyk)