Tips agar penetapan suara tidak molor
A
A
A
Sindonews.com - Pengamat Politik Ray Rangkuti mengatakan, hingga hari ini (kemarin) Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru menyelesaikan 13 daerah.
Menurutnya, dengan dua hari yang tersisa, nampak jelas hal ini bisa berdampak pada penundaan waktu penetapan. Ada beberapa dampak akibat molornya penetapan rekap suara yakni, KPU dapat dipidana.
"Jadwal penetapan suara tidak dapat dipastikan. Kemudian, jadwal pilpres berantakan, dan pemilu jadi status quo," ujar Ray lewat pers rilis, Rabu 7 Mei 2014.
Agar penetapan tidak molor, kata dia, ada beberapa hal yang dapat dilakukan di antaranya, KPU berhenti menyatakan optimistis tepat waktu.
Sebab seperti menyepelekan masalah yang berujung lambannya antisipasi KPU membuat rencana darurat. "Sekarang KPU harus berpikir realistis untuk membuat rencana darurat," katanya.
Dia mengungkapkan, lobi partai untuk rapat pleno yang lebih efisien dan efektif. Salah satu caranya adalah, menyampingkan masalah adminstrasi atau kesalahan pencatatan untuk fokus kemungkinan adanya manipulasi.
"Segera tetapkan sekitar 13 provinsi yang sudah dibahas tapi urung ditetapkan karena masalah adminstrasi. Dengan begitu, dalam dua hari ini hanya membahas 7 sisa daerah yg belum dibacakan hasil rekapnya," ungkapnya.
Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) ini menambahkan, lobi partai dan Bawaslu agar membuat panel-panel sidang pembacaan rekapitulasi. Menurut dia, setidaknya dapat dibuat dua sidang panel.
Dalam satu sidang panel ini, tiga daerah dapat dibacakan rekapitulasinya. Hingga 9 Mei semuanya ditetapkan dalam rapat pleno paripurna. "Tentu saja di sini sifatnya pembacaan hasil untuk ditetapkan. Bersamaan dengan itu penetapan PT dan caleg terpilih," ucapnya.
Kemudian KPU harus memilih pimpinan sidang yang mampu mengendalikan forum. Untuk rapat segenting ini, dibutuhkan pemimpin sidang yang bisa mengarahkan, memperjelas, menyimpulkan dan membatasi sidang.
Diakuinya, semua komisioner bisa menjadi pemimpin sidang. Tapi tidak semua orang ahli dalam pemimpin sidang. Dengan cara ini, kata dia, pleno rekapitulasi masih bisa diselamatkan tanpa harus mengebiri hak sanggah saksi parpol dan Bawaslu.
Termasuk menurunkan kualitas pembacaan hasil rekap nasional. "KPU tak dapat disalahkan atas situasi ini. Sebaliknya mereka dapat diberi apresiasi karena membuka keran sanggahan yang luas dan bersikap sangat transparan. Cara-cara seperti ini justru harus dipertahankan," pungkasnya.
Menurutnya, dengan dua hari yang tersisa, nampak jelas hal ini bisa berdampak pada penundaan waktu penetapan. Ada beberapa dampak akibat molornya penetapan rekap suara yakni, KPU dapat dipidana.
"Jadwal penetapan suara tidak dapat dipastikan. Kemudian, jadwal pilpres berantakan, dan pemilu jadi status quo," ujar Ray lewat pers rilis, Rabu 7 Mei 2014.
Agar penetapan tidak molor, kata dia, ada beberapa hal yang dapat dilakukan di antaranya, KPU berhenti menyatakan optimistis tepat waktu.
Sebab seperti menyepelekan masalah yang berujung lambannya antisipasi KPU membuat rencana darurat. "Sekarang KPU harus berpikir realistis untuk membuat rencana darurat," katanya.
Dia mengungkapkan, lobi partai untuk rapat pleno yang lebih efisien dan efektif. Salah satu caranya adalah, menyampingkan masalah adminstrasi atau kesalahan pencatatan untuk fokus kemungkinan adanya manipulasi.
"Segera tetapkan sekitar 13 provinsi yang sudah dibahas tapi urung ditetapkan karena masalah adminstrasi. Dengan begitu, dalam dua hari ini hanya membahas 7 sisa daerah yg belum dibacakan hasil rekapnya," ungkapnya.
Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) ini menambahkan, lobi partai dan Bawaslu agar membuat panel-panel sidang pembacaan rekapitulasi. Menurut dia, setidaknya dapat dibuat dua sidang panel.
Dalam satu sidang panel ini, tiga daerah dapat dibacakan rekapitulasinya. Hingga 9 Mei semuanya ditetapkan dalam rapat pleno paripurna. "Tentu saja di sini sifatnya pembacaan hasil untuk ditetapkan. Bersamaan dengan itu penetapan PT dan caleg terpilih," ucapnya.
Kemudian KPU harus memilih pimpinan sidang yang mampu mengendalikan forum. Untuk rapat segenting ini, dibutuhkan pemimpin sidang yang bisa mengarahkan, memperjelas, menyimpulkan dan membatasi sidang.
Diakuinya, semua komisioner bisa menjadi pemimpin sidang. Tapi tidak semua orang ahli dalam pemimpin sidang. Dengan cara ini, kata dia, pleno rekapitulasi masih bisa diselamatkan tanpa harus mengebiri hak sanggah saksi parpol dan Bawaslu.
Termasuk menurunkan kualitas pembacaan hasil rekap nasional. "KPU tak dapat disalahkan atas situasi ini. Sebaliknya mereka dapat diberi apresiasi karena membuka keran sanggahan yang luas dan bersikap sangat transparan. Cara-cara seperti ini justru harus dipertahankan," pungkasnya.
(maf)