Bencana di Akhir Jabatan

Senin, 19 Mei 2014 - 08:06 WIB
Bencana di Akhir Jabatan
Bencana di Akhir Jabatan
A A A
LANGKAH pasti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memerangi korupsi semakin meyakinkan. Bukan hanya karena begitu berani menyentuh kalangan menteri aktif atau ketua umum partai, melainkan juga punya “pola baru” dalam menetapkan tersangka korupsi.

Pola baru itu adalah menetapkan seorang penyelenggara negara dan daerah saat menjelang akhir jabatannya. Ini menjadi “momok baru” yang ditakuti para pejabat. Sebelumnya, yang paling ditakuti adalah “Jumat keramat” karena KPK acapkali menetapkan tersangka atau menahan pejabat negara pada Jumat.

Sudah dua pejabat negara yang jadi korban “pola baru itu” yaitu mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan mantan Wali Kota Makassar yang ditetapkan sebagai tersangka sehari sebelum masa jabatannya berakhir.

Giliran berikutnya yang dijadikan tersangka mendekati akhir masa tugasnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah politikus Partai Demokrat Sutan Bhatoegana, ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pada Rabu (14/5/2014).

KPK menemukan bukti permulaan yang cukup terkait pembahasan anggaran APBN Perubahan tahun 2013 di Kementerian ESDM. Sutan yang sering mengumbar istilah “ngeri-ngeri sedap” diduga menerima hadiah atau janji dan gratifikasi berkaitan dengan jabatannya selaku ketua Komisi Energi.

Tertimpa tangga
Sutan dikenakan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Nomor 31/1999 yang diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi), juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP (Pidana).

Dugaan keterlibatan Sutan berawal saat ada fakta-fakta yang mengemuka dalam persidangan terdakwa mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini.

Terdakwa Rudi menyebut Sutan meminta dan menerima uang sekitar Rp2 miliar sebagai dana THR menjelang akhir Ramadhan 2013. Ketua KPK Abraham Samad menyatakan, kasus ini masih terus dikembangkan pada kemungkinan keterlibatan aktor-aktor lain di Komisi VII DPR.

Tentu saya percaya KPK akan menjadikan ini sebagai momentum emas untuk membongkar siapa saja yang terlibat dalam skandal di SKK Migas, terutama setelah menjadi fakta atau alat bukti di depan sidang pengadilan. Tetapi, ada peribahasa yang tepat dikiaskan bagi Sutan adalah “sudah jatuh tertimpa tangga pula”.

Selain gagal kembali menjadi anggota DPR periode 2014-2019, juga dijadikan tersangka. Dalam salah satu judul berita harian Media Indonesia (16/5/2014) menyebut “Ngeri- Ngeri (Tak) Sedap di Ujung Jabatan” bagi Sutan yang sering diucapkannya dalam berbagai diskusi di televisi.

Ini menjadi ungkapan “tak sedap” menjelang akhir tugasnya di DPR. Tentu publik tahu bahwa korupsi di negeri ini sudah menjadi tumor ganas yang mengancam keselamatan uang negara. Apakah penetapan tersangka bagi pejabat negara pada akhir jabatannya bisa menjadi efek jera sekaligus menimbulkan rasa takut bagi calon koruptor lain?

Tentu masih butuh pembuktian sebab hukuman seberat apa pun yang dijatuhkan hakim bagi koruptor nyatanya tidak membuat korupsi menurun. Malah ada kecenderungan meningkat dengan segala motivasinya. Upaya memberantas korupsi yang dilakukan KPK, kepolisian, kejaksaan, hakim, dan advokat tidak membuat pejabat “merasa ngeri-ngeri tak sedap”. Realitas yang ada, justru para koruptor tetap tidak malu.

Mereka malah menebar senyum manis ketika disorot puluhan kamera saat digiring ke ruang tahanan KPK. Yang membuat publik semakin geram, tersangka korupsi memperlihatkan wajah tanpa penyesalan sama sekali dan tetap berpakaian necis yang dibeli dari uang rakyat. Maka itu, kita harus terus menjaga dan memotivasi KPK untuk terus melangkah pasti. Rakyat akan selalu mendukung KPK, termasuk kepolisian, kejaksaan, hakim, dan advokat yang gigih memerangi perilaku korupsi.

Sudah sistemik
Melihat sejarah perilaku korupsi penyelenggara negara di negeri ini, biasanya tidak dilakukan secara sendirian. Yang bekerja dan bermain bukan perorangan, melainkan selalu bekerja sama, sistemik, dan punya jaringan khusus. Di parlemen selalu melibatkan anggota dari fraksi-fraksi lain dan oknum pengusaha yang punya kepentingan dalam membahas anggaran proyek berfungsi sebagai “penyuap” .
Gambaran di atas membawa kita pada anggapan bahwa korupsi kini sudah menggurita dan menjadi tumor ganas. Bukan hanya di jalan raya yang biasa ditemukan dengan istilah pungutan liar (pungli) atau sogokan di jembatan timbang seperti yang ditemukan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat melakukan sidak, melainkan juga sudah merambah begitu dahsyat di lingkungan petinggi negara.

Sudah penuh memori saya sehingga sering saya lupa namanama penyelenggara negara yang terbelit korupsi. Lebih celaka karena pejabat hukum sekelas ketua Mahkamah Konstitusi juga tersandung korupsi.

Juga tidak sedikit anggota DPR yang meringkuk di penjara, bahkan aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, advokat, termasuk kepala daerah. Menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, hingga Mei 2014 sudah 318 orang dari 524 kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut kasus korupsi (Sinar Harapan, 10/5/2014).

Yang lebih memprihatinkan karena yang terlibat korupsi adalah orang yang berpendidikan dan kalangan yang terhormat. Dilihat dari sisi materi juga tidak tergolong rendah sehingga wajar jika undang-undang korupsi menyebut salah satu unsur korupsi karena “memperkaya diri sendiri”.

Tampaknya ada pemicu korupsi yang perlu diperangi, selain biaya politik tinggi akibat politik uang dalam pemilihan umum atau dalam meraih jabatan, juga pengaruh kehidupan konsumerisme dan watak rakus.

Pilihan paling tepat memerangi perilaku korupsi adalah menjadinya sebagai musuh bersama. Beberapa putusan hakim agung dan tuntutan penuntut umum KPK yang cukup berat, bahkan upaya pemiskinan dengan menjatuhkan pidana denda yang besar dan pembayaran uang pengganti, tetap saja belum mempan.

Rupanya perlu meniru Pemerintah Tiongkok (China) yang begitu tegas dengan menjatuhkan hukuman mati. Boleh jadi ini akan efektif menimbulkan rasa takut bagi calon koruptor yang antre di berbagai institusi negara agar tidak mewujudkan cita-citanya melakukan korupsi.

MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5509 seconds (0.1#10.140)