Presiden Bunga Negara
A
A
A
PILIHAN hanya ada dua, yakni pasangan Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK. Apa sih susahnya memilih satu di antara dua? Mengapa bertele-tele, menguras tenaga, dana dan pikiran?
Bukankah aktivitas memilih telah menjadi kodrat kemerdekaan setiap warga negara? Kehidupan bernegara di era modern memang kompleks. Begitu banyak entitas terkait dan berinteraksi satu dengan lainnya. Memilih presiden bukan sekadar urusan individu dan urusan negara, melainkan juga urusan negara asing.
Memilih presiden bukan sekadar urusan duniawi, melainkan juga urusan ukhrowi . Memilih presiden bukan sekadar urusan rasionalitas, melainkan juga urusan primordial dan spiritual. Para agamawan bertutur, ”gunakan hak pilihmu sebaik-baiknya, sesuai hati nurani, sesuai tuntunan kitab suci dan keteladanan nabimu”.
Apakah nasihat itu mempan menggusur praktik ”money politic”? Pemilu legislatif kemarin, telah menjawab pertanyaan itu dengan bukti nyata. Apa pun motif memilih, satu hal yang pasti bahwa presiden terpilih adalah figur yang telah diizinkan Allah. Tanpa izin dan kehendak-Nya, tiada pernah daun kering jatuh dari pohonnya, dan tiada pernah terpilih presiden terbaik bagi negeri ini. Pada era otoriter, boleh jadi seorang presiden berkata ”L”Letat cetat cest moi” (negara adalah saya).
Rakyat pun mengamini perkataan itu. Presiden disanjung, dikultuskan, dan pantang dikoreksi. Hidup dan mati para pengikutnya digantungkan kepada presidennya. Begitulah karakteristik lembaga kepresidenan zaman itu. Berbeda halnya di era modern. Rasionalitas memegang peranan penting. Presiden wajib merespons aspirasi publik (rakyat). Kepresidenan bukan sekadar lembaga formal, melainkan lembaga publik, secara substansial wajib peduli, kerja keras dan melakukan aktivitas terencana demi kepentingan rakyat.
Konsep kepresidenan sebagai kepala negara untuk ”nachwakersstaat ” (negara penjaga malam), sudah tidak berlaku. Ketika kedaulatan negara di bidang politik, di bidang ekonomi, atas wilayah, atas sumber daya alam, terhegemoni kekuasaan asing, pada saat demikian peran presiden adalah mengembalikan kedaulatan tersebut.
Sikap politik, keberanian bertindak, wawasan kebangsaan sangat diperlukan. Perjalanan bangsa di era reformasi menunjukkan bahwa politik praktis di bidang ekonomi ternyata menciptakan gap cukup lebar antara stratifikasi mayoritas penduduk dibanding sekelompok pengusaha dan politikus.
Seiring dengan masalah stratifikasi sosial itu, berlanjut ke masalah ketidakadilan sosial antara pusat dan daerah. Problema otonomi daerah, bukan sekadar karena konsep ”setengah matang”, melainkan perilaku ego kedaerahan. Ketidakadilan pembagian hasil pengelolaan sumber daya alam, antara pusat-daerah, antara negeri sendiri dan investor asing, sangat timpang, sehingga memunculkan konflik-konflik horizontal.
Penyelesaian konflik pun tak kunjung mencerminkan keadilan sosial, sehingga dalam banyak kasus ”the haves always come ahead”, sementara ”the poor must pay more”. Kebersatuan dalam bingkai semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika”, hanya terpatri di lambang negara, akan tetapi tidak pernah terimplementasikan dalam kebijakan dan praktik penyelenggaraan negara.
Peran lembaga kepresidenan, semakin dirasakan perlunya untuk mencegah kemerosotan lebih parah kualitas kehidupan bernegara secara keseluruhan. Diperlukan suatu pemerintahan kuat di bawah kepemimpinan presiden, yang mampu melindungi segenap bangsa, seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Upaya terencana melalui national planning dengan pola pembangunan semesta berencana di era Presiden Soekarno atau melalui garisgaris besar haluan negara di era Presiden Soeharto, layak diaktualisasikan.
Belajar dari pengalaman negeri Belanda, dulunya bagaikan kapal terapung dan hanya bisa hidup ketika ditopang pasokan nutrisi dari Nusantara. Kini telah mampu membangun negara kesejahteraan (walfare state ) melalui pembangunan berkelanjutan tahun 1930-1945.
Program-program strategis dilaksanakan secara konsisten, antara lain: (1) melindungi dan menjamin keselamatan buruh, (2) memberi santunan fakirmiskin, orang lanjut usia dan penderita sakit, (3) menjamin ketersediaan fasilitas umum, pendidikan, kesehatan dan perumahan, (4) menjamin hakhak individu di bidang politik, sosial dan budaya.
Keberhasilan mewujudkan welfare state , tak lepas dari peran pemerintah, yakni segala hal yang dulunya diserahkan swasta dan pasar, kini diambil alih pemerintah sehingga stabilitas politik dan ekonomi lebih terjamin. Pada sebuah acara seminar, seorang bupati sengaja dihadirkan untuk membeberkan suka dan duka dalam memimpin daerahnya. Setelah presentasi, dibuka pertanyaan dari peserta seminar.
Mengapa prestasi bagus daerahnya tidak pernah diekspos ke media agar publik mengetahui dan bisa belajar dari keberhasilan kabupaten yang dipimpinnya? Dengan senyum ramah, dijawabnya: ”Kami tidak punya media koran, media televisi ataupun media radio.
Ketika jurnalis kami undang untuk memberitakan prestasi kabupaten, hal demikian dipandang kurang layak sebagai berita baik. Tampaknya, mereka lebih senang dan tertarik mewartakan hal-hal yang hina daripada hal yang mulia, misal ketika di kabupaten ada korupsi, perselingkuhan pejabat, musibah yang menimpa rakyat, dan sejenisnya”.
Benang merah perlu dirajut dari deskripsi realitas, pemikiran dan cerita bupati di atas, bahwa setiap individu memiliki kemerdekaan dalam memilih apa yang dipandangnya baik atau buruk. Ketika platform ideologi bangsa, yakni Pancasila, tidak pernah digubris lagi, maka suka atau tidak suka, realitas kehidupan cenderung liberal, sesat pikir dan sesat arah. Saat demikian, sulit menemukan manusia yang mampu mengembangkan sifat terpuji, suka melengkapi kekurangan pihak lain.
Dalam bahasa puitis, ”tatkala hati orang berisi sejuta bunga, tetapi terselip satu sampah, tetap saja yang dikabarkan sampahnya”. Dalam pengamatan saya, terhadap dua kubu yang kini tengah ”bertarung” memperebutkan kursi kepresidenan pun, tidak jauh berbeda dengan makna dari puisi tersebut. Pesan moral: ”Jadikanlah presiden sebagai bunga negara, bukan sampah”. Wallahu- Wallahualam.
PROF DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
Bukankah aktivitas memilih telah menjadi kodrat kemerdekaan setiap warga negara? Kehidupan bernegara di era modern memang kompleks. Begitu banyak entitas terkait dan berinteraksi satu dengan lainnya. Memilih presiden bukan sekadar urusan individu dan urusan negara, melainkan juga urusan negara asing.
Memilih presiden bukan sekadar urusan duniawi, melainkan juga urusan ukhrowi . Memilih presiden bukan sekadar urusan rasionalitas, melainkan juga urusan primordial dan spiritual. Para agamawan bertutur, ”gunakan hak pilihmu sebaik-baiknya, sesuai hati nurani, sesuai tuntunan kitab suci dan keteladanan nabimu”.
Apakah nasihat itu mempan menggusur praktik ”money politic”? Pemilu legislatif kemarin, telah menjawab pertanyaan itu dengan bukti nyata. Apa pun motif memilih, satu hal yang pasti bahwa presiden terpilih adalah figur yang telah diizinkan Allah. Tanpa izin dan kehendak-Nya, tiada pernah daun kering jatuh dari pohonnya, dan tiada pernah terpilih presiden terbaik bagi negeri ini. Pada era otoriter, boleh jadi seorang presiden berkata ”L”Letat cetat cest moi” (negara adalah saya).
Rakyat pun mengamini perkataan itu. Presiden disanjung, dikultuskan, dan pantang dikoreksi. Hidup dan mati para pengikutnya digantungkan kepada presidennya. Begitulah karakteristik lembaga kepresidenan zaman itu. Berbeda halnya di era modern. Rasionalitas memegang peranan penting. Presiden wajib merespons aspirasi publik (rakyat). Kepresidenan bukan sekadar lembaga formal, melainkan lembaga publik, secara substansial wajib peduli, kerja keras dan melakukan aktivitas terencana demi kepentingan rakyat.
Konsep kepresidenan sebagai kepala negara untuk ”nachwakersstaat ” (negara penjaga malam), sudah tidak berlaku. Ketika kedaulatan negara di bidang politik, di bidang ekonomi, atas wilayah, atas sumber daya alam, terhegemoni kekuasaan asing, pada saat demikian peran presiden adalah mengembalikan kedaulatan tersebut.
Sikap politik, keberanian bertindak, wawasan kebangsaan sangat diperlukan. Perjalanan bangsa di era reformasi menunjukkan bahwa politik praktis di bidang ekonomi ternyata menciptakan gap cukup lebar antara stratifikasi mayoritas penduduk dibanding sekelompok pengusaha dan politikus.
Seiring dengan masalah stratifikasi sosial itu, berlanjut ke masalah ketidakadilan sosial antara pusat dan daerah. Problema otonomi daerah, bukan sekadar karena konsep ”setengah matang”, melainkan perilaku ego kedaerahan. Ketidakadilan pembagian hasil pengelolaan sumber daya alam, antara pusat-daerah, antara negeri sendiri dan investor asing, sangat timpang, sehingga memunculkan konflik-konflik horizontal.
Penyelesaian konflik pun tak kunjung mencerminkan keadilan sosial, sehingga dalam banyak kasus ”the haves always come ahead”, sementara ”the poor must pay more”. Kebersatuan dalam bingkai semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika”, hanya terpatri di lambang negara, akan tetapi tidak pernah terimplementasikan dalam kebijakan dan praktik penyelenggaraan negara.
Peran lembaga kepresidenan, semakin dirasakan perlunya untuk mencegah kemerosotan lebih parah kualitas kehidupan bernegara secara keseluruhan. Diperlukan suatu pemerintahan kuat di bawah kepemimpinan presiden, yang mampu melindungi segenap bangsa, seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Upaya terencana melalui national planning dengan pola pembangunan semesta berencana di era Presiden Soekarno atau melalui garisgaris besar haluan negara di era Presiden Soeharto, layak diaktualisasikan.
Belajar dari pengalaman negeri Belanda, dulunya bagaikan kapal terapung dan hanya bisa hidup ketika ditopang pasokan nutrisi dari Nusantara. Kini telah mampu membangun negara kesejahteraan (walfare state ) melalui pembangunan berkelanjutan tahun 1930-1945.
Program-program strategis dilaksanakan secara konsisten, antara lain: (1) melindungi dan menjamin keselamatan buruh, (2) memberi santunan fakirmiskin, orang lanjut usia dan penderita sakit, (3) menjamin ketersediaan fasilitas umum, pendidikan, kesehatan dan perumahan, (4) menjamin hakhak individu di bidang politik, sosial dan budaya.
Keberhasilan mewujudkan welfare state , tak lepas dari peran pemerintah, yakni segala hal yang dulunya diserahkan swasta dan pasar, kini diambil alih pemerintah sehingga stabilitas politik dan ekonomi lebih terjamin. Pada sebuah acara seminar, seorang bupati sengaja dihadirkan untuk membeberkan suka dan duka dalam memimpin daerahnya. Setelah presentasi, dibuka pertanyaan dari peserta seminar.
Mengapa prestasi bagus daerahnya tidak pernah diekspos ke media agar publik mengetahui dan bisa belajar dari keberhasilan kabupaten yang dipimpinnya? Dengan senyum ramah, dijawabnya: ”Kami tidak punya media koran, media televisi ataupun media radio.
Ketika jurnalis kami undang untuk memberitakan prestasi kabupaten, hal demikian dipandang kurang layak sebagai berita baik. Tampaknya, mereka lebih senang dan tertarik mewartakan hal-hal yang hina daripada hal yang mulia, misal ketika di kabupaten ada korupsi, perselingkuhan pejabat, musibah yang menimpa rakyat, dan sejenisnya”.
Benang merah perlu dirajut dari deskripsi realitas, pemikiran dan cerita bupati di atas, bahwa setiap individu memiliki kemerdekaan dalam memilih apa yang dipandangnya baik atau buruk. Ketika platform ideologi bangsa, yakni Pancasila, tidak pernah digubris lagi, maka suka atau tidak suka, realitas kehidupan cenderung liberal, sesat pikir dan sesat arah. Saat demikian, sulit menemukan manusia yang mampu mengembangkan sifat terpuji, suka melengkapi kekurangan pihak lain.
Dalam bahasa puitis, ”tatkala hati orang berisi sejuta bunga, tetapi terselip satu sampah, tetap saja yang dikabarkan sampahnya”. Dalam pengamatan saya, terhadap dua kubu yang kini tengah ”bertarung” memperebutkan kursi kepresidenan pun, tidak jauh berbeda dengan makna dari puisi tersebut. Pesan moral: ”Jadikanlah presiden sebagai bunga negara, bukan sampah”. Wallahu- Wallahualam.
PROF DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
(nfl)