Demokrasi (di) Dunia Arab

Sabtu, 28 Juni 2014 - 11:31 WIB
Demokrasi (di) Dunia...
Demokrasi (di) Dunia Arab
A A A
BILA dicermati secara seksama, pelbagai macam persoalan yang melanda dunia Arab dalam beberapa tahun terakhir sesungguhnya bermuara pada satu persoalan utama, yaitu perpecahan (al-insyiqaq). Perpecahan ini setidaknya terjadi dalam tiga tingkatan. Pertama, perpecahan pada tingkat satu negara.

Perpecahan pada tingkat ini bisa dilihat dari bermacam gerakan protes rakyat atas pemerintah yang biasa dikenal dengan istilah Arab Spring. Pada awalnya, gerakan rakyat ini membangkitkan optimisme terkait demokratisasi yang kerap dikebiri oleh para penguasa di kawasan ini.

Bahkan, bangsa Arab memberi nama gerakan ini dengan istilah musim semi Arab (ar-rabiar- rabi al- al-arabi), sejalan dengan optimisme yang ada. Pada umumnya musim semi sangat ditunggu-tunggu oleh bangsa Arab mengingat cuaca pada musim ini sangat nyaman; tidak terlalu dingin, tapi juga terlalu panas seperti biasanya.

Namun, secara perlahan optimisme yang ada terus terkikis hingga berbalik menjadi pesimisme yang bercampur baur dengan ketakutan, kecemasan, ketidakpastian, bahkan anarkisme. Hal ini terjadi karena gerakan rakyat yang awalnya dipujapuja itu perlahan menjadi sebuah gaya baru masyarakat Arab yang tak jarang dimanfaatkan oleh kelompok politik untuk mencapai ambisi politiknya. Kedua, perpecahan antarnegara. Pada beberapa bagian perpecahan pada tingkat ini bisa disebut sebagai akibat dari perpecahan pada tingkat pertama.

Dengan kata lain, gerakan rakyat Arab dalam menentang pemerintahan yang ada menyebabkan terjadinya krisis politik antara satu negara Arab dengan negara Arab lain. Tentu perpecahan seperti ini tidak terlepas dari benturan kepentingan antara satu negara dengan negara yang lain.

Rezim Bashar al-Assad, contohnya, sempat mengkritik keras pemerintahan Mesir yang saat itu dipimpin oleh Muhammad Mursi. Sebaliknya, Mesir di bawah kepemimpinan Ikhwan Muslimin saat itu sangat keras mengkritik rezim Bashar al-Assad, apalagi kelompok Ikhwan Muslimin di Suriah menjadi bagian dalam perang melawan pemerintahan Assad.

Ketiga, perpecahan Liga Arab sebagai organisasi yang menaungi negara-negara Arab. Pada beberapa bagian, perpecahan pada tingkat ini bisa disebut sebagai akibat lanjutan dari perpecahan-perpecahan yang terjadi di bawahnya, yaitu perpecahan pada level satu negara dan perpecahan pada level antarnegara Arab. Peran dan posisi negaranegara Arab Teluk (GCC) dapat dijadikan sebagai salah satu bukti dari perpecahan yang terjadi di tingkat Liga Arab.

Sebagaimana dimaklumi, pasca-Arab Spring, negara-negara Arab Teluk berperan secara dominan di tingkat Liga Arab. Bahkan pada beberapa bagian dapat dikatakan, Arab Spring telah meningkatkan peran GCC di dunia Arab sekaligus menenggelamkan peran Liga Arab. Hal ini terjadi karena Arab Spring berhasil memorakporanda negara-negara Arab yang selama ini menjadi ”penguasa” Liga Arab, seperti Mesir, Suriah, dan yang lainnya.

Demokrasi Arab
Dalam kondisi seperti sekarang, demokratisasi di negara-negara Arab menjadi sebuah tanda tanya besar. Apa yang salah dari demokrasi di dunia Arab? Bisakah dunia Arab berdemokrasi? Semangat yang terpendam di balik pertanyaan-pertanyaan di atas tentu melampaui kajian normatif tentang demokrasi, khususnya ditinjau dari perspektif agama (Islam); apakah keduanya bisa bertemu dan saling melengkapi atau tidak? Karena bila hanya sebatas gagasan dan normatif, negara-negaraArabselamaini sangat kaya dengan pemikiran dan gagasan demokrasi.

Tetapi, ketika hendak diterapkan, demokrasi di negara-negara Arab acap berlangsung secara berdarah-darah seperti sekarang. Alih-alih berhasil, rezim otoriter dan diktator yang sempat dihempaskan oleh upaya demokratisasi justru acap kembali lagi.

Inilah yang penulis sebut dengan istilah fenomena transisi ekstrem demokrasi di dunia Arab dengan dua pelaku utamanya, yaitu rezim nasionalis-otoriter dan kelompok militanislamis. Dalam fenomena transisi ekstrem yang terjadi, seakan dunia Arab hanya dihadapkan pada dua kemungkinan, dikuasai oleh rezim nasionalis-otoriter atau kelompok militan-islamis.

Sedangkan aspirasi rakyat yang menjadi substansi utama demokrasi acap berserakan di tengah gerakan rakyat atau terpenjara di ruang tahanan kelompok oposisi. Apa yang terjadi di Mesir dalam dua tahun terakhir dapat dijadikan sebagai salah satu contoh dari fenomena transisi ekstrem demokrasi di atas.

Setelah gerakan rakyat berhasil menumbangkan rezim otoriter Mubarak, akhirnya Ikhwan Muslimin ”naik tahta” melalui hasil pemilu yang diakui bersih dan demokratis oleh banyak pihak. Setelah berkuasa selama kurang lebih satu tahun, kekuasaan Ikhwan Muslimin dihempaskan oleh gerakan rakyat yang didukung penuh oleh militer.

Kini pemerintahan Mesir memperlakukan Ikhwan Muslimin hampir sama dengan yang dilakukan oleh Mubarak sebelumnya; memvonis Ikhwan Muslimin sebagai organisasi teroris dan terlarang. Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab bagi terjadinya transisi ekstrem di dunia Arab.

Pertama, gagalnya diskursus kebangsaan yang menekankan isu kemajemukan, keterbukaan, kesetaraan dan kebebasan masyarakat sipil. Dalam kurun beberapa dekade, diskursus kebangsaan yang diusung oleh kelompok akademis memang terlihat mapan. Namun demikian, sesungguhnya diskursus kebangsaan di dunia Arab sangatlah rapuh. Ibarat balon, gerakan diskursus kebangsaan di sana memang terlihat tinggi, namun sangat rawan dan mudah kempes.

Hal ini terjadi karena gerakan diskursus kebangsaan di dunia Arab selama ini besar di bawah jubah kekuasaan rezim yang acap berlaku otoriter. Maka, ketika kekuasaan yang secara tak langsung menjadi motor penggeraknya ambruk, diskursus kebangsaan yang ada pun runtuh tak tersisa.

Justru kelompok islamislah yang berjaya dan berkuasa. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan diskursus kebangsaan yang ada selama ini tidak membumi. Kedua, rapuh dan minimnya peran masyarakat madani yang bisa menjadi penengah antara kelompok islamis dan kelompok rezim otoriter.

Lembaga-lembaga moderat seperti Al-Azhar selama ini lebih concern pada dunia pendidikan secara formal, tidak meluas pada penyadaran dan pendampingan masyarakat sipil secara lebih luas. Maka tidak mengherankan bila fenomena transisi kekuasaan yang terjadi berjalan dalam bentuk ekstrem seperti sekarang, antara kelompok nasionalis-otoriter dengan kelompok islamis-militan. Hal ini terjadi karena memang yang terbangun secara mapan selama ini adalah dua kutub tersebut.

Demokrasi membutuhkan adanya kehendak bulat dari semua pihak untuk memerhatikan aspirasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, mulai dari kelompok penguasa, kelompok politik hingga masyarakat sipil. Inilah yang acap absen dalam upaya demokratisasi didunia Arab dalam beberapa waktu mutakhir. Hingga transisi kekuasaan yang ada acap berjalan secara ekstrem. Dan demokratisasi yang diharapkan pun acap berubah menjadi anarki, bahkan mengundang kembali hadirnya sistem monarki.

HASIBULLAH SATRAWI
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0538 seconds (0.1#10.140)