Koalisi presidensial: Tafsir politik-kontekstual konstitusi

Sabtu, 10 Mei 2014 - 13:00 WIB
Koalisi presidensial: Tafsir politik-kontekstual konstitusi
Koalisi presidensial: Tafsir politik-kontekstual konstitusi
A A A
JIKA membaca secara cermat keseluruhan rangkaian sistematik pasal-pasal dalam UUD Negara RI 1945, sulit disangkal bahwa pasal-pasal dalam konstitusi-reformasi tersebut mencerminkan corak yang sangat kuat dari karakter sistem presidensial.

Kekuasaan presiden RI di ranah kewenangan eksekutif, penganggaran sampai pada legislasi memperlihatkan watak presidensialisme sistem pemerintahanyangseharusnya dibangun sebagai derivat dari konstitusi tersebut.

Meskipun konstitusi pascaamandemen mengabsahkan pergeseran aliran kewenangan legislasi dari eksekutif (baca: presiden) kepada legislatif, sembari menegaskan karakter unik sistem perwakilan daerah dengan konstruksi semibikameralisme dengan hadirnya DPD, konstruksi dasar dari konstitusi tetap menegaskan watak presidensialisme sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh UUD 1945.

Relasi checks and balances antara eksekutif dan legislatif di era pemerintahan sebelumnya menyerupai watak semiparlementer. Konteks itu terkesan berupaya dipaksakan untuk menerima masuknya variabel ekstra-konstitusional dalam format ketatanegaraan baru yang ditandai oleh: disfungsionalitas eksekutif, kuatnya tekanan koalisi di tubuh parlemen, dan corak yang berubah- ubah serta cenderung tak stabil dalam relasi antara eksekutif dan parlemen.

Sangat penting untuk menyimak studi Mustapic (2002) mengenai relasi antara presiden dan kongres di Argentina yang berujung pada kebuntuan dalam relasi antara eksekutif dan legislatif, yang telah memandulkan kuasa presiden serta menimbulkan kebuntuan ketatanegaraan.

Hadirnya Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang intinya memberlakukan prinsip konstitusional bersyarat atas presidential threshold dengan membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden namun baru berlaku tahun 2019, justru hanya turut merayakan masalah terkait kebuntuan sistem ketatanegaraan akibat watak ”semi parlementarisme” sistem pemerintahan sebagai akibat tafsir politik-kontekstual atas konstitusi.

Alih-alih menjadi solusi atas kebuntuan ketatanegaraan, putusan MK kini justru mengundang polemik terkait legalitas hasil Pilpres 2014, karena tenggat waktu berlakunya putusan MK tersebut harus menunggu tahun 2019.

Akibatnya, saat ini justru ada salah satu parpol yang mengajukan Peninjauan Kembali atas Putusan MK Nomor 14/PUUXI/ 2013 dengan maksud agar MK meninjau ulang substansi putusan MK tersebut, meskipun baik konstitusi maupun UU MK tak mengatur mengenai peluang pengajuan PK atas suatu putusan MK.

UUD Negara RI 1945 dan UU MK justru mengatur sifat final and binding putusan MK. Akibatnya, meski substansi alasan pengajukan permohonan PK atas putusan MK tersebut cukup kuat karena mempertanyakan pendirian MK atas hasil Pemilu 2014, belum ada satu pun dasar hukum yang memungkinkan pengabulan permohonan PK tersebut.

Sebenarnya, terkait dengan polemik keabsahan hasil pilpres nantinya, meskipun tidak menjadi bagian dari diktum putusan MK, MK sudah menegaskan pendiriannya dalam salah satu butir pertimbangan hukumnya dengan menyatakan bahwa:

”Meskipun Mahkamah menjatuhkan putusan mengenai Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU 42/2008, menurut Mahkamah penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tahun 2009 dan 2014 yang diselenggarakan secara tidak serentak dengan segala akibat hukumnya harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional.”

Sehingga, jika mencermati logika pertimbangan hukum MK tersebut, seharusnya tak perlu dikembangkan polemik atas keabsahan hasil Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden tahun 2009 dan 2014.

Koalisi yang entah secara terang-terangan ataupun ”malu-malu” dilakukan oleh beberapa kandidat capres menjelang pilpres, justru merupakan fenomena yang menegaskan bahwa tafsir konstitusi tak hanya terjadi secara normatif melalui produk legislasi, namun konstitusi sebagai sebuah dasar negara juga tak bisa menghindarkan diri dari tafsir politikkontekstual atas dirinya.

Justru di sinilah sebenarnya konstitusi menjadi sebuah hukum yang hidup (the living constitution) karena watak elastis dalam pola penafsiran terhadapnya. Dan, di sini pula yang sebenarnya menimbulkan polemik terhadap hadirnya dua nilai dalam pelaksanaan sebuah konstitusi, yaitu nilai autentik-semantik dan nilai kontekstual-praksis.

Dilemanya, jika nilai kontekstual- praksis justru terlalu dominan mewarnai implementasi pasal-pasal konstitusi, hal itu dapat mengebiri nilai autentiksemantik konstitusi, yang sejatinya justru telah terjadi praktik (in)konstitusional atas nama tafsir politik-kontekstual tersebut.

Namun, Mahkamah Konstitusi yang dinisbahkan sebagai satusatunya penafsir tunggal atas konstitusi (the sole interpreter of the constitution) telah cukup lama tersandera problem internal pascaterungkapnya korupsi politik yang melibatkan mantan ketua MK Akil Mochtar, yang mengakibatkannya gagal menjalankan ”penyelamatan” atas tafsir autentiksemantik terhadap konstitusi.

Dengan kegagalan peranan MK di saat yang menentukan dalam proses transisi demokrasi untuk menegaskan watak presidensial sistem pemerintahan di negeri ini, maka para elite partai politik dan para capres dipaksa untuk kembali melakukan pola koalisi agar bisa menembus syarat ambang batas pencalonan presiden vide UU No 42 Tahun 2008 tentang Pilpres.

Sejatinya, UU Pilpres tersebut juga hanya baru mengatur sepenggal bagian dari keharusan adanya pengaturan mengenai lembaga kepresidenan, karena hanya mengatur soal mekanisme pemilihannya.

Seharusnya, terdapat sebuah pengaturan yang komprehensif dalam upaya mewujudkan sistem presidensial melalui tafsir normatif melalui sebuah undang-undang terhadap institusi kepresidenan baik mengenai mekanisme pemilihannya; kewenangannya di bidang eksekutif, legislasi maupun penganggaran; pembagian wewenangnya dengan wapres; kedudukan sebagai kepala negara di samping sebagai kepala eksekutif; pemisahan jabatan presiden dengan jabatan di parpol, dan seterusnya.

Pada jabatan presiden melekat kewenangan yang istimewa karena kedudukannya sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus kepala negara.Apalagi, dalam sebuah negara yang konstitusinya menghendaki agar sistem pemerintahannya berkarakter presidensial, terdapat sederet kewenangan presiden yang perlu dijabarkan dalam sebuah UU Kepresidenan agar menegaskan karakter sistem presidensial tersebut.

Berkaca pada sistem pemerintahan yang dalam tafsir politik-kontekstual cenderung menunjukkan karakter hibrida, karena gerak tak beraturan antara corak presidensial dan parlementer dalam praksis politik ketatanegaraan selama ini, sangat sulit mengukur hasil kinerja presiden dan kabinetnya, tanpa menyertakan variabel karakter hibrida sistem pemerintahan yang terjadi akibat tafsir politik-kontekstual.

Presiden yang dipaksa untuk selalu ”bermanis muka” sejak membangun koalisi di awal masa pencalonan hingga saat harus mengeksekusi kebijakan pascaterpilih yang diharuskan berhadapan dengan watak semi-parlementarisme sistem legislatif, sulit diharapkan akan mampu merepresentasikan harapan pemilihnya.

Republik ini hanya bisa ”diselamatkan” dengan memastikan watak sistem pemerintahannya sesuai dengan amanat konstitusinya. Sebuah ”republik koalisi” bukanlah cita-cita pendiri negeri ini!

DR W RIAWAN TJANDRA, S.H., M.HUM
Pengajar Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0139 seconds (0.1#10.140)