Mengubah sistem pemilu
A
A
A
”PEMILU yang brutal”, demikianlah gambaran umum pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014 yang dilaksanakan beberapa waktu lalu. Praktik politik uang yang telanjang, saling tikam antar sesama caleg satu partai, dan ”koalisi” anta rcaleg lintas partai berbeda tingkatan adalah fenomena yang mengemuka dalam pesta akbar demokrasi itu.
Agaknya sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Dus perubahan sistem pemilu adalah solusi yang pantas dikedepankan, tentu dengan berbagai prasyarat yang juga harus dipenuhi.
Banyak yang menuding pemberlakuan sistem pemilu proporsional terbuka dengan suara terbanyak adalah ”dosa sejarah” Mahkamah Konstitusi. Bagaimana tidak, melalui Putusan Nomor22-24/PUU-VI/2008, MK telah menghapus Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu. Implikasinya, caleg terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak di antara caleg dalam satu partai.
Putusan MK ini diadopsi kembali dalam UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu. Dan hasilnyaadalah Pemilu 2014 yang ”brutal”. Jika dibuat daftar, setidaknya berikut ini adalah beberapa mudarat sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak.
Pertama, saling tikam antar sesama caleg dalam satu partai. Dalam kondisi ini, lazimnya caleg satu partai berkolaborasi dan bersinergi memenangkan partainya. Pasar bebas pemilu telah mendorong ke realitas sebaliknya, pertarungan tidak hanya antar partai tetapi telah bergeser pertarungan personal.
Kedua, koalisi caleg lintas partai. Karena pergeseran medan maka yang terjadi adalah ”koalisi” antarcaleg lintas partai. Koalisi ini terbangun dengan caleg di suatu tingkatan pemilihan berkoalisi dengan caleg dari partai lain di tingkat pemilihan atas atau tingkat pemilihan bawah.
Koalisi yang dibangun pun tidak pandang bulu, tidak melihat platform partai. Ketiga, telanjangnya praktik money politic.Dalam situasi pasar bebas, seluruh caleg memiliki peluang yang sama. Pada titik inilah, caleg mengerahkan segenap potensinya. Berbagai cara ditempuh untuk memenangkan pertarungan.
Dan yang paling brutal adalah praktik money politicyang telanjang. Bahkan pada tahap yang lebih brutal lagi adalah praktik jual beli suara caleg. Dan, sistem proporsional terbuka pun memakan korban. Deretan caleg petahana potensial dengan track record nan menawan terpental. Pun demikian dengan aktivis partai yang minim dukungan finansial.
Banyak pejabat teras partai di berbagai daerah gagal menjadi anggota dewan, meski berada di nomor urut teratas di daerah pemilihan. Mereka dikalahkan oleh caleg ”pendatang baru” yang didukung oleh kekuatan modal. Dengan sistem ini, pemilu bak pasar bebas yang tak terkendali dan berpihak pada pemilik modal besar.
Mengubah sistem
Opini mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Moh Mahfud MD, ”Suara Terbanyak Itu Kehendak Legislatif” di harian KORAN SINDO (10 Mei 2014) menarik dicermati. Seolah tidak terima terhadap tuduhan MK memikul ”dosa sejarah” dengan diberlakukannya sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak, Mahfud memberikan argumentasi mengapa MK mengeluarkan Putusan Nomor 22- 24/PUU-VI/2008. Sembari berapologi bahwa sejatinya”suara terbanyak” adalah kehendak DPR, Mahfudsecara tersiratmengusulkan perubahan sistem Pemilu menjadi proporsional tertutup.
Sejatinya, sistem proporsional daftar terbuka bukan tanpa dampak positif. Salah satu dampak positif adalah memecut daya persaingan dan membendung pertikaian antar kubu dalam satu partai (Dieter Nohlen, 2000).
Akan tetapi, memang dampak negatif proporsional daftar terbuka sangat besar berupa melemahkan posisi partai dan persaingan tak terkendali di internal partai. Dewan Pimpinan Partai tidak bisa menjadi penentu para wakil yang dikirim ke DPR (Harrald Barrion/Joerg Meyer-Stamer, 2000). Dan dampak negatif ini sangat terasa di Indonesia.
Eksperimentasi proporsional daftar terbuka dengan suara terbanyak sepertinya harus ditinggalkan berganti sistem proporsional tertutup. Dengan sistem proporsional tertutup, penentuan caleg terpilih kembali berdasarkan nomor urut sebagaimana sistem Pemilu 1999 dan Pemilu 2004.
Memang, sistem ini dimungkinkan ”mengurangi” praktik money politic. Tetapi terdapat handicap besar dengan sistem ini, yakni masih kentalnya oligarki partai politik. Kondisi partai seperti ini hanya akan memunculkan mudarat berupa munculnya caleg-caleg tipikal” kader jenggot” yang dekat dengan pimpinan partai untuk duduk di nomor urut teratas.
Meritokrasi pun sulit terwujud dalam situasi ini. Oleh karena itu, sistem proporsional daftar tertutup membutuhkan prasyarat supaya tidak terjerembap pada ”lubang yang sama” dengan Pemilu 1999 dan Pemilu 2004.
Prasyarat itu bisa dideretkan sebagai-berikut: pertama, keharusan seseorang menjadi caleg harus sudah menjadi anggota partai politik dalam durasi waktu tertentu. Selama ini, UU Pemilu tidak pernah memasukkan ketentuan ini. Akibatnya banyak caleg siluman yang mendadak muncul dalam setiap pendaftaran caleg.
Pun banyak terjadi politisi kutu loncat, sebelumnya dikenal sebagai politisi partai A mendadak berganti baju menjadi caleg Partai B. Kedua, seorang caleg harus mengikuti kaderisasi dalam partai untuk menjadi caleg. Dengan ketentuan ini, seorang caleg harus mengikuti kaderisasi internal partai.
Level kaderisasi menjadi syarat seseorang untuk menjadi caleg di tingkat mana ia dicalonkan, apakah DPR RI, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/kota. Ketiga, prasyarat penyelenggaraan pemilihan pendahuluan tertutup (closed primary election) guna penyusunan daftar Caleg yang diajukan dalam general election.
Di Amerika Serikat, primary election adalah sistem yang lazim dilakukan, baik dalam pemilihan anggota kongres maupun pemilihan presiden. Sejatinya terdapat beberapa varian primary election, yakni closed primary, open primary, semi-closed primary, dan top two. Agaknya, closed primary election lebih tepat sebagai salah satu upaya institusionalisasi partai melalui sisi penguatan basis keanggotaan. Hal ini karena closed primary election mempersyaratkan identifikasi anggota partai secara ketat sebagai pemilih (voters).
Dan urgensi closed primary election adalah untuk mengikis praktik ”kader jenggot” dan harapannya dapat memunculkan kader yang memang betul-betul aktif menggerakkan mesin partai. Dengan memberlakukan tiga prasyarat itu, sistem proporsional tertutup dapat diterapkan tanpa kekhawatiran adanya reduksi oligarki partai. Partai dipaksa untuk menyeleksi caleg-calegnya dengan sistem meritokrasi.
Pada akhirnya, perubahan sistem pemilu dengan segenap prasyarat yang harus dipenuhi itu, menunggu political will anggota dewan terhormat yang telah terpilih dalam ”pemilu brutal” kali ini. Sembari menunggu, seluruh elemen bangsa seyogianya terus memberikan tekanan untuk adanya perubahan sistem pemilu guna menuju Indonesia yang lebih baik. Wallahu a’lam.
MUHAMMAD AZIZ HAKIM
Pengurus Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor dan Alumnus Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia
Agaknya sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Dus perubahan sistem pemilu adalah solusi yang pantas dikedepankan, tentu dengan berbagai prasyarat yang juga harus dipenuhi.
Banyak yang menuding pemberlakuan sistem pemilu proporsional terbuka dengan suara terbanyak adalah ”dosa sejarah” Mahkamah Konstitusi. Bagaimana tidak, melalui Putusan Nomor22-24/PUU-VI/2008, MK telah menghapus Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu. Implikasinya, caleg terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak di antara caleg dalam satu partai.
Putusan MK ini diadopsi kembali dalam UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu. Dan hasilnyaadalah Pemilu 2014 yang ”brutal”. Jika dibuat daftar, setidaknya berikut ini adalah beberapa mudarat sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak.
Pertama, saling tikam antar sesama caleg dalam satu partai. Dalam kondisi ini, lazimnya caleg satu partai berkolaborasi dan bersinergi memenangkan partainya. Pasar bebas pemilu telah mendorong ke realitas sebaliknya, pertarungan tidak hanya antar partai tetapi telah bergeser pertarungan personal.
Kedua, koalisi caleg lintas partai. Karena pergeseran medan maka yang terjadi adalah ”koalisi” antarcaleg lintas partai. Koalisi ini terbangun dengan caleg di suatu tingkatan pemilihan berkoalisi dengan caleg dari partai lain di tingkat pemilihan atas atau tingkat pemilihan bawah.
Koalisi yang dibangun pun tidak pandang bulu, tidak melihat platform partai. Ketiga, telanjangnya praktik money politic.Dalam situasi pasar bebas, seluruh caleg memiliki peluang yang sama. Pada titik inilah, caleg mengerahkan segenap potensinya. Berbagai cara ditempuh untuk memenangkan pertarungan.
Dan yang paling brutal adalah praktik money politicyang telanjang. Bahkan pada tahap yang lebih brutal lagi adalah praktik jual beli suara caleg. Dan, sistem proporsional terbuka pun memakan korban. Deretan caleg petahana potensial dengan track record nan menawan terpental. Pun demikian dengan aktivis partai yang minim dukungan finansial.
Banyak pejabat teras partai di berbagai daerah gagal menjadi anggota dewan, meski berada di nomor urut teratas di daerah pemilihan. Mereka dikalahkan oleh caleg ”pendatang baru” yang didukung oleh kekuatan modal. Dengan sistem ini, pemilu bak pasar bebas yang tak terkendali dan berpihak pada pemilik modal besar.
Mengubah sistem
Opini mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Moh Mahfud MD, ”Suara Terbanyak Itu Kehendak Legislatif” di harian KORAN SINDO (10 Mei 2014) menarik dicermati. Seolah tidak terima terhadap tuduhan MK memikul ”dosa sejarah” dengan diberlakukannya sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak, Mahfud memberikan argumentasi mengapa MK mengeluarkan Putusan Nomor 22- 24/PUU-VI/2008. Sembari berapologi bahwa sejatinya”suara terbanyak” adalah kehendak DPR, Mahfudsecara tersiratmengusulkan perubahan sistem Pemilu menjadi proporsional tertutup.
Sejatinya, sistem proporsional daftar terbuka bukan tanpa dampak positif. Salah satu dampak positif adalah memecut daya persaingan dan membendung pertikaian antar kubu dalam satu partai (Dieter Nohlen, 2000).
Akan tetapi, memang dampak negatif proporsional daftar terbuka sangat besar berupa melemahkan posisi partai dan persaingan tak terkendali di internal partai. Dewan Pimpinan Partai tidak bisa menjadi penentu para wakil yang dikirim ke DPR (Harrald Barrion/Joerg Meyer-Stamer, 2000). Dan dampak negatif ini sangat terasa di Indonesia.
Eksperimentasi proporsional daftar terbuka dengan suara terbanyak sepertinya harus ditinggalkan berganti sistem proporsional tertutup. Dengan sistem proporsional tertutup, penentuan caleg terpilih kembali berdasarkan nomor urut sebagaimana sistem Pemilu 1999 dan Pemilu 2004.
Memang, sistem ini dimungkinkan ”mengurangi” praktik money politic. Tetapi terdapat handicap besar dengan sistem ini, yakni masih kentalnya oligarki partai politik. Kondisi partai seperti ini hanya akan memunculkan mudarat berupa munculnya caleg-caleg tipikal” kader jenggot” yang dekat dengan pimpinan partai untuk duduk di nomor urut teratas.
Meritokrasi pun sulit terwujud dalam situasi ini. Oleh karena itu, sistem proporsional daftar tertutup membutuhkan prasyarat supaya tidak terjerembap pada ”lubang yang sama” dengan Pemilu 1999 dan Pemilu 2004.
Prasyarat itu bisa dideretkan sebagai-berikut: pertama, keharusan seseorang menjadi caleg harus sudah menjadi anggota partai politik dalam durasi waktu tertentu. Selama ini, UU Pemilu tidak pernah memasukkan ketentuan ini. Akibatnya banyak caleg siluman yang mendadak muncul dalam setiap pendaftaran caleg.
Pun banyak terjadi politisi kutu loncat, sebelumnya dikenal sebagai politisi partai A mendadak berganti baju menjadi caleg Partai B. Kedua, seorang caleg harus mengikuti kaderisasi dalam partai untuk menjadi caleg. Dengan ketentuan ini, seorang caleg harus mengikuti kaderisasi internal partai.
Level kaderisasi menjadi syarat seseorang untuk menjadi caleg di tingkat mana ia dicalonkan, apakah DPR RI, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/kota. Ketiga, prasyarat penyelenggaraan pemilihan pendahuluan tertutup (closed primary election) guna penyusunan daftar Caleg yang diajukan dalam general election.
Di Amerika Serikat, primary election adalah sistem yang lazim dilakukan, baik dalam pemilihan anggota kongres maupun pemilihan presiden. Sejatinya terdapat beberapa varian primary election, yakni closed primary, open primary, semi-closed primary, dan top two. Agaknya, closed primary election lebih tepat sebagai salah satu upaya institusionalisasi partai melalui sisi penguatan basis keanggotaan. Hal ini karena closed primary election mempersyaratkan identifikasi anggota partai secara ketat sebagai pemilih (voters).
Dan urgensi closed primary election adalah untuk mengikis praktik ”kader jenggot” dan harapannya dapat memunculkan kader yang memang betul-betul aktif menggerakkan mesin partai. Dengan memberlakukan tiga prasyarat itu, sistem proporsional tertutup dapat diterapkan tanpa kekhawatiran adanya reduksi oligarki partai. Partai dipaksa untuk menyeleksi caleg-calegnya dengan sistem meritokrasi.
Pada akhirnya, perubahan sistem pemilu dengan segenap prasyarat yang harus dipenuhi itu, menunggu political will anggota dewan terhormat yang telah terpilih dalam ”pemilu brutal” kali ini. Sembari menunggu, seluruh elemen bangsa seyogianya terus memberikan tekanan untuk adanya perubahan sistem pemilu guna menuju Indonesia yang lebih baik. Wallahu a’lam.
MUHAMMAD AZIZ HAKIM
Pengurus Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor dan Alumnus Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia
(nfl)