Desain Ulang Raskin
A
A
A
PROGRAM beras untuk rakyat miskin (raskin) jadi sorotan. KPK meminta pemerintah mendesain ulang program Raskin.
Dari kajian KPK menemukan banyak penyelewengan dalam program Raskin. KPK menemukan enam tidak tepat: tidak tepat sasaran, jumlah, mutu, waktu, harga, dan administrasi. Bahkan, KPK mencium indikasi ada jaringan kartel penyaluran raskin. Raskin yang seharusnya diterima rumah tangga sasaran justru dijual ke pengepul, akhirnya beras itu dijual lagi ke rumah tangga sasaran.
Sebenarnya penyelewengan Raskin bukan hal baru. Sejak program dimulai 15 tahun lalu, sejumlah kajian menemukan adanya penyimpangan. Studi 35 perguruan tinggi menyimpulkan efektivitas program Raskin berada di level sedang (Indef, 2004).
Saat itu beras apek dan berkutu, tidak tepat jumlah, tidak tepat harga dan tidak tepat sasaran adalah keluhan yang selalu muncul. Survei penyaluran Raskin oleh BPS, Januari– Maret 2013, menemukan, raskin dinikmati 31,23 juta rumah tangga. Padahal, sasaran rumah tangga penerima raskin hanya 15,5 juta.
Artinya separuh penerima itu tidak berhak. Dari lima lapisan masyarakat versi BPS, lapisan 1 atau termiskin yang berjumlah 12,5 juta rumah tangga seharusnya semua menerima raskin. Kenyataannya hanya 9,41 juta rumah tangga (75%) yang menerima dengan jatah rata-rata bulanan 13,79 kg beras atau 92% dari seharusnya (15 kg).
Sebanyak 3 juta rumah tangga penerima Raskin sisanya seharusnya di lapisan 2. Kenyataannya, di lapisan ini penerima raskin berjumlah 8,4 juta rumah tangga atau 66,27% dari jumlah rumah tangga di lapisan 2 dengan jatah 13,31 kg.
Ironisnya, lapisan 3-5 yang seharusnya tidak kebagian justru mendapatkan raskin: 6,85 juta rumah tangga atau 54,25% dari rumah tangga lapisan 3; 4,88 juta rumah tangga (38,6% dari lapisan 4); dan 1,71 juta rumah tangga (13,63% dari lapisan 5).
Melencengnya penyaluran raskin dan pelbagai program antikemiskinan lain inilah yang membuat penurunan kemiskinan lambat. Dari tiga strategi perlindungan sosial, raskin termasuk pendekatan yang dianjurkan karena mencegah munculnya risiko (ex-ante) warga miskin.
Kenaikan harga kebutuhan pokok bakal memicu inflasi. Ini menggerogoti pendapatan riil warga. Kelompok miskin yang porsi pengeluaran pangannya cukup besar, antara 60–75%, pasti menderita. Di masa lalu, keluarga penerima raskin mendapat 20 kg per bulan. Ini bisa memenuhi 40–60% total kebutuhan beras bulanan. Ini memungkinkan mereka mempertahankan tingkat konsumsi energi dan protein. Mereka tak banyak menyunat biaya pendidikan dan kesehatan buat pangan.
Keharusan mendesain ulang program Raskin merupakan keniscayaan. Desain ulang bisa dimulai dari penghapusan operasi pasar (beras). Di zaman Presiden Soeharto, operasi pasar menuai kritik. Maka sejak 1998 operasi pasar beras ditanggalkan, lalu diganti pendekatan subsidi terarah lewat Raskin.
Tapi sejak Presiden SBY beleid operasi pasar kembali dipakai sebagai instrumen stabilisasi harga. SBY lupa, operasi pasar beras tidak adil karena bukan hanya rakyat miskin, tapi kelompok kaya dan pedagang/ pengecer juga bisa menikmatinya. Kelompok terakhir ini bisa membeli dan menyimpan beras dalam jumlah besar.
Setelah ada raskin, seharusnya tak ada lagi operasi pasar beras. Saat keduanya berlaku terjadi double standard: subsidi umum dan subsidi terarah. Opsi penghapusan operasi pasar harus dibarengi penyediaan data rumah tangga sasaran penerima raskin yang akurat agar distribusi/penyaluran tak mengundang moral hazard. Raskin memiliki kaitan kuat dengan program pengembangan SDM (horizontal integration) dan program ketahanan pangan (vertical integration).
Sebagai program yang bersifat transfer energi, keberhasilan Raskin akan membantu keberhasilan program lain, seperti peningkatan kualitas nutrisi, kesehatan, pendidikan dan produktivitas SDM. Jadi, Raskin bisa dipandang sebagai investasi SDM yang lebih tahan berbagai risiko.
Raskin juga bisa dipandang sebagai indirect income transfer. Beras itu dibeli dari produksi petani kecil yang rentan fluktuasi harga saat panen. Pembelian hasil produksi petani lewat harga yang ditetapkan pemerintah (baca: harga pembelian pemerintah atau HPP) merupakan bentuk perlindungan pada petani kecil agar mendapat insentif.
Jadi, ada kaitan kuat antara program kesejahteraan petani melalui pembelian pemerintah dengan pemberian subsidi beras murah lewat Raskin pada kelompok miskin dan rawan pangan. Selama ini tujuan program Raskin bersifat parsial, yakni sebagai transfer energi untuk peningkatan kualitas nutrisi, kesehatan, pendidikan, dan produktivitas SDM.
Raskin belum dipandang sebagai bagian dari strategi stabilisasi harga gabah/ beras. Ini tampak dari anggaran Raskin yang naik-turun, tergantung kepentingan politik penguasa. Ketika ada syahwat politik penguasa, anggaran Raskin dibengkakkan.
Seharusnya anggaran Raskin tidak semata-mata untuk memenuhi kepentingan transfer energi kepada warga miskin, tapi dikaitkan dengan pagu pengadaan gabah/ beras dalam negeri untuk cadangan beras pemerintah (CBP). Besar-kecilnya CBP harus dikaitkan dengan tujuan menyerap surplus produksi (gabah/ beras) petani agar harga stabil. Desain ulang ini tak hanya menjamin Raskin tepat sasaran, pada saat yang sama instabilitas harga gabah/ beras bisa dicegah.
Terakhir, karena pangan bukan hanya beras, melanggengkan Raskin sama saja mengajari warga daerah penghasil nonberas terus beradaptasi pada pangan (beras) yang diintroduksi dari luar. Akibatnya, produk pangan lokal yang beraneka ragam dengan segenap derivatnya musnah. Hilangnya pangan lokal berarti musnahnya keanekaragaman hayati sekaligus kearifan lokal yang tak ternilai harganya. Sebagai bagian desain ulang Raskin, ke depan perlu dipikirkan beras diganti ekuivalen dengan pangan selain beras.
Karena bukan lagi beras, Raskin diubah jadi pangkin (pangan untuk orang miskin). Secara gradual, cara ini membuat budaya pangan lokal yang mati suri hidup kembali. Ekonomi setempat menggeliat. Secara politik, stabilitas sosial akan lebih terjamin karena warga tak lagi tergantung hanya pada beras. Sebagai konsekuensinya, pelaksanaan pangkin harus didesentralisasikan ke daerah.
Desentralisasi akan membuat pemda lebih bertanggung jawab mendistribusikan dan mengawasi pelaksanaan pangkin. Tanggung jawab itu diwujudkan dengan pendataan warga penerima secara tepat, pengadaan stok (pangan lokal) yang cukup, kualitas pangan yang prima, dan tepat harga serta jumlah.
KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”
Dari kajian KPK menemukan banyak penyelewengan dalam program Raskin. KPK menemukan enam tidak tepat: tidak tepat sasaran, jumlah, mutu, waktu, harga, dan administrasi. Bahkan, KPK mencium indikasi ada jaringan kartel penyaluran raskin. Raskin yang seharusnya diterima rumah tangga sasaran justru dijual ke pengepul, akhirnya beras itu dijual lagi ke rumah tangga sasaran.
Sebenarnya penyelewengan Raskin bukan hal baru. Sejak program dimulai 15 tahun lalu, sejumlah kajian menemukan adanya penyimpangan. Studi 35 perguruan tinggi menyimpulkan efektivitas program Raskin berada di level sedang (Indef, 2004).
Saat itu beras apek dan berkutu, tidak tepat jumlah, tidak tepat harga dan tidak tepat sasaran adalah keluhan yang selalu muncul. Survei penyaluran Raskin oleh BPS, Januari– Maret 2013, menemukan, raskin dinikmati 31,23 juta rumah tangga. Padahal, sasaran rumah tangga penerima raskin hanya 15,5 juta.
Artinya separuh penerima itu tidak berhak. Dari lima lapisan masyarakat versi BPS, lapisan 1 atau termiskin yang berjumlah 12,5 juta rumah tangga seharusnya semua menerima raskin. Kenyataannya hanya 9,41 juta rumah tangga (75%) yang menerima dengan jatah rata-rata bulanan 13,79 kg beras atau 92% dari seharusnya (15 kg).
Sebanyak 3 juta rumah tangga penerima Raskin sisanya seharusnya di lapisan 2. Kenyataannya, di lapisan ini penerima raskin berjumlah 8,4 juta rumah tangga atau 66,27% dari jumlah rumah tangga di lapisan 2 dengan jatah 13,31 kg.
Ironisnya, lapisan 3-5 yang seharusnya tidak kebagian justru mendapatkan raskin: 6,85 juta rumah tangga atau 54,25% dari rumah tangga lapisan 3; 4,88 juta rumah tangga (38,6% dari lapisan 4); dan 1,71 juta rumah tangga (13,63% dari lapisan 5).
Melencengnya penyaluran raskin dan pelbagai program antikemiskinan lain inilah yang membuat penurunan kemiskinan lambat. Dari tiga strategi perlindungan sosial, raskin termasuk pendekatan yang dianjurkan karena mencegah munculnya risiko (ex-ante) warga miskin.
Kenaikan harga kebutuhan pokok bakal memicu inflasi. Ini menggerogoti pendapatan riil warga. Kelompok miskin yang porsi pengeluaran pangannya cukup besar, antara 60–75%, pasti menderita. Di masa lalu, keluarga penerima raskin mendapat 20 kg per bulan. Ini bisa memenuhi 40–60% total kebutuhan beras bulanan. Ini memungkinkan mereka mempertahankan tingkat konsumsi energi dan protein. Mereka tak banyak menyunat biaya pendidikan dan kesehatan buat pangan.
Keharusan mendesain ulang program Raskin merupakan keniscayaan. Desain ulang bisa dimulai dari penghapusan operasi pasar (beras). Di zaman Presiden Soeharto, operasi pasar menuai kritik. Maka sejak 1998 operasi pasar beras ditanggalkan, lalu diganti pendekatan subsidi terarah lewat Raskin.
Tapi sejak Presiden SBY beleid operasi pasar kembali dipakai sebagai instrumen stabilisasi harga. SBY lupa, operasi pasar beras tidak adil karena bukan hanya rakyat miskin, tapi kelompok kaya dan pedagang/ pengecer juga bisa menikmatinya. Kelompok terakhir ini bisa membeli dan menyimpan beras dalam jumlah besar.
Setelah ada raskin, seharusnya tak ada lagi operasi pasar beras. Saat keduanya berlaku terjadi double standard: subsidi umum dan subsidi terarah. Opsi penghapusan operasi pasar harus dibarengi penyediaan data rumah tangga sasaran penerima raskin yang akurat agar distribusi/penyaluran tak mengundang moral hazard. Raskin memiliki kaitan kuat dengan program pengembangan SDM (horizontal integration) dan program ketahanan pangan (vertical integration).
Sebagai program yang bersifat transfer energi, keberhasilan Raskin akan membantu keberhasilan program lain, seperti peningkatan kualitas nutrisi, kesehatan, pendidikan dan produktivitas SDM. Jadi, Raskin bisa dipandang sebagai investasi SDM yang lebih tahan berbagai risiko.
Raskin juga bisa dipandang sebagai indirect income transfer. Beras itu dibeli dari produksi petani kecil yang rentan fluktuasi harga saat panen. Pembelian hasil produksi petani lewat harga yang ditetapkan pemerintah (baca: harga pembelian pemerintah atau HPP) merupakan bentuk perlindungan pada petani kecil agar mendapat insentif.
Jadi, ada kaitan kuat antara program kesejahteraan petani melalui pembelian pemerintah dengan pemberian subsidi beras murah lewat Raskin pada kelompok miskin dan rawan pangan. Selama ini tujuan program Raskin bersifat parsial, yakni sebagai transfer energi untuk peningkatan kualitas nutrisi, kesehatan, pendidikan, dan produktivitas SDM.
Raskin belum dipandang sebagai bagian dari strategi stabilisasi harga gabah/ beras. Ini tampak dari anggaran Raskin yang naik-turun, tergantung kepentingan politik penguasa. Ketika ada syahwat politik penguasa, anggaran Raskin dibengkakkan.
Seharusnya anggaran Raskin tidak semata-mata untuk memenuhi kepentingan transfer energi kepada warga miskin, tapi dikaitkan dengan pagu pengadaan gabah/ beras dalam negeri untuk cadangan beras pemerintah (CBP). Besar-kecilnya CBP harus dikaitkan dengan tujuan menyerap surplus produksi (gabah/ beras) petani agar harga stabil. Desain ulang ini tak hanya menjamin Raskin tepat sasaran, pada saat yang sama instabilitas harga gabah/ beras bisa dicegah.
Terakhir, karena pangan bukan hanya beras, melanggengkan Raskin sama saja mengajari warga daerah penghasil nonberas terus beradaptasi pada pangan (beras) yang diintroduksi dari luar. Akibatnya, produk pangan lokal yang beraneka ragam dengan segenap derivatnya musnah. Hilangnya pangan lokal berarti musnahnya keanekaragaman hayati sekaligus kearifan lokal yang tak ternilai harganya. Sebagai bagian desain ulang Raskin, ke depan perlu dipikirkan beras diganti ekuivalen dengan pangan selain beras.
Karena bukan lagi beras, Raskin diubah jadi pangkin (pangan untuk orang miskin). Secara gradual, cara ini membuat budaya pangan lokal yang mati suri hidup kembali. Ekonomi setempat menggeliat. Secara politik, stabilitas sosial akan lebih terjamin karena warga tak lagi tergantung hanya pada beras. Sebagai konsekuensinya, pelaksanaan pangkin harus didesentralisasikan ke daerah.
Desentralisasi akan membuat pemda lebih bertanggung jawab mendistribusikan dan mengawasi pelaksanaan pangkin. Tanggung jawab itu diwujudkan dengan pendataan warga penerima secara tepat, pengadaan stok (pangan lokal) yang cukup, kualitas pangan yang prima, dan tepat harga serta jumlah.
KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”
(nfl)