Memastikan Arah Benar Pemberantasan Korupsi

Rabu, 16 Juli 2014 - 15:15 WIB
Memastikan Arah Benar...
Memastikan Arah Benar Pemberantasan Korupsi
A A A
PEMBERANTASAN terhadap korupsi dalam beberapa tahun terakhir gencar dilakukan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI melakukan penyidikan terhadap perkara-perkara korupsi. Pengadilan pun telah memvonis para pelaku tindak pidana korupsi. Di tengah-tengah keseriusan aparat penegak hukum memberantas korupsi ada beberapa catatan yang perlu dilakukan agar pemberantasan terhadap korupsi berada pada jalan yang benar.

Perilaku Koruptif
Dalam sejumlah perkara korupsi ataupun temuan yang berpotensi menjadi perkara korupsi, penegak hukum kerap mendasarkan pada kerugian negara. Adanya kerugian negara seolah serta-merta dianggap sebagai adanya tindak pidana korupsi. Padahal, kerugian negara tidak selalu berkorelasi dengan tindak pidana korupsi. Kerugian negara bisa karena masalah perdata dan administratif. Kasus Hotasi Nababan, mantan Direktur Utama Merpati Airlines, merupakan contoh kasus perdata yang tidak seharusnya diputus berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) semata karena kerugian negara.

Pengadilan Negeri telah secara tepat memutuskan untuk membebaskan Hotasi, namun Mahkamah Agung berpandangan lain. Hotasi pun dihukum 4 tahun. Padahal, baru-baru ini di Amerika Serikat (AS) terbit putusan yang menghukum mitra Merpati Airlines karena adanya unsur penipuan dalam sewa menyewa pesawat. Bahkan pengadilan AS meminta agar uang Merpati dikembalikan. Dalam ranah administratif, contohnya adalah kasus bailout Bank Century. Kebijakan untuk melakukan bailout yang di kemudian hari mungkin dianggap salah dan memunculkan kerugian negara tidak seharusnya mendakwa pengambil kebijakannya dengan UU Tipikor.

Apalagi dalam persidangan pidana yang memeriksa terdakwa Budi Mulya keputusan atau kebijakan untuk melakukan bailout di-”permasalah”-kan. Suatu persidangan pidana bertujuan untuk membuktikan kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa. Karenanya, dalam kasus bailout Bank Century yang seharusnya dipermasalahkan adalah ada tidaknya perilaku koruptif. Perilaku koruptif yang dimaksud adalah perilaku sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.

Inti dari Pasal 2 ialah, siapa saja dianggap melakukan tindak pidana korupsi apabila ia secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal 3 menentukan bahwa siapa saja akan dianggap melakukan tindak pidana korupsi apabila ia dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Proses pengambilan keputusan atau kebijakan, yang di kemudian hari dianggap benar ataupun salah, seharusnya hanya dapat dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor bila terdapat perilaku koruptif. Perilaku koruptif ini perilaku ”melakukan perbuatan memperkaya” atau ”menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan” diri sendiri, orang lain, atau korporasi.

Sinkron
Hal lain yang perlu mendapat perhatian dalam melakukan proses hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi adalah sinkronnya antara siapa yang didakwa dan siapa yang harus dihukum. Terdakwa yang dalam persidanganlah yang seharusnya mendapat tuntutan hukuman. Dalam perkara Budi Mulya, di dalam tuntutan yang dibuat oleh jaksa penuntut umum (JPU) terjadi ketidaksinkronan antara Budi Mulya yang didakwa dan siapa yang dihukum. JPU, meski menuntut hukuman bagi Budi Mulya, tetapi juga menghukum berbagai pihak, termasuk di dalamnya Bank Mutiara (dulu bernama Bank Century).

Padahal, Bank Mutiara tidak disebut dalam dakwaan, namun JPU menuntut hakim menjatuhkan hukuman berupa pembayaran uang pengganti sebesar satu setengah triliun rupiah lebih. Dalam konstruksi JPU, Bank Century dianggap sebagai pihak yang menikmati uang fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) dan bailout yang diputuskan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK). Padahal, untuk uang yang dikeluarkan dalam rangka bailout dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan uang tersebut telah berubah menjadi saham yang dimiliki oleh LPS.

Dukung
Tentu pemberantasan terhadap korupsi patut didukung tanpa kecuali. Namun pemberantasan korupsi tidak selayaknya sama dengan pemberantasan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) di era pemerintahan Soeharto. Pemberantasan terhadap PKI dalam perkembangannya telah digunakan sebagai sarana politik untuk mematikan lawan-lawan politik penguasa. Bahkan untuk melumpuhkan mereka yang cemerlang, namun berpotensi berhadap-hadapan dengan pemerintah. Mereka dengan mudah dilabeli PKI atau tidak bersih lingkungan atas anasir PKI.

Lembaga yang melakukan pemberantasan terhadap PKI bisa keluar dari tugas dan fungsi utamanya karena mendapat dukungan penuh dari rakyat, di samping PKI merupakan musuh bersama. Dalam konteks demikianlah, kita tidak ingin melihat aparat penegak hukum yang bertugas untuk menyidik dan menuntut tindak pidana korupsi melakukan proses hukum secara serampangan. Mereka harus cermat dalam melakukan penyidikan dan penuntutan. Bila aparat penegak hukum yang melakukan penyidikan dan penuntutan tidak cermat, maka kita berharap pada benteng terakhir, yaitu pengadilan.

Para hakim mempunyai kewajiban, berdasarkan hukum dan keyakinannya, untuk secara cermat menilai apakah antara dakwaan dan tuntutan JPU sudah tepat. Bila dinilai tidak tepat, hakim harus berani mengambil keputusan untuk tidak mengabulkan tuntutan JPU di tengah-tengah euforia masyarakat memberantas korupsi. Hakimlah yang dapat memastikan arah benar pemberantasan korupsi. Hakim-hakim yang demikianlah yang seharusnya mendapat hati dan penghargaan dari masyarakat.

HIKMAHANTO JUWANA
Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas Indonesia
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.9055 seconds (0.1#10.140)