Impor dan Sistem Pembayaran
A
A
A
DENGAN model DGSE terlihat sangat jelas keterkaitan antara sistem pembayaran dan impor. Kenaikan harga impor bahan bakar dan pupuk membuat negara- negara Afrika berpendapatan rendah mengalami kesulitan dalam sistem pembayaran.
Transmisi moneter juga membuat pembayaran melalui telepon juga mengalami gangguan misalnya yang terjadi di Kenya. Dengan model ini terbukti bahwa efek pendapatanlah yang merupakan sumber utama dari gangguan sistem pembayaran melalui transmisi impor. Di sinilah pentingnya kebijakan fiskal untuk menetralisasi dampak negatif dari efek pendapatan.
Negara yang mampu meningkatkan pengeluaran fiskalnya adalah negara-negara yang juga mampu menghindari permasalahan dalam sistem pembayaran. Di Asia hal yang sama juga terjadi khususnya ketika terjadi krisis pada 1998. Indonesia yang dianggap sebagai Macan Asia ternyata memiliki struktur perekonomian yang paling keropos dibandingkan dengan negara-negara Asia lain yang terkena hantaman krisis.
Ini terlihat dari biaya krisis ekonomi yang ditimbulkannya di mana sistem pembayaran Indonesia porak-poranda tidak karuan. Perbankan di Indonesia harus masuk ”ICCU” karena sebagian besar tidak mampu menjalankan aktivitas normalnya. Melemahnya rupiah menyebabkan impor dan utang luar negeri meningkat drastis yang menyebabkan cadangan devisa Indonesia terkuras habis-habisan.
Kondisi ini membuat sistem pembayaran mengalami permasalahan yang sangat serius. Masalah ini dapat terjadi karena sistem pembayaran terlalu mengandalkan kepada bank-bank milik pemerintah yang ternyata memiliki kredit macet yang sangat luar biasa. Kesalahan dalam membaca kondisi perekonomian Indonesia telah menyebabkan penyakit yang begitu besar di depan mata dalam perekonomian Indonesia tidak dapat terdeteksi.
Semasa periode Orde Baru permasalahan reformasi sistem pembayaran hampir tidak pernah tersentuh karena kroni Orde Baru sangat serakah ingin menguasai sistem pembayaran nasional sehingga likuiditas dalam pasar keuangan menjadi bersifat semu dan tidak terkontrol dengan baik.
Risiko dalam sistem pembayaran yang berkaitan dengan impor hanya bisa diselesaikan jika bank sentral dan bank komersial melakukan kerja sama yang sangat baik untuk mereformasi sistem pembayaran nasional.
Langkah inilah yang dilupakan oleh pemerintah Orde Baru yang selalu menganggap perekonomian Indonesia adalah Macan Asiayang tidak memiliki kelemahan. Orde Baru juga menganggap bahwa krisis ekonomi tersebut merupakan perang ekonomi.
Jika logika bodoh itu diladeni, ada kekuatan negara asing yang tengah memusuhi Indonesia, Thailand, Korea Selatan, dan Malaysia. Sementara Gerding (2014) mengatakan bahwa perusak ekonomi negara-negara yang terkena krisis ekonomi adalah aktor-aktor di dalam negeri sendiri. Negara Macan Asia dirampok oleh penguasanya sendiri.
Indonesia dimasukkan dalam kelompok negara Macan Asia karena menjadi good boy-nya Bank Dunia di mana Indonesia secara bodoh mengikuti resep neoliberal. Bank Dunia dan penguasa Indonesia menggunakan ”other people money”.
Gerding mengatakan: ”The corporate form provides ideal for lobbying for regulatory favors: corporations solve collective action problems by centralizing decisionmaking and allow managers to lobby with‘other people’s money’.”
Pada krisis yang terjadi pada 2008 di Amerika Serikat dan Uni Eropa, krisis pembayaran melalui transmisi impor bukanlah semata-mata merupakan perang ekonomi, melainkan karena kebodohan sistem ekonomi yang tidak mampu mengelola risiko yang ditimbulkan oleh proses ekonomi yang terjadilah yang merupakan sumber krisis ekonomi itu sendiri yang umumnya melalui transmisi impor dan akhirnya juga sistem pembayaran nasional. Landau, Garber, dan Scoenmaker pada 1997 sudah mengingatkan ini.
Mereka mengatakan: ”Payment system reforms are, nevertheless, crucially important and should be regarded as a key component of ongoing efforts to create sound and efficient financial systems. By strengthening payment systems to reduce systemic risk, central banks have increased their degrees of freedom. Indeed, they may soon be able to strengthen market discipline by letting financial institutions fail, perhaps even those currently perceived as too big to fail, without threatening the stability of the entire financial system.”
Tidaklah juga mengherankan jika perekonomian negara adidaya dunia seperti Amerika Serikat juga akhirnya terjerembab ke dalam krisis perekonomian. Terbukti perekonomian Amerika Serikat masih terperangkap oleh risiko too big too fail sehingga terpaksa mengambil alih banyak institusi keuangan besar yang bukan hanya perbankan, tetapi juga asuransi dan industri manufaktur seperti industri mobil.
Perekonomian Amerika Serikat memiliki musuh di dalam dirinya sendiri yaitu tidak mau melakukan reformasi perekonomian khususnya reformasi sistem pembayaran.
Kesalahan yang sama juga dilakukan negara-negara Uni Eropa. Kembali kepada krisis Asia pada akhir 1990-an, pemimpin di Indonesia, Thailand, Korea Selatan, dan Malaysia juga alpa dalam mereformasi sistem perekonomian khususnya sistem pembayaran dalam konteks tidak terkontrolnya risiko ekonomi melalui transmisi impor.
Sistem mereka melupakan kewajiban ada likuiditas intraday. Likuiditas intraday harus dijamin dalam sistem pembayaran. Tanpa ada likuiditas intraday, sistem pembayaran rentan terhadap risiko too big too fail. Keberadaan jaminan dan biaya penalti juga sangat penting. Dua hal ini harus serempak dilakukan untuk menghilangkan risiko kredit dari otoritas moneter.
Hanya dengan cara itu, transmisi risiko krisis ekonomi dunia melalui mekanisme impor dapat dihilangkan dalam memengaruhi peningkatan risiko sistem pembayaran nasional!
ACHMAD DENI DARURI
President Director Center for Banking Crisis
Transmisi moneter juga membuat pembayaran melalui telepon juga mengalami gangguan misalnya yang terjadi di Kenya. Dengan model ini terbukti bahwa efek pendapatanlah yang merupakan sumber utama dari gangguan sistem pembayaran melalui transmisi impor. Di sinilah pentingnya kebijakan fiskal untuk menetralisasi dampak negatif dari efek pendapatan.
Negara yang mampu meningkatkan pengeluaran fiskalnya adalah negara-negara yang juga mampu menghindari permasalahan dalam sistem pembayaran. Di Asia hal yang sama juga terjadi khususnya ketika terjadi krisis pada 1998. Indonesia yang dianggap sebagai Macan Asia ternyata memiliki struktur perekonomian yang paling keropos dibandingkan dengan negara-negara Asia lain yang terkena hantaman krisis.
Ini terlihat dari biaya krisis ekonomi yang ditimbulkannya di mana sistem pembayaran Indonesia porak-poranda tidak karuan. Perbankan di Indonesia harus masuk ”ICCU” karena sebagian besar tidak mampu menjalankan aktivitas normalnya. Melemahnya rupiah menyebabkan impor dan utang luar negeri meningkat drastis yang menyebabkan cadangan devisa Indonesia terkuras habis-habisan.
Kondisi ini membuat sistem pembayaran mengalami permasalahan yang sangat serius. Masalah ini dapat terjadi karena sistem pembayaran terlalu mengandalkan kepada bank-bank milik pemerintah yang ternyata memiliki kredit macet yang sangat luar biasa. Kesalahan dalam membaca kondisi perekonomian Indonesia telah menyebabkan penyakit yang begitu besar di depan mata dalam perekonomian Indonesia tidak dapat terdeteksi.
Semasa periode Orde Baru permasalahan reformasi sistem pembayaran hampir tidak pernah tersentuh karena kroni Orde Baru sangat serakah ingin menguasai sistem pembayaran nasional sehingga likuiditas dalam pasar keuangan menjadi bersifat semu dan tidak terkontrol dengan baik.
Risiko dalam sistem pembayaran yang berkaitan dengan impor hanya bisa diselesaikan jika bank sentral dan bank komersial melakukan kerja sama yang sangat baik untuk mereformasi sistem pembayaran nasional.
Langkah inilah yang dilupakan oleh pemerintah Orde Baru yang selalu menganggap perekonomian Indonesia adalah Macan Asiayang tidak memiliki kelemahan. Orde Baru juga menganggap bahwa krisis ekonomi tersebut merupakan perang ekonomi.
Jika logika bodoh itu diladeni, ada kekuatan negara asing yang tengah memusuhi Indonesia, Thailand, Korea Selatan, dan Malaysia. Sementara Gerding (2014) mengatakan bahwa perusak ekonomi negara-negara yang terkena krisis ekonomi adalah aktor-aktor di dalam negeri sendiri. Negara Macan Asia dirampok oleh penguasanya sendiri.
Indonesia dimasukkan dalam kelompok negara Macan Asia karena menjadi good boy-nya Bank Dunia di mana Indonesia secara bodoh mengikuti resep neoliberal. Bank Dunia dan penguasa Indonesia menggunakan ”other people money”.
Gerding mengatakan: ”The corporate form provides ideal for lobbying for regulatory favors: corporations solve collective action problems by centralizing decisionmaking and allow managers to lobby with‘other people’s money’.”
Pada krisis yang terjadi pada 2008 di Amerika Serikat dan Uni Eropa, krisis pembayaran melalui transmisi impor bukanlah semata-mata merupakan perang ekonomi, melainkan karena kebodohan sistem ekonomi yang tidak mampu mengelola risiko yang ditimbulkan oleh proses ekonomi yang terjadilah yang merupakan sumber krisis ekonomi itu sendiri yang umumnya melalui transmisi impor dan akhirnya juga sistem pembayaran nasional. Landau, Garber, dan Scoenmaker pada 1997 sudah mengingatkan ini.
Mereka mengatakan: ”Payment system reforms are, nevertheless, crucially important and should be regarded as a key component of ongoing efforts to create sound and efficient financial systems. By strengthening payment systems to reduce systemic risk, central banks have increased their degrees of freedom. Indeed, they may soon be able to strengthen market discipline by letting financial institutions fail, perhaps even those currently perceived as too big to fail, without threatening the stability of the entire financial system.”
Tidaklah juga mengherankan jika perekonomian negara adidaya dunia seperti Amerika Serikat juga akhirnya terjerembab ke dalam krisis perekonomian. Terbukti perekonomian Amerika Serikat masih terperangkap oleh risiko too big too fail sehingga terpaksa mengambil alih banyak institusi keuangan besar yang bukan hanya perbankan, tetapi juga asuransi dan industri manufaktur seperti industri mobil.
Perekonomian Amerika Serikat memiliki musuh di dalam dirinya sendiri yaitu tidak mau melakukan reformasi perekonomian khususnya reformasi sistem pembayaran.
Kesalahan yang sama juga dilakukan negara-negara Uni Eropa. Kembali kepada krisis Asia pada akhir 1990-an, pemimpin di Indonesia, Thailand, Korea Selatan, dan Malaysia juga alpa dalam mereformasi sistem perekonomian khususnya sistem pembayaran dalam konteks tidak terkontrolnya risiko ekonomi melalui transmisi impor.
Sistem mereka melupakan kewajiban ada likuiditas intraday. Likuiditas intraday harus dijamin dalam sistem pembayaran. Tanpa ada likuiditas intraday, sistem pembayaran rentan terhadap risiko too big too fail. Keberadaan jaminan dan biaya penalti juga sangat penting. Dua hal ini harus serempak dilakukan untuk menghilangkan risiko kredit dari otoritas moneter.
Hanya dengan cara itu, transmisi risiko krisis ekonomi dunia melalui mekanisme impor dapat dihilangkan dalam memengaruhi peningkatan risiko sistem pembayaran nasional!
ACHMAD DENI DARURI
President Director Center for Banking Crisis
(nfl)