Memerangi Praktik Kartel
A
A
A
PEREKONOMIAN nasional sarat praktik kartel. Potensi kerugian masyarakat sebagai konsumen akan terus berlanjut jika sistem hukum nasional tidak memberi sanksi maksimal kepada para pihak yang bersekutu dalam kartel.
Maka, Presiden RI terpilih harus berani melancarkan gerakan sapu bersih atas praktik kartel dalam perekonomian Indonesia. Kebetulan, dari para pendukung dan simpatisannya masingmasing, dua pasang caprescawapres, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sudah menerima sapu lidi sebagai simbol. Sapu lidi merefleksikan harapan publik kepada pemimpin untuk melakukan pembersihan.
Artinya, siapa pun pemenang Pilpres 2014, masyarakat mendesak presidenwakil presiden terpilih membersihkan semua praktik kotor dalam tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk menunjukkan dukungannya pada pasangan Prabowo- Hatta, Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi) menyebar sapu lidi yang dililit kertas merah putih di rumah Polonia, Jakarta Timur. Adapun Komunitas Barisan Pejuang Kebersihan Jakarta menyerahkan sapu lidi sebagai dukungan untuk pasangan Jokowi–JK.
Sebelumnya, cawapres Jusuf Kalla juga menerima sapu lidi dari ”Gerakan Nasional Relawan Matahari Indonesia”. Jika mengikuti arus pendapat umum terkini, desakan sapu bersih dalam konteks Indonesia adalah memberantas korupsi dan perang melawan kemiskinan. Dua isu ini telah mendapatkan respons dari sejumlah institusi terkait. Namun, praktik kartel dalam perekonomian nasional kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat.
Padahal, praktik kartel untuk komoditas ekonomi tertentu bersentuhan langsung dengan kepentingan setiap orang. Belum lama ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan 19 importir bawang putih bersalah melakukan kartel. KPPU menetapkan total denda Rp13,3 miliar kepada mereka. Majelis KPPU memastikan 19 importir itu melanggar Pasal 19 c dan Pasal 24 UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Para importir itu didakwa sengaja membatasi peredaran bawang putih di pasar, sebagai strategi mendongkrak harga. Hebatnya, majelis juga menyatakan Menteri Perdagangan dan Dirjen Perdagangan Luar Negeri bersalah ikut bersekongkol. Setelah kasus bawang putih, KPPU sedang mendeteksi praktik kartel perbankan dalam mematok bunga bank.
Penyelidikan KPPU sudah berjalan setahun lebih. Belakangan ini, perhatian KPPU diarahkan pada perilaku sepuluh bank besar yang patut dijadikan acuan. Fokusnya pada besaran bunga. Ada indikasi kartel karena bunga bank dan marjin bank sangat tinggi di atas BI rate. Tingkat bunga kredit tetap tinggi walau BI rate pernah diturunkan. KPPU sudah mengendus masalah ini sejak tahun 2011.
Persoalan ini juga menarik perhatian Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Maka, OJK pun mengajak KPPU bekerja sama mendalami dugaan kartel ini. Tak hanya kartel suku bunga, KPPU dan OJK pun mendeteksi praktik kartel dalam bisnis asuransi yang melibatkan perbankan (bancassurance). Banyak perusahaan asuransi sulit memasarkan produknya karena tidak berafiliasi dengan bank.
Bank dan asuransi bersekongkol untuk menutup ruang pemasaran bagi perusahaan asuransi lainnya. Dalam praktiknya, nasabah yang mendapatkan kredit dari bank tertentu didorong, tepatnya setengah “dipaksa” menggunakan produk asuransi dari perusahaan terafiliasi. Tak jarang, penggunaan produk asuransi tertentu itu sudah difinalkan sebagai persyaratan. Nasabah tidak diberi kebebasan memilih walaupun nasabahlah yang membayar premi.
Bagi KPPU, praktik persaingan tidak sehat atau kartel bancassurance ini lebih sebagai pengulangan. Sebab, pada 2002 dan 2012, KPPU pernah memutus kasus serupa terhadap dua bank BUMN. Berarti, putusan bersalah atau sanksi tidak menimbulkan efek jera.
Kalau kartel merusak dinamika persaingan sehat dan merugikan konsumen, apakah kecenderungan seperti itu harus selalu disikapi dengan ganjaran minimalis berupa denda? Kendati dampak negatifnya sangat serius, penanganan kasus kartel selama ini hanya berpedoman pada Undang-Undang No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Destruktif
Padahal, praktik kartel itu destruktif, tidak hanya membunuh perusahaan sejenis lain serta merugikan konsumen, tetapi juga menutup peluang bagi tumbuh dan berkembangnya potensi ekonomi rakyat. Kalau kartel bawang putih terus “dipelihara” eksistensinya, yang menjadi korban adalah petani bawang putih. Petani juga enggan menanam kedelai jika pasar dikendalikan oleh kartel yang pastinya lebih memilih kedelai impor karena margin labanya jauh lebih besar.
Karena itu, harus ada kemauan politik yang kuat dan sungguh-sungguh dari pemerintah untuk menutup ruang bagi praktik kartel dalam perekonomian nasional. Gambaran tentang ketidaknyamanan masyarakat sudah sangat jelas dari kasus kelangkaan dan lonjakan harga kedelai beberapa waktu yang lalu.
Tingginya harga daging sapi sampai saat ini pun diduga kuat karena berawal dari praktik kartel, yang kemudian melahirkan ekses dalam kasus suap impor daging sapi. Lebih dari itu, negara cq pemerintah harus memberi ruang bagi pertumbuhan dan perkembangan bagi semua sektor bisnis di dalam negeri guna meningkatkan daya saing negara. Semua potensi lokal, baik skala kecil, menengah maupun besar, harus didorong untuk bertumbuh dan berkembang untuk mewujudkan ketahanan ekonomi nasional.
Karena itu, praktik kartel yang jelas-jelas merusak harus diberangus. Tantangan di bidang perekonomian tahun-tahun mendatang semakin berat karena berlakunya penyatuan ekonomi ASEAN. Sektor bisnis dalam negeri harus tangguh agar mampu bersaing dengan negara lain di lingkungan ASEAN. Indonesia hanya akan menjadi pasar jika dunia usaha dalam negeri tidak dipersiapkan untuk berkompetisi.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, peran dan praktik kartel dalam pengelolaan sejumlah komoditas kebutuhan pokok dirasakan sangat kuat. Peran oknum birokrat dalam kasuskasus tertentu pun tak dapat ditutup-tutupi lagi. Coba saja simak kronologi kasus suap impor daging sapi itu. Selain itu, fakta bahwa ada puluhan komoditas kebutuhan pokok yang harus diimpor juga memberi peluang bagi hadirnya kartel.
Maka, dalam konteks mewujudkan kesejahteraan bersama dan pembangunan dunia usaha nasional, tantangan bagi presiden-wakil presiden terpilih sesungguhnya sangat berat, terutama jika mengacu pada janji-janji kedua kandidat presiden. Jika presiden ingin mendapatkan apresiasi dari rakyat, dia harus fokus membenahi tata niaga semua komoditas kebutuhan pokok.
Pembenahan itu harus berujung pada terbentuknya harga kebutuhan pokok yang moderat alias terjangkau. Untuk itu, tindakan pertama yang harus dilakukan adalah mengeliminasi peran kartel yang selama ini mengontrol dan mengendalikan permintaan penawaran sejumlah komoditas kebutuhan pokok. Mungkin tidak mudah karena tantangannya adalah menghadapi kepentingan dari sejumlah kelompok yang selama ini sudah menikmati untung dari praktik kartel itu.
Namun, gerakan sapu bersih terhadap kartel bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan. Bayangkan, kalau benar ada kartel bank yang memformulasikan tingkat bunga kredit, betapa dahsyatnya daya rusak kartel itu terhadap masyarakat dan para pengusaha sebagai nasabah.
Boleh jadi, faktor suku bunga yang tinggi menjadi salah satu sebab rendahnya daya saing sektor bisnis dalam negeri. Sapu lidi yang diserahkan para pendukung kepada para kandidat capres-cawapres adalah simbol sekaligus aspirasi.
Siapa pun yang memenangi Pilpres 2014, dia didesak untuk melancarkan gerakan bersihbersih. Tak hanya memberantas korupsi, tetapi juga membersihkan perekonomian negara dari praktik kartel.
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Maka, Presiden RI terpilih harus berani melancarkan gerakan sapu bersih atas praktik kartel dalam perekonomian Indonesia. Kebetulan, dari para pendukung dan simpatisannya masingmasing, dua pasang caprescawapres, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sudah menerima sapu lidi sebagai simbol. Sapu lidi merefleksikan harapan publik kepada pemimpin untuk melakukan pembersihan.
Artinya, siapa pun pemenang Pilpres 2014, masyarakat mendesak presidenwakil presiden terpilih membersihkan semua praktik kotor dalam tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk menunjukkan dukungannya pada pasangan Prabowo- Hatta, Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi) menyebar sapu lidi yang dililit kertas merah putih di rumah Polonia, Jakarta Timur. Adapun Komunitas Barisan Pejuang Kebersihan Jakarta menyerahkan sapu lidi sebagai dukungan untuk pasangan Jokowi–JK.
Sebelumnya, cawapres Jusuf Kalla juga menerima sapu lidi dari ”Gerakan Nasional Relawan Matahari Indonesia”. Jika mengikuti arus pendapat umum terkini, desakan sapu bersih dalam konteks Indonesia adalah memberantas korupsi dan perang melawan kemiskinan. Dua isu ini telah mendapatkan respons dari sejumlah institusi terkait. Namun, praktik kartel dalam perekonomian nasional kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat.
Padahal, praktik kartel untuk komoditas ekonomi tertentu bersentuhan langsung dengan kepentingan setiap orang. Belum lama ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan 19 importir bawang putih bersalah melakukan kartel. KPPU menetapkan total denda Rp13,3 miliar kepada mereka. Majelis KPPU memastikan 19 importir itu melanggar Pasal 19 c dan Pasal 24 UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Para importir itu didakwa sengaja membatasi peredaran bawang putih di pasar, sebagai strategi mendongkrak harga. Hebatnya, majelis juga menyatakan Menteri Perdagangan dan Dirjen Perdagangan Luar Negeri bersalah ikut bersekongkol. Setelah kasus bawang putih, KPPU sedang mendeteksi praktik kartel perbankan dalam mematok bunga bank.
Penyelidikan KPPU sudah berjalan setahun lebih. Belakangan ini, perhatian KPPU diarahkan pada perilaku sepuluh bank besar yang patut dijadikan acuan. Fokusnya pada besaran bunga. Ada indikasi kartel karena bunga bank dan marjin bank sangat tinggi di atas BI rate. Tingkat bunga kredit tetap tinggi walau BI rate pernah diturunkan. KPPU sudah mengendus masalah ini sejak tahun 2011.
Persoalan ini juga menarik perhatian Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Maka, OJK pun mengajak KPPU bekerja sama mendalami dugaan kartel ini. Tak hanya kartel suku bunga, KPPU dan OJK pun mendeteksi praktik kartel dalam bisnis asuransi yang melibatkan perbankan (bancassurance). Banyak perusahaan asuransi sulit memasarkan produknya karena tidak berafiliasi dengan bank.
Bank dan asuransi bersekongkol untuk menutup ruang pemasaran bagi perusahaan asuransi lainnya. Dalam praktiknya, nasabah yang mendapatkan kredit dari bank tertentu didorong, tepatnya setengah “dipaksa” menggunakan produk asuransi dari perusahaan terafiliasi. Tak jarang, penggunaan produk asuransi tertentu itu sudah difinalkan sebagai persyaratan. Nasabah tidak diberi kebebasan memilih walaupun nasabahlah yang membayar premi.
Bagi KPPU, praktik persaingan tidak sehat atau kartel bancassurance ini lebih sebagai pengulangan. Sebab, pada 2002 dan 2012, KPPU pernah memutus kasus serupa terhadap dua bank BUMN. Berarti, putusan bersalah atau sanksi tidak menimbulkan efek jera.
Kalau kartel merusak dinamika persaingan sehat dan merugikan konsumen, apakah kecenderungan seperti itu harus selalu disikapi dengan ganjaran minimalis berupa denda? Kendati dampak negatifnya sangat serius, penanganan kasus kartel selama ini hanya berpedoman pada Undang-Undang No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Destruktif
Padahal, praktik kartel itu destruktif, tidak hanya membunuh perusahaan sejenis lain serta merugikan konsumen, tetapi juga menutup peluang bagi tumbuh dan berkembangnya potensi ekonomi rakyat. Kalau kartel bawang putih terus “dipelihara” eksistensinya, yang menjadi korban adalah petani bawang putih. Petani juga enggan menanam kedelai jika pasar dikendalikan oleh kartel yang pastinya lebih memilih kedelai impor karena margin labanya jauh lebih besar.
Karena itu, harus ada kemauan politik yang kuat dan sungguh-sungguh dari pemerintah untuk menutup ruang bagi praktik kartel dalam perekonomian nasional. Gambaran tentang ketidaknyamanan masyarakat sudah sangat jelas dari kasus kelangkaan dan lonjakan harga kedelai beberapa waktu yang lalu.
Tingginya harga daging sapi sampai saat ini pun diduga kuat karena berawal dari praktik kartel, yang kemudian melahirkan ekses dalam kasus suap impor daging sapi. Lebih dari itu, negara cq pemerintah harus memberi ruang bagi pertumbuhan dan perkembangan bagi semua sektor bisnis di dalam negeri guna meningkatkan daya saing negara. Semua potensi lokal, baik skala kecil, menengah maupun besar, harus didorong untuk bertumbuh dan berkembang untuk mewujudkan ketahanan ekonomi nasional.
Karena itu, praktik kartel yang jelas-jelas merusak harus diberangus. Tantangan di bidang perekonomian tahun-tahun mendatang semakin berat karena berlakunya penyatuan ekonomi ASEAN. Sektor bisnis dalam negeri harus tangguh agar mampu bersaing dengan negara lain di lingkungan ASEAN. Indonesia hanya akan menjadi pasar jika dunia usaha dalam negeri tidak dipersiapkan untuk berkompetisi.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, peran dan praktik kartel dalam pengelolaan sejumlah komoditas kebutuhan pokok dirasakan sangat kuat. Peran oknum birokrat dalam kasuskasus tertentu pun tak dapat ditutup-tutupi lagi. Coba saja simak kronologi kasus suap impor daging sapi itu. Selain itu, fakta bahwa ada puluhan komoditas kebutuhan pokok yang harus diimpor juga memberi peluang bagi hadirnya kartel.
Maka, dalam konteks mewujudkan kesejahteraan bersama dan pembangunan dunia usaha nasional, tantangan bagi presiden-wakil presiden terpilih sesungguhnya sangat berat, terutama jika mengacu pada janji-janji kedua kandidat presiden. Jika presiden ingin mendapatkan apresiasi dari rakyat, dia harus fokus membenahi tata niaga semua komoditas kebutuhan pokok.
Pembenahan itu harus berujung pada terbentuknya harga kebutuhan pokok yang moderat alias terjangkau. Untuk itu, tindakan pertama yang harus dilakukan adalah mengeliminasi peran kartel yang selama ini mengontrol dan mengendalikan permintaan penawaran sejumlah komoditas kebutuhan pokok. Mungkin tidak mudah karena tantangannya adalah menghadapi kepentingan dari sejumlah kelompok yang selama ini sudah menikmati untung dari praktik kartel itu.
Namun, gerakan sapu bersih terhadap kartel bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan. Bayangkan, kalau benar ada kartel bank yang memformulasikan tingkat bunga kredit, betapa dahsyatnya daya rusak kartel itu terhadap masyarakat dan para pengusaha sebagai nasabah.
Boleh jadi, faktor suku bunga yang tinggi menjadi salah satu sebab rendahnya daya saing sektor bisnis dalam negeri. Sapu lidi yang diserahkan para pendukung kepada para kandidat capres-cawapres adalah simbol sekaligus aspirasi.
Siapa pun yang memenangi Pilpres 2014, dia didesak untuk melancarkan gerakan bersihbersih. Tak hanya memberantas korupsi, tetapi juga membersihkan perekonomian negara dari praktik kartel.
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
(nfl)