Hukum untuk kebahagiaan

Kamis, 08 Mei 2014 - 06:58 WIB
Hukum untuk kebahagiaan
Hukum untuk kebahagiaan
A A A
SEORANG mahasiswa bertanya, apa ukuran keberhasilan sebuah negara hukum, khususnya Indonesia?

Pertanyaan muncul ketika dalam diskusi terkuak bahwa realitas empiris menunjukkan secara kuantitatif perundang-undangan senantiasa bertambah seiring dengan realisasi program legislasi nasional (prolegnas) maupun program legislasi daerah (prolegda), pada sisi lain secara kualitatif ditengarai banyak perundang-undangan semakin amburadul. Realitas itu terasa melukai hati rakyat, karena sedemikian banyak tenaga, waktu dan anggaran dihabiskan sebagai pemborosan.

Saya, selaku dosen, wajib menjawab pertanyaan berkualitas tinggi itu. Untuk tidak mengecewakan, namun juga tidak mendominasi pemikiran, perlu diberikan jawaban secara arif, bijak, mendasar, dan terbuka. Mahasiswa dipersilakan berbeda pemikiran, bahkan bertolak belakang pun sangat dimungkinkan. Kalaupun ada ramburambu, hanyalah terkait dengan konteks pembicaraan, yakni mengenai negara hukum Indonesia.

Artinya, keunikan Indonesia tidak boleh dikesampingkan, dan oleh karenanya kalau kemudian Indonesia berbeda dengan negara lain, hendaknya dipahami dalam bingkai keunikan itu. Saya katakan, ukuran keberhasilan negara hukum Indonesia adalah kebahagiaan bangsa. Kapan bangsa ini bahagia? Ketika mampu meraih tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Di sana dinyatakan, ”Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”

Secara implisit pokok pikiran tersebut menyiratkan pesan moral dan amanat bahwa bagi siapa pun pembuat hukum maupun kebijakan (decision makers) agar dalam proses pembuatannya senantiasa berkiblat ke arah tercapainya tujuan negara.

Keseluruhan perundangundangan wajib memperhatikan dan merengkuh dimensi kebangsaan, keutuhan seluruh wilayah tanah air, kesejahteraan umum, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, dan berkontribusi pada dunia internasional demi terjuwudnya ketertiban, terjaganya kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial.

Dengan demikian, mestinya bangunan kehidupan bernegara hukum yang secara fisik-organis beraneka ragam, perlu dipandang sebagai sistem komposit, yaitu terdiri atas komponen jiwa-raga, lahir-batin, material-spiritual, sosial-ekologi, nasional-internasional yang saling berkaitan dan bergantungan (Deutsch, 1977, Sudjito, 2014). Karenanya, dimensi keutuhan menjadi amat sentral dan penting diperhatikan. ”Keutuhan” menjadi kata kunci bagi terwujudnya kebahagiaan.

David Bohm, dalam Health and The Implicate Order, memberi pencerahan bahwa kata health (kesembuhan, kesehatan) berasal dari kata whole (lubang bulat atau keutuhan). Seseorang akan merasakan sembuh, sehat, dan bahagia bila berada dan bermakna dalam kehidupan yang utuh. Kehidupan utuh itu meliputi diri-pribadi, sebagai makhluk sosial, sebagai makhluk lingkungan, sebagai bangsa, sebagai warga dunia, bahkan sebagai khalifatullah di muka bumi.

Rumusan tujuan negara yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945 telah mencakup keutuhan kehidupan tersebut. Agar tujuan negara dapat dicapai dengan mudah, para founding fatherstelah memberi bekal bagi generasi penerus berupa: (1) Pancasila sebagai philosophische grondslag, dan (2) Pembukaan UUD 1945 sebagai staats fundamental norm (pokok- pokok kaidah negara yang fundamental).

Keduanya, mempunyai hakikat dan kedudukan tetap, kuat dan tidak berubah, melekat pada kelangsungan hidup bagi negara, dan dalam hierarki tertib hukum Indonesia berada pada kedudukan tertinggi dan menjadi sumber hukum bagi pasal-pasal di dalam UUD maupun peraturan perundangan lain di bawahnya.

Karenanya, agar bangsa ini bahagia, mestinya, substansi pasal- pasal dari UUD, ketetapan MPR, undang-undang dan berbagai macam peraturan perundangan lain, dibuat dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Persoalannya, apakah para legislator kita paham, amanah, dan profesional dalam menjabarkan Pancasila dan mengawal pencapaian tujuan negara ke dalam peraturan perundang- undangan?

Dalam pengamatan saya (Kompas, 10 Januari 2009), sejak awal kita memasuki era reformasi banyak produk perundang-undangan yang cacat ideologis. Padahal, dari awal reformasi, salah satu yang dideklarasikan adalah menciptakan produk hukum yang berdasarkan nilainilai luhur bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila. Kenyataannya, produk hukum kita tak lagi bersumber pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, namun sudah tercerabut dari akar-akarnya dan lebih mengarah ke ideologi asing.

Hampir semua produk perundangan lebih bersifat individualis dan kapitalis karena diproduksi oleh lembaga legislatif yang dihuni oleh anggota-anggota DPR yang tidak berkualitas. UU Kehutanan, misalnya, tak satu pun pasal yang memihak rakyat. Begitu pula UU Penanaman Modal Asing, UU Pertambangan, bahkan UU Parpol yang mengatur partai politik pun tak selaras dengan ideologi bangsa.

Kondisi semacam itu terjadi karena penyusunan perundang-undangan seringkali ditangani oleh orang yang tidak kompeten. Alhasil, banyak undang-undang tidak bisa menyelesaikan masalah, tetapi malah menimbulkan problem baru. Dengan kata lain, hukum dan negara hukum Indonesia belum berhasil membahagiakan bangsanya. Bernegara hukum hakikatnya perjuangan mewujudkan kebahagiaan bagi bangsa.

Di dalam perjuangan itu mestinya diiringi kejujuran, semangat rela berkorban demi bangsa, ada proses transformasi diri menuju peningkatan kapasitas intelektual, keluhuran moral, kedalaman spiritual, kecerdasan sosial, keberkahan profesional, dan perubahan sosial menuju bangsa yang bahagia. Melalui perjuangan bangsa ini bisa hidup bermartabat dan membangun peradaban yang bersendikan nilai-nilai Pancasila.

Setelah pemilihan umum, kita berharap, siapa pun yang terpilih sebagai anggota legislatif, bahkan presiden dan wakil presiden, dapat memfungsikan diri sebagai pembuka pintu kebahagiaan bagi bangsa.

Sungguh mulia bagi mereka yang tercipta sebagai pembuka pintu kebahagiaan, dan sebaliknya, sungguh celaka bagi mereka yang tercipta sebagai pembuka pintu kejahatan. Akankah harapan ini terkabul ataukah sirna ditelan embusan angin lalu? Wallahu a’lam.

PROF DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6256 seconds (0.1#10.140)