Pendidikan yang berpihak pada orang miskin

Kamis, 08 Mei 2014 - 06:45 WIB
Pendidikan yang berpihak...
Pendidikan yang berpihak pada orang miskin
A A A
PADA 2000 Indonesia bersama 189 negara anggota PBB ikut mengadopsi Deklarasi Millenium berikut tujuantujuan pembangunannya yang dikenal sebagai ”Millenium Development Goals” (MDGs).

Salah satu tujuan dari MDGs adalah ”mencapai pendidikan dasar untuk semua” dengan target ”memastikan pada 2015 semua anak dimanapun, laki-laki maupun perempuan, dapat menyelesaikan pendidikan dasar.” Berbeda dengan indikator MDGs global yang hanya menetapkan pendidikan dasar selama enam tahun, Indonesia menetapkan target yang lebih tinggi, yaitu sembilan tahun untuk pendidikan dasar.

Hal ini mungkin mengacu pada asumsi yang berlaku umum, bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan lebih mudah baginya untuk memperoleh atau bahkan menciptakan lapangan kerja. Meski demikian, aspek berikut ini perlu menjadi bahan pertimbangan.

Harus diakui bahwa secara umum pendidikan dasar sembilan tahun dengan kurikulum yang bersifat sangat umum tidak memadai untuk mencetak anak didik yang memiliki keterampilan agar berdaya saing cukup dalam pasar tenaga kerja. Padahal, selama ini kelompok miskin sangat sulit untuk menapaki jenjang hingga ke pendidikan tinggi agar memperoleh keterampilan yang dibutuhkan pasar tenaga kerja.

Kontekstual
Di Indonesia, kelompok miskinberada dimana-mana, baikdi perkotaan maupun perdesaan, termasuk kawasan terpencil. Bagi daerah perdesaan (terpencil), selain kurangnya sarana pendidikan, jarak yang jauh dan mahalnya transportasi ke sekolah menjadi penyebab utama banyaknya anak dari keluarga miskin yang putus sekolah. Provinsi Papua, sebagai contoh, memiliki angka putus sekolah dasar tertinggi di Indonesia, yaitu di atas 70 persen.

Bagi mayoritas penduduk asli Papua yang bertempat tinggal di kawasan yang sulit dijangkau, setidaknya terdapat empat faktor yang menjadi penyebab rendahnya tingkat partisipasi pendidikan (ILO, 2011). Pertama, rendahnya akses pendidikan yang bersifat fisik, yakni fasilitas untuk mencapai sekolah, dan secara non-fisik berupa diskriminasi.

Kedua, keterjangkauan yang meliputi biaya langsung (uang sekolah), biaya tidak langsung (perlengkapan sekolah) dan biaya kesempatan (opportunity cost) berkaitan dengan waktu anak yang, biasanya, harus membantu orang tua dalam mencari nafkah.

Ketiga, kualitas yang mencakup keterbatasan persiapan untuk memenuhi kebutuhan siswa dan pengiriman guru yang tidak mencukupi. Keempat, relevansi, yakni masalah integrasi mata pelajaran lokal yang tidak memadai dan bahasa pengantar monolingual, yaitu hanya menggunakan bahasa Indonesia.

Tahun lalu, dalam sebuah pertemuan eksploratif berjudul ”Papua Damai dalam NKRI” yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Jaringan Papua Damai (JPD), diusulkan terselenggaranya model pendidikan khusus berbasis budaya dan zona ekologi Tanah Papua. Konkretnya berupa sekolah kejuruan yang disesuaikan dengan zona kewilayahan, yaitu perkotaan, pesisir, pedalaman dan daerah terisolir.

Budaya penduduk asli Papua juga terkait erat dengan zona ekologi yang termanifestasikan dalam berbagai bentuk mata pencaharian. Untuk itu, diperlukan pengembangan kurikulum lokal dan sistem sekolah kejuruan yang disesuaikan dengan budaya dan zona ekologi tempat tinggal para murid.

Pola hidup penduduk asli Papua di daerah terpencil, yang mengacu pada mata pencahariannya, sering berpindah-pindah sambil mengikutsertakan anakanak sehingga mereka tidak bisa hadir di sekolah. Karena itu, perlu dikembangkan model pendidikan SD-SMP satu atap dan berasrama untuk mempercepat pemerataan akses dan mutu pendidikan bagi masyarakat Papua secara umum.

Memandirikan
Secara umum, dalam pendidikan di Indonesia, mayoritas siswa terlalu ”diarahkan” dan karena itu muridnya bercitacita menapaki jenjang pendidikan umum hingga ke universitas. Padahal, penduduk miskin dan kelompok menengah bawah yang merupakan mayoritas penduduk negeri ini umumnya sangat sulit untuk bisa menuntaskan pendidikan hingga perguruan tinggi.

Pada 2010 jumlah anak SD sampai SMA yang putus sekolah mencapai 1,08 juta. Angka itu melonjak lebih dari 30 persen dibanding tahun sebelumnya yang hanya 750.000 siswa. Tak hanya itu, masih ada 3,03 juta siswa yang tak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP, SMA, apalagi ke perguruan tinggi (BPS, 2011). Padahal, kalaupun bisa menamatkan jenjang SMP dan SMA, mereka dipastikan sama sekali tidak memiliki keterampilan untuk bersaing dalam pasar tenaga kerja.

Kita juga tak jarang mendengar cukup banyak sarjana yang bekerja serabutan atau berdagang di sektor informal, menjadi sopir taksi, atau mengambil pekerjaan apa saja agar tidak menganggur. Hal ini berbeda jauh dengan yang dilakukan oleh negara-negara kesejahteraan di Eropa. Di Skandinavia dan Jerman, misalnya, setamat SD siswa diberikan pilihan yang luas untuk melanjutkan pendidikan, baik yang bersifat umum maupun ke berbagai bidang kejuruan dengan kombinasi teori-praktik.

Umumnya, sekolah ke-juruan menggandeng perusahaan sebagai tempat praktek sesuai jenis keterampilan. Setelah menempuh pendidikan kejuruan setingkat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), seseorang relatif siap untuk bekerja atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, termasuk ke universitas. Dua contoh dari pedalaman Papua dan Eropa tersebut bisa menjadi masukan untuk menimbang kembali ”model” pendidikan di negeri ini.

Tanpa perubahan berarti, gelontoran 20% dana APBN untuk pendidikan nyaris hanya mendidik tenaga non-terampil. Lebih dari 70% angkatan tenaga kerja kita adalah keluaran SD dan SMP. Sisanya, 14,6% jebolan SMA, 7,8% SMK, serta diploma dan perguruan tinggi berkisar 7% (BPS, 2011). Tak mengherankan bahwa penyerapan tenaga kerja di Indonesia tergolong sangat rendah.

Saat ini 32% dari 2.381.841 jumlah lowongan kerja yang terdaftar ternyata tidak dapat terisi olehpara pencari kerja dipicu oleh rendahnya tingkat pendidikan serta tidak sesuainya keahlian dan keterampilan yang dimiliki pencari kerja dengan kualifikasi yang dibutuhkan perusahaan.

Pengalaman Eropa mengajarkan pendidikan yang relevan, khususnya untuk menaikkan daya saing kelompok sosial-ekonomi terbawah, adalah memberikan pilihan untuk bisa mandiri sejak tamat SLTP agar bisa bersaing dalam kancah persaingan memperoleh pekerjaan yang layak. Setamat sekolah kejuruan menengahpertama, selainterjun ke dunia pekerjaan, juga terbuka lebar jalan untuk menapaki pendidikan yang lebih tinggi hingga ke jenjang perguruan tinggi.

Negara dan perusahaan tempat kerja ikut memberikan kontribusi dalam pemberian beasiswa. Dari dalam negeri, contoh dari pedalaman Papua mengajarkan kita tentang perlunya pendidikan yang kontekstual serta serasi dengan ekosistem dan budaya masyarakatnya. Dengan demikian, selain keterampilan yang dibutuhkan, pendidikan juga akan mendekatkan anak didik pada ekosistem dan budaya sekitarnya.

Dengan demikian, pendidikan dasar menjadi sesuatu yang memandirikan anak didik, terutamabagi kelompokmiskin. Itulah pula yang mungkin dimaksudkan oleh Paulo Freire tentang pendidikan yang membebaskan.

Anak didik menjadi mandiri berkat keterampilan serta dekat dengan alam dan budayanya, bukan seperti yang dicemaskan dalam bukunya, Pedagogy of the Oppressed (1970), bahwa pendidikan membuat anak didik terasing (alienated) dari lingkungan dan budayanya sendiri serta tidak memiliki keterampilan khusus yang membuatnya mandiri.

IVAN HADAR
Direktur Institute for Democracy Education (IDE)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0888 seconds (0.1#10.140)