Teror bagi Kebebasan Pers

Jum'at, 04 Juli 2014 - 15:28 WIB
Teror bagi Kebebasan...
Teror bagi Kebebasan Pers
A A A
SEKELOMPOK orang yang mengatasnamakan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Yogyakarta menyegel kantor biro stasiun televisi TVOne di Yogyakarta, Rabu (2/7).

Aksi penyegelan tersebut dilakukan sebagai reaksi atas siaran di TVOne yang menyebutkan PDI Perjuangan berisi orang-orang dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah melakukan penyegelan, massa kemudian melakukan orasi dan menuntut TVOne untuk mengklarifikasi segera pemberitaan mereka yang menurut mereka telah melecehkan dan PDI Perjuangan. Siapa saja tentu berhak menyampaikan pendapat, sekalipun pendapat tersebut menolak pendapat pihak lain.

Namun, menyampaikan pendapat yang disertai dengan kekerasan dan ancaman karena suatu pemberitaan media massa dapat disebut sebagai teror bagi kebebasan pers. Tindakan penyegelan disertai dengan aksi vandalisme menggunakan kata yang tidak senonoh dimaksudkan untuk menciptakan kondisi rasa takut yang nyata. Teror seperti ini ingin menciptakan perasaan terancam yang luar biasa akan bahaya yang mungkin saja terjadi jika ancaman yang disampaikan tidak dipenuhi.

Cara teror seperti ini biasanya diambil bukan karena diplomasi damai mengalami jalan buntu atau tidak tersedianya mekanisme hukum. Teror seperti ini cenderung didorong oleh sikap panik, bingung, dan lepasnya kontrol diri karena tidak kuat menahan suatu tudingan yang tidak bisa dibantah dengan kemampuan akal sehat. Pada akhirnya kumpulan sikap panik, bingung, dan lepasnya kontrol tersebut meledak karena adanya perasaan yang sama dalam suatu grup.

Hukum Pers
Teror tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi jika elite politik di PDI Perjuangan memahami mekanisme hukum, terutama hukum pers dan penyiaran. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, setiap orang atau pihak diberikan hak jawab. Hak jawab adalah hak yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Selain itu, dapat juga digunakan hak koreksi. Hak koreksi merupakan hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Hak tersebut diberikan kepada setiap orang atau pihak sebagai control and balance terhadap kebebasan pers yang dilindungi oleh undang-undang. Kemerdekaan pers tersebut dijamin bahkan sebagai hak asasi manusia. Untuk menjamin kemerdekaan pers tersebut, pers diberi hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Pers juga berperan mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat dan akurat. Tepat dan akurat itu dapat berupa informasi yang didasarkan pada pendapat umum yang sudah ada dan tersedia sebelumnya, bukan informasi yang bersifat mengarang, ilusi, atau bohong. Terkait berita di TVOne yang menyebutkan PDI Perjuangan berisi orang-orang dari PKI sebenarnya sudah dimuat terlebih dahulu di sejumlah media, terutama media online.

Terlepas benar atau tidaknya muatan informasi tersebut, dalam perspektif Undang- Undang Pers, TVOne telah berperan mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat dan akurat. Hanya, TVOne kurang hati-hati menyampaikan suatu informasi yang secara sosial masih dianggap sensitif oleh kelompok tertentu. Informasinya belum tentu benar, tapi juga tidak salah diberitakan karena sebelumnya banyak pihak melalui media online mensinyalir kebangkitan PKI. Bilamana pihak yang dirugikan oleh pemberitaan pers tidak menggunakan hak jawab atau hak koreksi yang diberikan undang- undang kepadanya maka dapat menempuh jalan lain.

Pihak yang dirugikan dapat melaporkan pemberitaan tersebut kepada kepolisian sebagai sebuah tindakan yang tidak menyenangkan atau pencemaran nama baik partai. Kedua jalur tersebut merupakan pilihan elegan yang disediakan oleh peraturan. Dengan mengambil hak jawab, hak koreksi atau melaporkan pada kepolisian terhadap pemberitaan tersebut PDI Perjuangan telah memberikan pendidikan politik yang sehat, bukan saja kepada publik, melainkan juga kepada media yang bersangkutan.

Pilihan ini jauh lebih terhormat daripada melakukan penyegelan dan aksi vandalisme. Dari peristiwa ini dapat dinilai masih ada elite politik yang tidak ramah dengan kehidupan pers, tidak terbiasa dikritik dan lebih memilih jalan pintas menggunakan teror dalam menyelesaikan masalah. Jika pada pers yang dikenal sebagai pilar keempat demokrasi, teror disertai vandalisme dapat terjadi secara terbuka, tentu hal ini mungkin terjadi pada rakyat kecil yang tidak berdaya.

Tiga Kerugian Politik
Peristiwa penyegelan dan aksi vandalisme terhadap TVOne bukan hal pertama ini terjadi. Sebelumnya, tahun lalu pernah terjadi pada stasiun TVRI Gorontalo. Saat itu massa yang tidak puas dengan pemberitaan TVRI mendatangi kantor stasiun TVRI Gorontalo dan menerobos masuk ke dalam studio yang sedang melangsungkan acara talkshow. Peristiwa tersebut bahkan disertai dengan kekerasan fisik terhadap sejumlah jurnalis dan pekerja media. Pemberitaan politik memang lebih dapat memicu kekerasan dan teror terhadap media dari pada pemberitaan lainnya.

Hal ini terjadi karena politik menjadi titik temu antara kekuasaan, bisnis, harapan, dan mungkin saja kehormatan dan martabat sebuah partai. Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri sendiri melalui pernyataan resminya mengajak seluruh kader menjaga martabat partai dengan cara mengedepankan penegakan hukum. Pernyataan tersebut memang belum terlambat namun sebaiknya disampaikan sebelum peristiwa penyegelan dan aksi vandalisme terhadap TVOne terjadi.

Patut disyukuri pernyataan tersebut keluar sehingga dapat mencegah aksi serupa yang bisa dapat terjadi lebih parah. Jika tetap aksi penyegelan, vandalisme, penyerbuan atau pendudukan stasiun TVOne yang dipilih menyelesaikan masalah ini, setidaknya PDI Perjuangan akan mendapat tiga kerugian. Pertama, aksi penyegelan dan vandalisme tersebut menegaskan bahwa PDI Perjuangan disusupi oleh PKI seperti yang diberitakan oleh TVOne.

Jika berita TVOne tersebut keliru, seharusnya PDI Perjuangan menggunakan hak jawab, hak koreksi, atau jalur hukum lainnya. Kedua, aksi penyegelan dan vandalisme tersebut cermin dari sikap panik elite PDI Perjuangan. Menjelang pemilihan presiden, tentu saja kepanikan ini bisa dieksploitasi oleh pihak lawan. Jika ini dikelola dengan baik, tidak mustahil perolehan suara pasangan Jokowi-JK yang diusung PDI Perjuangan akan merosot. Ketiga, aksi penyegelan dan vandalisme dapat menjadikan Jokowi-JK musuh demokrasi dan kebebasan pers.

Kerugian ketiga ini lebih berdimensi jangka panjang karena dicatat oleh sejarah. Agaknya tiga konteks ini yang mendorong Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengeluarkan pernyataan resminya terkait aksi penyegelan dan vandalisme tersebut. Dalam pernyataannya, Megawati selalu merujuk pada terciptanya demokrasi yang berkeadaban. Mengajak semua elemen memperjuangkan pemilu yang jurdil, demokratis, aman, dan damai.

Semoga saja setelah pernyataan resmi Megawati tersebut tidak ada lagi aksi serupa sehingga pers tidak merasa diteror dan pemilu presiden berjalan dengan sehat dan jauh dari jalan yang sesat.

ISWANDI SYAHPUTRA
Dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0625 seconds (0.1#10.140)