Politik Konservasi Laut

Senin, 09 Juni 2014 - 11:19 WIB
Politik Konservasi Laut
Politik Konservasi Laut
A A A
PADA Mei 2014 Indonesia menjadi tuan rumah World Coral Reef Conference (WCRC). Salah satu hasil penting WCRC tersebut adalah ada komunike bersama tentang pengelolaan terumbu karang secara global yang menekankan pendekatan baru yakni terintegrasi melalui tata kelola yang efektif, ramah gender, sensitif risiko bencana, serta orientasi bisnis yang ramah lingkungan. Bagaimana implikasinya terhadap kelautan Indonesia?

Perspektif Global
Kini pembicaraan isu lingkungan laut hampir selalu menyentuh isu terumbu karang. Ini karena ekosistem terumbu karang memiliki peran ekologis yang sangat penting bagi tumbuhnya populasi ikan serta keseimbangan ekosistem laut.

Karena itu, inisiatif global pengelolaan terumbu karang terus didorong seperti Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, Food Security (CTI-CFF ), The Eastern Tropical Pacific Seascape Project and The Indian Ocean Challenge, West African Conservation Challenge, serta Coral Reefs for the Americas Region .

Hal yang menarik dari berbagai kesepakatan internasional itu adalah pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan harus memberikan kontribusi pada ketahanan pangan, penanggulangan kemiskinan, serta antisipasi dampak perubahan iklim. Dengan ditambahkan aspek gender, bencana, serta bisnis ramah lingkungan, tentu makin menarik dan menunjukkan kemajuan.

Pertama, selama ini isu pengelolaan terumbu karang hanya fokus pada aspek ekologi sehingga seolah yang terpenting adalah bagaimana terumbu karang lestari tanpa memikirkan bagaimana kelangsungan hidup manusia di sekitarnya. Inilah yang sering memicu ketidakadilan. Ini sesuai tulisan Forsyth (2002) yang mengatakan bahwa bila pengelolaan lingkungan hanya bertumpu pada prinsip-prinsip ekologis semata, yang terjadi adalah ketidakadilan.

Fakta konflik antara konservasi terumbu karang dan perikanan terjadi di mana-mana di dunia, tak hanya di Indonesia. Karena itu, perlu sinergi antardisiplin ilmu sebagai dasar untuk menciptakan tata kelola yang efektif dan adil. Kedua, kerusakan terumbu karang selama ini dipahami sebagai akibat ulah nelayan yang melakukan pengeboman ikan. Padahal kerusakan oleh bisnis besar juga terjadi.

Pencemaran industri, sedimentasi akibat penebangan hutan secara masif oleh usaha besar, dan perdagangan karang oleh eksportir adalah contoh betapa bisnis besar juga berkontribusi terhadap kerusakan. Jadi, poin bisnis ramah lingkungan sangat penting ditekankan dan perlu dirumuskan instrumen operasionalnya.

Ketiga , konservasi laut selama ini dipahami hanya domain laki-laki. Padahal naluri perempuan terhadap alam mestinya dipertimbangkan sehingga perannya harus didorong. Dengan prinsip baru sensitif gender dalam komunike WCRC, akan makin mengukuhkan peran perempuan dalam konservasi baik pada pengambilan kebijakan maupun implementasinya.

Agenda
Tentu sejumlah poin di atas merupakan kemajuan penting dalam pengelolaan konservasi laut yang adil. Namun, persoalannya adalah bagaimana implementasinya di Indonesia. Ada sejumlah langkah yang perlu didorong.

Pertama , meski kerja sama regional dan global terus didorong, sebaiknya Indonesia harus percaya diri untuk menemukan model khas yang efektif dan tidak silau dengan model-model Barat yang positivistik dan seolah universal serta memiliki sofistifikasi akademik yang menakjubkan, namun kurang pas untuk konteks sosial politik dunia ketiga seperti Indonesia.

Di sinilah ilmuwan-ilmuwan Indonesia harus didorong untuk lebih percaya diri melakukan riset-riset unggulan yang hasilnya bisa mentransformasi model konservasi laut. Kedua, organisasi nelayan harus didorong untuk mengambil peran penting dalam konservasi laut. Ini karena merekalah yang pada akhirnya merasakan hasil pengelolaan terumbu karang. Mulainya bisa dengan penguatan jejaring komunitas prokonservasi lintas wilayah.

Dengan jejaring ini akan tercipta mekanisme saling belajar antarkomunitas dalam konservasi laut. Ketiga , model kawasan konservasi laut (KKL) yang diinisiasi pemerintah mestinya bisa diukur tingkat keberhasilannya.

Selama ini ukuran keberhasilan KKL masih sebatas pada penetapan luasan dan belum sampai pada efektivitas pengelolaan dan hasil konservasi. Target-target perluasan KKL sebaiknya dibatasi dan sekarang mulai fokus pada efektivitas pengelolaan dan instrumen monitoring yang lebih akurat.

Keempat, instrumen perdagangan mestinya mulai diterapkan untuk membangun bisnis ramah lingkungan dan prokonservasi laut. Hal yang paling efektif untuk membendung peran bisnis dalam kerusakan terumbu karang adalah penegakan hukum dan instrumen perdagangan seperti ekolabeling. Namun, persoalannya, hukum lingkungan kita belum kuat. Begitu pula kepedulian konsumen terhadap produkproduk alam masih rendah.

Tentu apa yang selama ini telah dirintis oleh pemerintah, LSM, maupun masyarakat dalam konservasi laut perlu diapresiasi. Namun, empat agenda di atas perlu dilakukan untuk mempertajam peran masingmasing pihak sehingga apa yang dilakukan bisa lebih dipertanggungjawabkan.

ARIF SATRIA
Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7286 seconds (0.1#10.140)