Cawapres common denominator

Selasa, 06 Mei 2014 - 06:38 WIB
Cawapres common denominator
Cawapres common denominator
A A A
KONSTELASI politik koalisi pilpres masih menunjukkan adanya skenario yang serba belum pasti. Terutama siapa yang akan muncul sebagai cawapres, Jokowi (PDIP) atau Prabowo Subianto (Gerindra), dua capres populer yang menghiasi media massa.

Partai-partai politik yang mengitari koalisi kedua belah pihak pun rupanya tidak mengajukan cawapres definitif, dalam arti siapa sosoknya. Kalaupun ada, kemungkinan sosok itu dinegasikan oleh partai lain yang turut berkoalisi cukup besar. Pemberitaan media massa kerap berbeda dengan realitasnya. Si A yang diberitakan tinggal tunggu waktu berpasangan dengan salah satu capres tertentu, ternyata didera ketidakpastian. Inilah yang membuat peluang nama-nama lain, seperti si B hingga si F masih tetap berpeluang.

Dari sini muncullah apa yang saya sebut cawapres common denominator, atau dalam matematika bilangan pembagi yang menyamakan, alias bisa diterima oleh semua segmen partai koalisi. Sosok ini bisa datang dari partai lain di luar peserta koalisi atau non partai. Tapi, prinsipnya, ia bisa diterima dan menjadi perekat semua peserta koalisi. Fenomena demikian berbeda dengan sebelumnya, baik ketika kontes pilpres 2004 maupun terutama 2009 yang lalu.

Yang terakhir itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai capres Partai Demokrat demikian kuat elektabilitasnya, sehingga rumor bahwa ia dipasangkan dengan sandal jepit pun bisa menang, segera dapat dipahami. Boediono sebagai orang diajak mendampingi SBY, adalah sosok yang tidak terlampau dipertimbangkan dari segi elektabilitas. Namun kini SBY tidak maju, dan persaingan tajam antarcapres tidak semata-mata karena kekuatan ekstra elektabilitas capres, tetapi juga oleh kelebihan cawapresnya.

Karena itu, rumus sandal jepit sebagaimana rumor di atas, tidak bisa diterapkan karenasangat berisiko. Cawapres harus magnetis, punyakontribusi menambah suara karena dapat diterima semua kelompok masyarakat dan punya basis-basis dukungan nyata. Kalau hanya sekadar mengandalkan popularitas atau elektabilitas capres saja, memang cukup berisiko bisa kalah, apalagi melihat kekuatan pasangan lawan berikut strategi politik elektoral yang dikembangkan.

Cawapres common denominator ialah yang memiliki derajat irisan representasi yang tepat, dan punya kecakapan politik yang bisa diterima segmensegmen masyarakat pemilih. Indonesia negara plural, tetapi variabel Jawa dan luar Jawa, keagamaan, usia, jenis kelamin, kemoderatan, hingga penerimaan pasar, tampaknya lazim menjadi bahan cermatan kajian-kajian strategis kepolitikan elektoral.

Tentu saja bukan isu SARA, manakala ada kajian soal potensi penerimaan di ranah agama atau etnisitas, misalnya. Karena, yang demikian hanya untuk mengukur potensi elektoral sang sosok.

Dimensi ikonografi
Cawapres common denominator juga perlu ditilik dari perspektif ikonografi politik, yakni referensi ikon-ikon ketokohan yang muncul dalam budaya populer masyarakat. Partai-partai koalisi akan menerima sosok dari luar diri mereka, apabila memang mere-ka memahami bahwa sosok yang dilekatkan pada capres itu pantas. Derajat kepantasannya sedikit banyak juga hadir dari sejauh mana masyarakat terbiasa dihadapkan pada deretan sosok baik atau jahat dalam wayang atau cerita-cerita rakyat.

Masyarakat sudah punya referensi ikonografi yang jelas, kalau seorang capres mereka identifikasi sebagai salah satu tokoh dalam Pandawa, maka cawapresnya jangan yang menyerupai tokoh di sisi Kurawa dan para raksasa jahat. Masyarakat juga akan melihat, siapa cawapres yang, dalam istilah Jawa ”nggege mongso” alias tidak mengindahkan etika politik atau terlampau menampakkan ambisi politiknya.

Di ranah orang banyak juga akan mencermati siapa saja sosok bakal cawapres yang bisa mengimbangi capresnya, bukan yang menyainginya. Karakter Kurawa ialah yang tidak empan papan, yang mau ambil semua dan meninggalkan capresnya. Maka sosok yang demikian perlu diwaspadai. Lagi, sosok cawapres juga mesti yang selesai dengan kepentingannya sendiri alias yang berdimensi negarawan. Ikonografi negarawan inilah yang perlu dicari dan diterapkan.

Jangka panjang
Tentu saja kebutuhan cawapres tidak sekadar ditentukan oleh variabel-variabel jangka pendek, tetapi yang jauh lebih penting adalah kepentingan stabilitas pemerintahan. Indonesia memang menganut sistem pemerintahan presidensial, tetapi disertai oleh sistem multipartai. Akibatnya, praktik- praktik parlementer sering pula mengemuka, terutama apabila pemerintah berurusan dengan parlemen.

Parlemen tidak bisa menjatuhkan presiden, tetapi pada praktiknya bisa cukup merepotkan dan memprakondisikan suatu mosi tidak percaya. Maka kalau yang terjadi adalah hubungan pemerintah dan parlemen yang buruk, jalannya pemerintahan pasti tidak akan menarik dan kurang efektif. Cawapres, karenanya bukan sekadar ban serep. Ia adalah sosok yang proaktif berfungsi sebagai administrator dan pemecah masalah yang andal, termasuk dalam mengelola hubungan pemerintah dengan parlemen sedemikian rupa.

Ini penting karena, nyaris semua capres kuat yang ada kini bertipe populis. Populisme kepemimpinan politik berisiko tekor pengelolaan pemerintahan yang stabil, terutama ditandai dengan baiknya hubungan parlemen dan pemerintah. Dari sinilah kriteria fungsi integrasi politik atau manajemen politik sosok cawapres penting. Pengalaman dan rekam jejak kepiawaian komunikasi politik menjadi penting untuk dilihat.

Sebab, kalau tidak, sosok yang kemampuan komunikasi politiknya diragukan, bisa menjadi bumerang instabilitas politik ke depannya. Tantangan Indonesia ke depan memang kompleks, maka variabel geostrategi tak boleh dilupakan, juga konteks internasional. Namun, siapa pun pasangan yang terpilih kelak, mereka akan dituntut untuk segera menyelaraskan dengan perkembangan.

Cawapres, dalam konteks ini, tentu yang berwawasan dan mampu merespons pula perkembangan regional dan internasional. Tetapi, tentu prioritas utama adalah stabilitas dan pembangunan dalam negeri, karena perkembangan domestik akan menentukan jenis-jenis respons terhadap perkembangan luar negeri.

Indonesia negara besar, maka tentu rakyat tidak akan terima manakala pemerintahnya menggadaikan negara ini ke pihak asing begitu saja.

M ALFAN ALFIAN

Dosen pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4030 seconds (0.1#10.140)