Budaya kontrak politik
A
A
A
PERKEMBANGAN politik setelah pemilu legislatif terasa begitu dinamis. Calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dari sejumlah partai politik terus bergerak untuk menjalin komunikasi dengan berbagai pihak.
Elite partai politik yang lain juga beradu lari melakukan safari politik untuk menjajaki kemungkinan membangun koalisi. Tidak ketinggalan, sejumlah elite organisasi massa (ormas) keagamaan juga melakukan serangkaian pertemuan untuk menyamakan persepsi jelang pemilihan presiden (pilpres) yang akan diselenggarakan 9 Juli mendatang.
Usaha elite partai untuk membangun kesepahaman politik itulah yang kemudian populer disebut kontrak politik. Budaya kontrak politik menjadi tren sejak pemilu langsung untuk memilih presiden dan wakil presiden, caleg, serta calon dalam pemilihan umum kepala daerah (pilkada).
Jika ditengok ke belakang, budaya kontrak politik dimulai sejak Pemilu 2004. Kontrak politik juga mewarnai dinamika politik lokal seiring proses pilkada mulai provinsi, juga pilkada kabupaten dan kota. Bukan hanya saat pilpres dan pilkada, kontrak politik juga dilakukan calon anggota legislatif (caleg) pada pemilu legislatif lalu.
Modusnya, sebagian caleg melakukan kontrak politik dengan para calon pemilihnya. Misalnya, ada caleg yang berani meneken kontrak politik dengan janji memberikan seluruh gaji yang akan diperoleh pada rakyat jika terpilih sebagai legislator.
Juga ada kontrak bercorak money politics dengan menjanjikan imbalan uang dalam jumlah tertentu sesuai dengan perolehan suara. Secara umum kontrak politik dapat didefinisikan sebagai perjanjian yang melibatkan para elite partai koalisi, capres dan cawapres dengan partai pengusung, caleg dengan pemilih, dan rakyat dengan pemimpinnya.
Sayangnya dalam kontrak politik yang dilakukan elite, posisi rakyat sering hanya sebagai pemandu sorak (cheer leaders) dan sasaran mobilisasi. Dalam posisi ini rakyat tetap mengalami marginalisasi baik secara sosial maupun ekonomi. Bahkan secara politik rakyat mengalami tuna kuasa (powerlessness).
Di era reformasi ini semua orang berpeluang menjadi pelaku kontrak politik. Termasuk kalangan elite agama (kiai) dan tokoh ormas keagamaan yang pada masa sebelumnya hanya berjuang di ranah kultural. Apalagi saat ini banyak elite agama dan ormas keagamaan yang menjadi pejabat publik di lembaga eksekutif dan legislatif.
Kondisi ini tentu sangat memungkinkan mereka menjadi pemain dalam budaya kontrak politik. Sebagian elite agama dan ormas keagamaan bahkan telah sedemikian jauh bermain dalam ranah politik praktis.
Realitas inilah yang kemudian menyebabkan munculnya suarasuara sumbang pada hampir setiap ada kontrak politik. Dalam pandangan sebagian orang, kontrak politik sering dianggap permainan di tingkat elite. Itu berarti hanya kelompok elite yang diuntungkan dari budaya kontrak politik. Dalam tradisi Islam, kontrak politik dapat disamakan dengan konsep baiat (al-bay’ah). Konsep ini dimaknai dalam konteks pembentukan sebuah negara. Negara dibentuk berdasarkan keinginan berbagai kelompok masyarakat.
Tujuannya membangun tatanan masyarakat yang tunduk dan patuh pada pimpinan. Untuk menjaga komitmen maka dibuatlah kontrak sosial (al-‘aqd al-ijtima‘iy) yang terjadi antara pemimpin dan rakyat dalam bentuk baiat.
Ibn Khaldun, sosiolog dan sejarawan muslim kenamaan, dalam karya monumentalnya The Muqaddimah an Introduction to History (1998) menyatakan bahwa bai’at adalah perjanjian atas dasar ikatan kesetiaan rakyat dengan pemimpinnya. Melalui mekanisme bai’at inilah pemimpin terpilih dilantik dan disumpah di hadapan rakyat.
Hampir sama dengan tradisi Islam, di Barat juga mengenal konsep kontrak sosial (social contract) seperti dikemukakan Jean Jacques Rousseau. Teori kontrak sosial Rousseau menekankan pentingnya perjanjian antarunsur masyarakat sehingga terwujud kebaikan bersama (public good).
Perbincangan mengenai kontrak politik berikut implikasinya dapat dijelaskan dengan meminjam kerangka pikir Peter Blau (1964) mengenai teori pertukaran sosial (social exchange theory). Berdasarkan teori ini, dapat dipahami bahwa hubungan pertukaran sosial antara seseorang dengan orang lain terjadi karena adanya imbalan.
Karena itu dapat dipahami jika dalam setiap pertukaran sosial terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost), dan keuntungan (profit). Proses pertukaran sosial politik dimungkinkan karena ada pihak yang membutuhkan pertolongan dan pihak yang memberikan pertolongan. Di sinilah aspek kepentingan akan tampak menonjol. Maka, tidak mengherankan jika dalam budaya kontrak politik pembicaraan mengenai who gets what, how, and when (siapa mendapatkan apa, bagaimana, dan kapan) menjadi perhatian utama.
Karena itu, publik sering mendengar ungkapan yang menyertai kontrak politik seperti politik dagang sapi, ongkos politik, dan bahkan ”mahar” politik. Jadi tidak ada yang gratis dalam budaya kontrak politik yang melibatkan elite partai.
Dengan penjelasan tersebut berarti upaya elite partai untuk membangun budaya kontrak politik harus dipahami dalam konteks teori pertukaran. Tetapi, kita tentu tidak boleh berburuk sangka terlebih dulu. Jika benar dalam kontrak politik terdapat kalkulasi sosial, ekonomi, dan politik, maka itu harus dipahami dalam konteks yang lebih proporsional.
Itu karena setiap kontrak politik meniscayakan adanya ongkos politik. Tentu saja akan lebih elegan jika tujuan kontrak politik adalah untuk memberikan jaminan terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clean and good governance), kepastian hukum (law enforcement), dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Itu berarti orientasi kontrak politik seharusnya untuk kepentingan bangsa dan negara. Persoalannya kini berpulang pada komitmen elite partai dan tokoh agama yang sedang melakukan kontrak politik.
Adakah dalam kontrak politik itu dilandasi kepentingan pragmatis jangka pendek? Atau sebaliknya, motivasi melakukan kontrak politik adalah kepentingan jangka panjang dalam rangka membangun bangsa dan negara menjadi lebih sejahtera, terhormat, dan bermartabat.
Publik tentu akan terus mengikuti arah koalisi partai-partai politik yang kini sedang berproses. Untuk itu, kalangan elite harus diingatkan agar komitmen jangka panjang yang lebih diutamakan dalam budaya kontrak politik. Lebih dari itu, budaya kontrak politik juga harus dilakukan secara transparan, jujur, dan tanggung jawab.
BIYANTO
Dosen UIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
Elite partai politik yang lain juga beradu lari melakukan safari politik untuk menjajaki kemungkinan membangun koalisi. Tidak ketinggalan, sejumlah elite organisasi massa (ormas) keagamaan juga melakukan serangkaian pertemuan untuk menyamakan persepsi jelang pemilihan presiden (pilpres) yang akan diselenggarakan 9 Juli mendatang.
Usaha elite partai untuk membangun kesepahaman politik itulah yang kemudian populer disebut kontrak politik. Budaya kontrak politik menjadi tren sejak pemilu langsung untuk memilih presiden dan wakil presiden, caleg, serta calon dalam pemilihan umum kepala daerah (pilkada).
Jika ditengok ke belakang, budaya kontrak politik dimulai sejak Pemilu 2004. Kontrak politik juga mewarnai dinamika politik lokal seiring proses pilkada mulai provinsi, juga pilkada kabupaten dan kota. Bukan hanya saat pilpres dan pilkada, kontrak politik juga dilakukan calon anggota legislatif (caleg) pada pemilu legislatif lalu.
Modusnya, sebagian caleg melakukan kontrak politik dengan para calon pemilihnya. Misalnya, ada caleg yang berani meneken kontrak politik dengan janji memberikan seluruh gaji yang akan diperoleh pada rakyat jika terpilih sebagai legislator.
Juga ada kontrak bercorak money politics dengan menjanjikan imbalan uang dalam jumlah tertentu sesuai dengan perolehan suara. Secara umum kontrak politik dapat didefinisikan sebagai perjanjian yang melibatkan para elite partai koalisi, capres dan cawapres dengan partai pengusung, caleg dengan pemilih, dan rakyat dengan pemimpinnya.
Sayangnya dalam kontrak politik yang dilakukan elite, posisi rakyat sering hanya sebagai pemandu sorak (cheer leaders) dan sasaran mobilisasi. Dalam posisi ini rakyat tetap mengalami marginalisasi baik secara sosial maupun ekonomi. Bahkan secara politik rakyat mengalami tuna kuasa (powerlessness).
Di era reformasi ini semua orang berpeluang menjadi pelaku kontrak politik. Termasuk kalangan elite agama (kiai) dan tokoh ormas keagamaan yang pada masa sebelumnya hanya berjuang di ranah kultural. Apalagi saat ini banyak elite agama dan ormas keagamaan yang menjadi pejabat publik di lembaga eksekutif dan legislatif.
Kondisi ini tentu sangat memungkinkan mereka menjadi pemain dalam budaya kontrak politik. Sebagian elite agama dan ormas keagamaan bahkan telah sedemikian jauh bermain dalam ranah politik praktis.
Realitas inilah yang kemudian menyebabkan munculnya suarasuara sumbang pada hampir setiap ada kontrak politik. Dalam pandangan sebagian orang, kontrak politik sering dianggap permainan di tingkat elite. Itu berarti hanya kelompok elite yang diuntungkan dari budaya kontrak politik. Dalam tradisi Islam, kontrak politik dapat disamakan dengan konsep baiat (al-bay’ah). Konsep ini dimaknai dalam konteks pembentukan sebuah negara. Negara dibentuk berdasarkan keinginan berbagai kelompok masyarakat.
Tujuannya membangun tatanan masyarakat yang tunduk dan patuh pada pimpinan. Untuk menjaga komitmen maka dibuatlah kontrak sosial (al-‘aqd al-ijtima‘iy) yang terjadi antara pemimpin dan rakyat dalam bentuk baiat.
Ibn Khaldun, sosiolog dan sejarawan muslim kenamaan, dalam karya monumentalnya The Muqaddimah an Introduction to History (1998) menyatakan bahwa bai’at adalah perjanjian atas dasar ikatan kesetiaan rakyat dengan pemimpinnya. Melalui mekanisme bai’at inilah pemimpin terpilih dilantik dan disumpah di hadapan rakyat.
Hampir sama dengan tradisi Islam, di Barat juga mengenal konsep kontrak sosial (social contract) seperti dikemukakan Jean Jacques Rousseau. Teori kontrak sosial Rousseau menekankan pentingnya perjanjian antarunsur masyarakat sehingga terwujud kebaikan bersama (public good).
Perbincangan mengenai kontrak politik berikut implikasinya dapat dijelaskan dengan meminjam kerangka pikir Peter Blau (1964) mengenai teori pertukaran sosial (social exchange theory). Berdasarkan teori ini, dapat dipahami bahwa hubungan pertukaran sosial antara seseorang dengan orang lain terjadi karena adanya imbalan.
Karena itu dapat dipahami jika dalam setiap pertukaran sosial terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost), dan keuntungan (profit). Proses pertukaran sosial politik dimungkinkan karena ada pihak yang membutuhkan pertolongan dan pihak yang memberikan pertolongan. Di sinilah aspek kepentingan akan tampak menonjol. Maka, tidak mengherankan jika dalam budaya kontrak politik pembicaraan mengenai who gets what, how, and when (siapa mendapatkan apa, bagaimana, dan kapan) menjadi perhatian utama.
Karena itu, publik sering mendengar ungkapan yang menyertai kontrak politik seperti politik dagang sapi, ongkos politik, dan bahkan ”mahar” politik. Jadi tidak ada yang gratis dalam budaya kontrak politik yang melibatkan elite partai.
Dengan penjelasan tersebut berarti upaya elite partai untuk membangun budaya kontrak politik harus dipahami dalam konteks teori pertukaran. Tetapi, kita tentu tidak boleh berburuk sangka terlebih dulu. Jika benar dalam kontrak politik terdapat kalkulasi sosial, ekonomi, dan politik, maka itu harus dipahami dalam konteks yang lebih proporsional.
Itu karena setiap kontrak politik meniscayakan adanya ongkos politik. Tentu saja akan lebih elegan jika tujuan kontrak politik adalah untuk memberikan jaminan terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clean and good governance), kepastian hukum (law enforcement), dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Itu berarti orientasi kontrak politik seharusnya untuk kepentingan bangsa dan negara. Persoalannya kini berpulang pada komitmen elite partai dan tokoh agama yang sedang melakukan kontrak politik.
Adakah dalam kontrak politik itu dilandasi kepentingan pragmatis jangka pendek? Atau sebaliknya, motivasi melakukan kontrak politik adalah kepentingan jangka panjang dalam rangka membangun bangsa dan negara menjadi lebih sejahtera, terhormat, dan bermartabat.
Publik tentu akan terus mengikuti arah koalisi partai-partai politik yang kini sedang berproses. Untuk itu, kalangan elite harus diingatkan agar komitmen jangka panjang yang lebih diutamakan dalam budaya kontrak politik. Lebih dari itu, budaya kontrak politik juga harus dilakukan secara transparan, jujur, dan tanggung jawab.
BIYANTO
Dosen UIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
(nfl)