Puasa dan Purifikasi Bangsa
A
A
A
TIDAK terasa, umat Islam di Indonesia telah memasuki sepuluh hari terakhir pada Ramadan 1435 H. Bulan puasa yang penuh berkah, nikmat, dan ampunan terasa sangat cepat berlalu hingga tinggal tersisa beberapa hari saja.
Padahal kita mungkin merasa belumlah beramal apa-apa. Sementara kita pun tak akan pernah bisa menjamin bahwa ini bukan Ramadan terakhir kita. Saya selalu teringat, setiap kali bulan puasa hadir kiai di kampung saya di Kebumen selalu bertutur tentang seorang Majusi yang menghukum putranya.
Apa pasal? Karena, putranya tersebut makan dan minum secara terbuka di area publik. Kiai saya kembali bertutur, betapa seseorang yang menghormati, gembira akan datangnya Ramadan, baginya pahala yang luar biasa besarnya.
Apalagi jika seseorang berkenan mengekang diri dalam lapar dan dahaga di teriknya siang dan menenggelamkan diri dalam ibadah malam yang panjang. ”Ghufirolahu maa taqoddama min dzanbih”, begitu jaminan Tuhan, diampuni dosanya yang telah lalu.
Puasa sungguh adalah sebuah anugerah teramat berharga bagi umat muslim. Begitu besarnya anugerah pada bulan puasa itu sehingga banyak orang saleh yang berharap setiap bulan dalam rentang satu tahun itu adalah bulan puasa. Puasa itu, sebagaimana Allah firmankan, disyariatkan bagi orang beriman agar menjadi pribadi yang bertakwa.
Puasa adalah laku prihatin bagi umat Islam, laiknya kawah candra dimuka yang menempa kehidupan orang-orang beriman dan membakar segala gejolak nafsu yang rendah untuk menjadi pribadi yang bertakwa (la’allakum tattaquun). Meminjam istilah biologi, puasa laiknya sebuah proses metamorfosis. Kita dari ulat yang rakus menjadi kupu-kupu indah yang mencerahkan.
Puasa mempurifikasi diri kita, menjernih-sucikan manusia dari syahwat dunia, menjadi sosok hamba yang membawa rahmat bagi seluruh alam dengan cahaya iman dan takwa. Derajat takwa yang sejati akan tampak dalam setiap desah nafas dan lelaku langkah kehidupan seseorang. Tidak sekadar ketika ia beribadah, tapi juga ketika seseorang bekerja dan beraktivitas keseharian. Ketakwaan akan memandunya untuk berlaku sesuai sistem nilai agama yang dianutnya, termasuk dalam menjalani reriuh kehidupan berbangsa dan bernegara.
Puasa di Tengah Pesta
Puasa pada 1435 H ini, bagi bangsa Indonesia, sesungguhnya adalah puasa yang sangat istimewa karena ditunaikan saat bangsa kita sedang berpesta demokrasi untuk memilih calon RI 1. Di pundak putra terbaik bangsa inilah, Indonesia lima tahun ke depan diamanahkan. Meskipun konon adalah sebuah pesta, pilpres yang menyandingkan dua pasang calon ini laiknya ”kurusetra” yang tidak hanya melibatkan elite partai dan tim sukses pendukung capres.
Simpatisan dan masyarakat luas pun ikut terimbas oleh tingginya tensi demokrasi ini sejak masa kampanye dimulai. Meski akhirnya tahapan pemungutan suara telah terlaksana dengan aman dan damai, ternyata ”kurusetra ” politik ini belum berakhir. Situasinya sangat tidak sehat karena memaksa alam pikir masyarakat kita untuk mengalami apa yang disebut Leon Festinger sebagai disonansi kognitif. Ruang batin publik pun seakan terganggu karena informasi yang tidak sinkron, simpang siur, dan centang-perenangnya.
Celakanya, media massa, baik cetak maupun elektronik hingga media sosial, pun turut memanaskan situasi ini. Kondisi ini, prognosisnya masih akan berlangsung setidaknya hingga KPU menetapkan pemenang Pilpres 2014. Jika masih ada pihak yang merasa belum puas karena memandang ada ketidakadilan dan kecurangan, sengketa pemilu ini meski berakhir di persidangan Mahkamah Konstitusi. Artinya bahwa situasi panas ini mungkin belum akan berakhir.
Massa pendukung yang telah terpapar opini bahwa capres mereka adalah korban (victim) dari kecurangan pemilu yang masif dan sistematis sehingga harus kalah dalam pemilu tentu tidak begitu saja menerima kekalahan di ujung laga. Fanatisme buta dan ikrar berani mati membela capres pujaan tentu bisa menjadi benih-benih kerusuhan. Hanya butuh tersulut dengan provokasi ringan untuk bisa meletup membesar.
Kita tentu sama sekali tidak berharap situasi ini menyandung demokrasi kita. Situasi ini justru ujian bagi kedewasaan dan kesantunan masyarakat Indonesia dalam berpolitik dan berdemokrasi.
Oase Ramadan
Adalah anugerah teramat besar ketika melalui tangan KPU, Allah menakdirkan Pemilu 2014 ini terjadi pada Ramadan ketika sebagian besar rakyat Indonesia tengah menunaikan ibadah puasa. Ramadan sungguh selaksa oase di tengah panasnya sahara perpolitikan di republik ini. Tensi dan dinamika psikologi sosial yang cenderung meninggi semoga kembali bisa turun tersebab mata air Ramadan yang menyejukkan. Betapa tidak? Karena sesungguhnya puasa (ash-shiyaam) bisa dipahami dengan terminologi kunci al-imsaak.
Secara bahasa, ia berarti menahan diri dari melakukan suatu perbuatan seperti menahan tidur, menahan berbicara, menahan makan, dan sebagainya. Sedangkan secara syar’i, shaum bermakna menahan diri dari sesuatu yang membatalkan satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari, dengan niat dan syarat tertentu. Tentu saja kita tidak ingin puasa kita terjerembab pada puasa yang Rasulullah kisahkan bahwa betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak beroleh hikmah pahala, kecuali lapar dan dahaga belaka.
Apa pasal? Jikalau sekadar menahan lapar dan dahaga, barangkali itu soal biasa. Namun, menahan dan mengontrol diri dari melakukan perbuatan tercela tentu bukan soal yang sederhana. Meminjam Al-Ghazali, sekadar berpuasa dalam level awam (shaumul ‘am), sekadar mengendalikan pancaindera dan organ tubuh dari perbuatan yang sia-sia, apalagi perbuatan dosa, terkadang pun kita belum mampu. Tapi, justru inilah yang sedang dilatihkan Tuhan melalui laku priyatin dalam super-training bernama puasa.
Dalam konteks pilpres, semua pihak yang sama-sama mendamba kemenangan semestinya belajar menahan diri untuk tidak terjerumus dalam perbuatan bodoh yang mencederai demokrasi. Dimulai dari setiap diri, baik itu massa pendukung, tim sukses, maupun kandidat yang tengah berlaga. Tanggung jawab terbesar tentu akan berada di pundak para kandidat capres dan cawapres karena sejatinya mereka figur yang suara dan titahnya paling didengar, diikuti para pendukungnya. Ibarat salat, para jamaah dan makmum hanya akan sami’na waatho’na (mendengar dan taat) kepada imam sahaja.
Sangat indah apabila putra terbaik bangsa tersebut memberikan pernyataan yang sejuk dan meneduhkan sebagai panduan bijak para pendukungnya. Bukan sebaliknya, memberikan pernyataan provokatif yang membakar para pendukung untuk memberlakukan hukum perang, berbuat onar, rusuh, serta membela mereka mati-matian untuk beroleh tahta dan kuasa. Sangat bijak apabila para kandidat memberi teladan positif kepada pendukungnya.
Menerima dengan legawa dan besar hati, apa pun kehendak rakyat yang tertuang dalam real count KPU sebagai lembaga berwenang. Seandainya terjadi sengketa, izinkan instrumen hukum bernama MK yang bekerja menjadi pengadil yang seadil-adilnya. Kawal, bantu, dan doakan KPU dan MK jujur mengemban amanah konstitusi ini. Tentu para kandidat capres dan cawapres adalah negarawan sejati yang tidak berkehendak melihat sesama anak bangsa bertikai dan berseteru membela mereka.
Sesungguhnya kita sesama anak bangsa yang berharap Indonesia menjadi lebih baik meski dengan ijtihad politik capres pilihan yang barangkali berbeda. Kita semua adalah saudara yang dinaungi merah putih Indonesia yang sama, bukan musuh yang harus saling mengalahkan dan menghancurkan. Semestinya kita terjaga bahwa seteru sejati kita adalah sama, imperialisme modern yang berkehendak menjajah dan menguasai kekayaan alam Indonesia.
Bukankah Indonesia adalah negeri teramat kaya yang diincar imperialis manapun dengan cara apa pun dan bagaimana pun. Kita patut waspada bahwa musuh bersama (common enemy) inilah yang sesungguhnya bermaksud melemahkan Indonesia, menebar ”jebakan batman”, melakukan intervensi, mengadudomba, dan memecah belah kita. Saatnya kita terjaga, bahu-membahu, dan membisik bangun kebersamaan untuk menjaga amanah besar bernama Indonesia raya tercinta.
Puasa ini semoga men-tarbiyah (mendidik) kita untuk lebih bertakwa sehingga lebih bijaksana menjaga negeri ini kini, esok, dan nanti. Izinkan puasa mengajari kita lebih bijaksana menahan diri, mempurifikasi diri kita dari noda berbangsa, meliberasi kita dari amarah, nafsu, dan keserakahan.
Siapa pun yang menang, semoga bisa merangkul semua elemen bangsa, tetap rendah hati, dan mampu menahan diri untuk tidak ‘umuk’ (omong besar). Sementara yang kalah, semoga mampu bersabar dan berbesar hati, menahan diri untuk tidak ngamuk, berbuat onar, maupun rusuh.
Sambutlah hasil pemilu dengan sukacita, laiknya menyambut hari raya Lebaran, suka cita kemenangan dengan saling memaafkan, bukan ketakutan, hingga harus mengurung diri di rumah. Siapa pun presiden yang menang sungguh adalah kemenangan bersama seluruh rakyat Indonesia. Adalah tugas kita bersama untuk senantiasa mendukung dan "menyengkuyung” agar bisa menjaga amanah menyejahterakan Indonesia hingga menjadi negeri yang hebat bermartabat.
ACHMAD M AKUNG
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang
Padahal kita mungkin merasa belumlah beramal apa-apa. Sementara kita pun tak akan pernah bisa menjamin bahwa ini bukan Ramadan terakhir kita. Saya selalu teringat, setiap kali bulan puasa hadir kiai di kampung saya di Kebumen selalu bertutur tentang seorang Majusi yang menghukum putranya.
Apa pasal? Karena, putranya tersebut makan dan minum secara terbuka di area publik. Kiai saya kembali bertutur, betapa seseorang yang menghormati, gembira akan datangnya Ramadan, baginya pahala yang luar biasa besarnya.
Apalagi jika seseorang berkenan mengekang diri dalam lapar dan dahaga di teriknya siang dan menenggelamkan diri dalam ibadah malam yang panjang. ”Ghufirolahu maa taqoddama min dzanbih”, begitu jaminan Tuhan, diampuni dosanya yang telah lalu.
Puasa sungguh adalah sebuah anugerah teramat berharga bagi umat muslim. Begitu besarnya anugerah pada bulan puasa itu sehingga banyak orang saleh yang berharap setiap bulan dalam rentang satu tahun itu adalah bulan puasa. Puasa itu, sebagaimana Allah firmankan, disyariatkan bagi orang beriman agar menjadi pribadi yang bertakwa.
Puasa adalah laku prihatin bagi umat Islam, laiknya kawah candra dimuka yang menempa kehidupan orang-orang beriman dan membakar segala gejolak nafsu yang rendah untuk menjadi pribadi yang bertakwa (la’allakum tattaquun). Meminjam istilah biologi, puasa laiknya sebuah proses metamorfosis. Kita dari ulat yang rakus menjadi kupu-kupu indah yang mencerahkan.
Puasa mempurifikasi diri kita, menjernih-sucikan manusia dari syahwat dunia, menjadi sosok hamba yang membawa rahmat bagi seluruh alam dengan cahaya iman dan takwa. Derajat takwa yang sejati akan tampak dalam setiap desah nafas dan lelaku langkah kehidupan seseorang. Tidak sekadar ketika ia beribadah, tapi juga ketika seseorang bekerja dan beraktivitas keseharian. Ketakwaan akan memandunya untuk berlaku sesuai sistem nilai agama yang dianutnya, termasuk dalam menjalani reriuh kehidupan berbangsa dan bernegara.
Puasa di Tengah Pesta
Puasa pada 1435 H ini, bagi bangsa Indonesia, sesungguhnya adalah puasa yang sangat istimewa karena ditunaikan saat bangsa kita sedang berpesta demokrasi untuk memilih calon RI 1. Di pundak putra terbaik bangsa inilah, Indonesia lima tahun ke depan diamanahkan. Meskipun konon adalah sebuah pesta, pilpres yang menyandingkan dua pasang calon ini laiknya ”kurusetra” yang tidak hanya melibatkan elite partai dan tim sukses pendukung capres.
Simpatisan dan masyarakat luas pun ikut terimbas oleh tingginya tensi demokrasi ini sejak masa kampanye dimulai. Meski akhirnya tahapan pemungutan suara telah terlaksana dengan aman dan damai, ternyata ”kurusetra ” politik ini belum berakhir. Situasinya sangat tidak sehat karena memaksa alam pikir masyarakat kita untuk mengalami apa yang disebut Leon Festinger sebagai disonansi kognitif. Ruang batin publik pun seakan terganggu karena informasi yang tidak sinkron, simpang siur, dan centang-perenangnya.
Celakanya, media massa, baik cetak maupun elektronik hingga media sosial, pun turut memanaskan situasi ini. Kondisi ini, prognosisnya masih akan berlangsung setidaknya hingga KPU menetapkan pemenang Pilpres 2014. Jika masih ada pihak yang merasa belum puas karena memandang ada ketidakadilan dan kecurangan, sengketa pemilu ini meski berakhir di persidangan Mahkamah Konstitusi. Artinya bahwa situasi panas ini mungkin belum akan berakhir.
Massa pendukung yang telah terpapar opini bahwa capres mereka adalah korban (victim) dari kecurangan pemilu yang masif dan sistematis sehingga harus kalah dalam pemilu tentu tidak begitu saja menerima kekalahan di ujung laga. Fanatisme buta dan ikrar berani mati membela capres pujaan tentu bisa menjadi benih-benih kerusuhan. Hanya butuh tersulut dengan provokasi ringan untuk bisa meletup membesar.
Kita tentu sama sekali tidak berharap situasi ini menyandung demokrasi kita. Situasi ini justru ujian bagi kedewasaan dan kesantunan masyarakat Indonesia dalam berpolitik dan berdemokrasi.
Oase Ramadan
Adalah anugerah teramat besar ketika melalui tangan KPU, Allah menakdirkan Pemilu 2014 ini terjadi pada Ramadan ketika sebagian besar rakyat Indonesia tengah menunaikan ibadah puasa. Ramadan sungguh selaksa oase di tengah panasnya sahara perpolitikan di republik ini. Tensi dan dinamika psikologi sosial yang cenderung meninggi semoga kembali bisa turun tersebab mata air Ramadan yang menyejukkan. Betapa tidak? Karena sesungguhnya puasa (ash-shiyaam) bisa dipahami dengan terminologi kunci al-imsaak.
Secara bahasa, ia berarti menahan diri dari melakukan suatu perbuatan seperti menahan tidur, menahan berbicara, menahan makan, dan sebagainya. Sedangkan secara syar’i, shaum bermakna menahan diri dari sesuatu yang membatalkan satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari, dengan niat dan syarat tertentu. Tentu saja kita tidak ingin puasa kita terjerembab pada puasa yang Rasulullah kisahkan bahwa betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak beroleh hikmah pahala, kecuali lapar dan dahaga belaka.
Apa pasal? Jikalau sekadar menahan lapar dan dahaga, barangkali itu soal biasa. Namun, menahan dan mengontrol diri dari melakukan perbuatan tercela tentu bukan soal yang sederhana. Meminjam Al-Ghazali, sekadar berpuasa dalam level awam (shaumul ‘am), sekadar mengendalikan pancaindera dan organ tubuh dari perbuatan yang sia-sia, apalagi perbuatan dosa, terkadang pun kita belum mampu. Tapi, justru inilah yang sedang dilatihkan Tuhan melalui laku priyatin dalam super-training bernama puasa.
Dalam konteks pilpres, semua pihak yang sama-sama mendamba kemenangan semestinya belajar menahan diri untuk tidak terjerumus dalam perbuatan bodoh yang mencederai demokrasi. Dimulai dari setiap diri, baik itu massa pendukung, tim sukses, maupun kandidat yang tengah berlaga. Tanggung jawab terbesar tentu akan berada di pundak para kandidat capres dan cawapres karena sejatinya mereka figur yang suara dan titahnya paling didengar, diikuti para pendukungnya. Ibarat salat, para jamaah dan makmum hanya akan sami’na waatho’na (mendengar dan taat) kepada imam sahaja.
Sangat indah apabila putra terbaik bangsa tersebut memberikan pernyataan yang sejuk dan meneduhkan sebagai panduan bijak para pendukungnya. Bukan sebaliknya, memberikan pernyataan provokatif yang membakar para pendukung untuk memberlakukan hukum perang, berbuat onar, rusuh, serta membela mereka mati-matian untuk beroleh tahta dan kuasa. Sangat bijak apabila para kandidat memberi teladan positif kepada pendukungnya.
Menerima dengan legawa dan besar hati, apa pun kehendak rakyat yang tertuang dalam real count KPU sebagai lembaga berwenang. Seandainya terjadi sengketa, izinkan instrumen hukum bernama MK yang bekerja menjadi pengadil yang seadil-adilnya. Kawal, bantu, dan doakan KPU dan MK jujur mengemban amanah konstitusi ini. Tentu para kandidat capres dan cawapres adalah negarawan sejati yang tidak berkehendak melihat sesama anak bangsa bertikai dan berseteru membela mereka.
Sesungguhnya kita sesama anak bangsa yang berharap Indonesia menjadi lebih baik meski dengan ijtihad politik capres pilihan yang barangkali berbeda. Kita semua adalah saudara yang dinaungi merah putih Indonesia yang sama, bukan musuh yang harus saling mengalahkan dan menghancurkan. Semestinya kita terjaga bahwa seteru sejati kita adalah sama, imperialisme modern yang berkehendak menjajah dan menguasai kekayaan alam Indonesia.
Bukankah Indonesia adalah negeri teramat kaya yang diincar imperialis manapun dengan cara apa pun dan bagaimana pun. Kita patut waspada bahwa musuh bersama (common enemy) inilah yang sesungguhnya bermaksud melemahkan Indonesia, menebar ”jebakan batman”, melakukan intervensi, mengadudomba, dan memecah belah kita. Saatnya kita terjaga, bahu-membahu, dan membisik bangun kebersamaan untuk menjaga amanah besar bernama Indonesia raya tercinta.
Puasa ini semoga men-tarbiyah (mendidik) kita untuk lebih bertakwa sehingga lebih bijaksana menjaga negeri ini kini, esok, dan nanti. Izinkan puasa mengajari kita lebih bijaksana menahan diri, mempurifikasi diri kita dari noda berbangsa, meliberasi kita dari amarah, nafsu, dan keserakahan.
Siapa pun yang menang, semoga bisa merangkul semua elemen bangsa, tetap rendah hati, dan mampu menahan diri untuk tidak ‘umuk’ (omong besar). Sementara yang kalah, semoga mampu bersabar dan berbesar hati, menahan diri untuk tidak ngamuk, berbuat onar, maupun rusuh.
Sambutlah hasil pemilu dengan sukacita, laiknya menyambut hari raya Lebaran, suka cita kemenangan dengan saling memaafkan, bukan ketakutan, hingga harus mengurung diri di rumah. Siapa pun presiden yang menang sungguh adalah kemenangan bersama seluruh rakyat Indonesia. Adalah tugas kita bersama untuk senantiasa mendukung dan "menyengkuyung” agar bisa menjaga amanah menyejahterakan Indonesia hingga menjadi negeri yang hebat bermartabat.
ACHMAD M AKUNG
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang
(hyk)