Belanda, Brasil, dan Leuser

Kamis, 17 Juli 2014 - 16:54 WIB
Belanda, Brasil, dan...
Belanda, Brasil, dan Leuser
A A A
KETIKA tim Oranje, Belanda, mengalahkan tim Samba, Brasil, di Estadio Nacional, Kota Brasilia, Sabtu (12 Juli 2014), dengan skor 3-1, ingatan saya tiba-tiba tertuju pada kepedulian kedua negara tersebut dalam mengelola lingkungan hidupnya.

Brasil adalah negara besar -dengan luas lima kali Indonesia- mempunyai hutan tropis yang amat terkenal di Lembah Amazon. Berbagai cerita menakjubkan tentang hutan belantara Amazon ini sering kita lihat melalui film-film Hollywood. Bagi masyarakat dunia, Amazon adalah sebuah ”tempat konservasi flora fauna" terbesar di dunia dengan megadiversiti yang luar biasa banyaknya.

Sampai hari ini tiap tahun selalu ditemukan spesies baru di hutan Amazon yang luas tersebut. Di samping sebagai hutan konservasi yang menyimpan banyak kekayaan alam, Amazon juga berfungsi sebagai ”paru-paru planet bumi” terbesar di jagat ini. Dengan segala kebesarannya, Brasil dengan tim Samba adalah manifestasi dari sebuah negara yang punya tanggung jawab besar untuk menyelamatkan dunia dari deraan global warming dan peningkatan kadar gas karbon dioksida di atmosfer. Apakah ”manifesto” itu yang menyebabkan tim Samba menjadi kesebelasan elite dunia dan Brasil menjadi ”gudang” pemain-pemain bola terbaik di dunia?

Wallahualam! Tapi, apa yang terjadi pada Piala Dunia 2014 di Brasilia? Tim Samba dari negeri besar ini ternyata dikalahkan oleh tim Oranje dari negeri liliput, Belanda. Luas negeri Belanda lebih kecil dari Jawa Barat. Sedangkan luas Brasil lima kali Indonesia. Apakah kekalahan itu terjadi karena Belanda lebih peduli pada alam, sedangkan Brasil tak memedulikannya? Entahlah! Inilah gambarannya: Kawasan hutan Amazon -hutan tropis terluas di dunia- kini mengalami kerusakan yang parah. Tiap tahun kerusakan hutan di Amazon mencapai 26.130 km persegi atau sekitar enam lapangan bola setiap menit. Hampir separuh kerusakan hutan itu terjadi di Negara Bagian Mato Grosso.

Di Mato Grosso inilah terdapat ladang-ladang kedelai yang amat luas untuk pabrik susu (kedelai) dan produk lainnya. Di Mato Grosso industri kedelai telah merusak hutan secara ilegal. Kondisi itu masih terus berlangsung hingga sekarang. Lebih dari 70% hutan Amazon hilang pada 2004. Seterusnya luas hutan itu tiap tahun makin mengkeret . Banyak pihak menyalahkan kebijakan Presiden Lula da Silva yang terlalu ambisius untuk melaksanakan program perbaikan ekonomi. Atas nama mengurangi kemiskinan rakyat Brasil, Presiden Lula membuka sawah besar-besaran dan imbasnya menghancurkan hutan tropis Amazon.

Data-data terbaru menunjukkan kerusakan hutan hujan tropis Amazon meningkat hingga enam kali lipat. Citra satelit terbaru yang dirilis Institut Riset Angkasa Luar Brasil menunjukkan penggundulan hutan meningkat dari 103 km persegi di Maret dan April 2010 menjadi 593 km persegi dalam periode sama, 2011. Sebagian besar kerusakan hutan itu terjadi di negara bagian Mato Grosso, pusat pertanian kedelai di Brasil. Kini Brasil mengembangkan peternakan sapi besar-besaran, membuka lahan pertanian secara masif dan hasilnya, hutan basah Amazon pun terdegradasi secara sangat memilukan. Akibat itu, dunia menjerit. Paru-paru bumi Amazon yang kini porak-poranda jelas mengakibatkan temperatur bumi naik.

Padahal, kenaikan suhu bumi 2 derajat Celsius saja bisa menyebabkan negara-negara pulau di Samudra Hindia dan Pasifik bisa tenggelam. Vanuatu, Karibati, dan Seychelles misalnya kini terus meradang karena wilayahnya makin hari makin terendam air laut. Lain Brasil lain pula Belanda. Negeri ”seribu” polder untuk mengamankan diri dari luapan air laut ini sekarang menyadari ”kesalahannya” dalam mengelola alam. Bendungan-bendungan raksasa di sepanjang pantai Belanda kini menjadi saksi bisu betapa negeri yang sepertiga wilayahnya berada di bawah permukaan air laut itu tak berdaya menghadapi alam.

Permukiman dan pertanian di lahan hasil reklamasi itu ternyata biayanya amat mahal dan makin lama biayanya makin membumbung. Jika demikian, untuk apa bermukim dan bertani bila biaya untuk mengolah lahan itu terus membumbung? Di bawah master plan for nature yang berwawasan ke depan, pemerintah Negeri Kincir Angin itu membeli lahan hasil reklamasi ratusan ribu hektare dari penduduk untuk menghentikan perusakan lanskap Belanda. Saat ini sudah 240.000 hektare tanah pertanian hasil reklamasi disulap menjadi hutan, rawa, dan danau. Kebijakan tersebut mendapat dukungan Masyarakat Eropa (ME).

ME menyaratkan setiap petani harus menyediakan 15% lahannya untuk mendukung kelestarian lingkungan jika ingin produk pertaniannya berkualitas dan diterima pasar Eropa. Belanda misalnya telah berhasil menghijaukan dan menghutankan wilayah Mijdrecht, 16 km selatan Amsterdam -sebuah wilayah reklamasi yang berada 6 meter di bawah permukaan laut. Wilayah Mijdrecht kini telah dikosongkan dan menjadi padang rumput, rawa, danau, hutan, dan lain-lain yang mendukung keasrian lingkungan. Negeri Belanda yang petani dan peternaknya menghasilkan produk pangan ”terbaik” di dunia kini mulai menyadari betapa pentingnya mengembalikan sebagian lahan pertaniannya untuk mendukung pembangunan ekosistem agar tidak merusak alam.

Belanda -negeri kecil yang menyimpan pemain-pemain bola terbaik di dunia- juga giat ”mengalamkan” lahan-lahan pertanian rekayasa hasil reklamasinya. Tujuannya satu: sustainabilitas kehidupan rakyatnya terus berlangsung tanpa gangguan. Memang mahal, tapi bila dilakukan secara terprogram dan serius, hasilnya sangat bagus. Rakyat sehat, negara aman, dan bibit-bibit pemain bola mumpuni makin tumbuh karena makin banyak tanah lapang untuk latihan sepak bola. Lalu, bagaimana Indonesia? Indonesia disebut sebagai negeri perusak alam. Mau lihat contohnya?

Datanglah ke hutan lindung, kawasan konservasi, dan taman nasional. Di sana kita akan menemukan ”kerusakan alam” yang mengerikan. Hutan lindung sebagai penyelamat wilayah di sekitarnya, sebagian besar hancur. Perkebunan sawit dan alih fungsi hutan telah merusak hutan lindung yang amat berharga itu. Salah satu kawasan ”mahal” yang kini dirusak secara sistematis adalah Taman Nasional Gunung Leuser yang membentang di punggung Pulau Sumatera. Perusakan di kawasan ekosistem Leuser di wilayah Aceh misalnya diduga dilakukan secara sistematis, bahkan dilegalkan pemerintah.

Status Leuser sebagai kawasan strategis nasional yang memiliki fungsi lindung diabaikan demi mewadahi kepentingan perkebunan, pertambangan, dan infrastruktur lain (Kompas, 13/6/014). Kawasan lindung ekosistem Leuser menjadi tempat berbagai satwa endemis seperti badak sumatera, harimau sumatera, dan orangutan sumatera, dan lainlain. Sementara gajah yang selama ini hidup aman di kawasan Leuser kini mulai ”keluar” dari habitatnya.

Gajah-gajah itu kini sering ”perang” melawan manusia yang murka. Tentu saja, gajah kalah. Puluhan gajah dibantai dan diracun manusia. Hutan di Leuser, tempat tinggal gajah itu, kini rusak, bahkan hancur. Yang menghancurkannya adalah manusia yang mengatakan ingin membangun perekonomian negara. Padahal apa yang disebutnya ”ekonomi” bila menghancurkan alam sesungguhnya adalah ”degrono-mi”. Sebuah konsep ekonomi yang mendegradasikan dan merusak masa depan!

HADI S ALIKODRA
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0772 seconds (0.1#10.140)