Ekonomi global dan posisi Indonesia

Jum'at, 02 Mei 2014 - 15:28 WIB
Ekonomi global dan posisi Indonesia
Ekonomi global dan posisi Indonesia
A A A
SEJAK dekade 1980-an interaksi ekonomi antarnegara makin pekat, khususnya pada saat liberalisasi menjadi bahasa pergaulan ekonomi internasional.

Indeks keterbukaan tiap negara makin besar, yang menunjukkan kesediaan negara tersebut untuk bekerja sama dalam kegiatan ekonomi secara lebih intensif. Pola ini juga diikuti Indonesia dengan derajat keterbukaan yang lumayan besar, bahkan dianggap yang paling terbuka pada level Asia. Sektor keuangan (perbankan) Indonesia sudah terbuka sejak dekade 1980-an ketika bank asing diberi kelonggaran untuk melakukan aktivitas di sini.

Setelah itu, investasi juga dibuka mulai awal 1990-an yang dilanjutkan secara formal dengan dikeluarkannya UU No 25/2007. Liberalisasi perdagangan juga kian masif pascakrisis ekonomi 1997/1998 di mana dengan panduan IMF Indonesia mulai mengurangi tingkat tarif perdagangan sehingga secara umum arus ekspor-impor menjadi lebih leluasa bergerak.

Posisi Indonesia
Secara ekonomi tidak bisa dimungkiri Indonesia telah berada dalam radar perekonomian global dalam banyak aspek. Ukuran ekonomi Indonesia termasuk yang paling besar di dunia, sekarang menempati peringkat ke-16 (dari PDB) sehingga masuk G-20. Pada forum G- 20 ini Indonesia menjadi satu-satunya wakil ASEAN.

Tentu saja ini posisi yang menguntungkan karena Indonesia dapat melakukan pertemuan reguler dengan negara-negara maju lain seperti AS, Jerman, Inggris, Jepang, Korsel, China, India, Brasil. PDB Indonesia pada 2012 dalam forum G-20 di atas Turki, Belanda, Arab Saudi, dan Swiss. Kontribusi PDB Indonesia terhadap total PDB G-20 sekitar 1,5 persen. Secara umum, kontributor PDB terpenting dari G-20 ini adalah AS, China, dan Jepang.

Peran sumbangan PDB Indonesia ini tergolong kecil karena dari sisi jumlah penduduk Indonesia mendonorkan hampir 5 persen dari total jumlah penduduk G-20. Jika dibuat paralel, Indonesia sekurangnya harus menyumbangkan 5 persen dari total PDB G-20 (WEF, 2013). Dalam hal stabilitas makroekonomi, Indonesia juga memiliki prestasi yang lebih bagus dari sebagian besar anggota G-20.

Defisit fiskal terjaga tidak lebih dari 3 persen PDB, demikian pula rasio utang hanya 25 persen dari PDB, jauh lebih rendah dari konsensus maksimal 60 persen. Jika dibandingkan dengan AS dan beberapa negara Eropa, defisit fiskal dan rasio utang Indonesia jauh lebih sehat. Tentu saja hal ini tidak lantas menjamin bahwa Indonesia semuanya aman karena dalam beberapa hal ada variabel lain yang mesti diwaspadai. Pada 2012 Indonesia untuk pertama kali mengalami defisit primer, yakni pendapatan lebih kecil ketimbang belanja di luar pembayaran utang.

Demikian pula untuk variabel DSR (debt service ratio) mengalami peningkatan di mana pada akhir 2013 lalu sempat di atas 42 persen. Padahal idealnya DSR ini di bawah 30 persen. Peningkatan DSR ini lebih banyak disebabkan turunnya ekspor sehingga membuat angka pembilang menjadi mengecil. Kinerja makroekonomi lainnya juga cukup bagus. Investasi, misalnya, saat ini rasionya sudah berada di kisaran 32 persen terhadap PDB. Ini merupakan angka tertinggi dibandingkan Indonesia sebelum diguncang krisis ekonomi 1997/1998 lalu.

Pada 1996, rasio investasi terhadap PDB hanya pada level 28 persen. Dengan demikian, selama 10 tahun terakhir ini telah ada peningkatan investasi yang lumayan besar meskipun masih jauh ketimbang yang dicapai anggota G-20 lainnya (bahkan juga dengan negara tetangga di ASEAN). Pengangguran juga mengalami penurunan, di Indonesia sekarang pengangguran sekitar 6,2 persen.

Ini lebih rendah ketimbang Afrika Selatan, Italia, Prancis, Turki, India, Kanada, Inggris, AS, dan Argentina (CIA the book dan BPS, 2014). Sungguhpun begitu, inflasi Indonesia tergolong tinggi dibandingkan dengan anggota G-20 lainnya. Inflasi Indonesia cukup tinggi bersanding dengan Argentina, India, dan Turki (OECD, 2014).

Agenda domestik
Dengan situasi tersebut, memang Indonesia selayaknya percaya diri untuk bermain dalam konstelasi ekonomi global. Di masa depan sekurangnya dua peta akan terjadi dalam konstelasi ekonomi dunia. Pertama, poros di luar AS dan Eropa akan makin besar peranannya. China, Brasil, India, dan India bakal merangsek peranannya karena ditopang jumlah penduduk yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Di luar itu masih ada pelapis lain seperti Korsel, Afrika Selatan, Meksiko. Dengan begitu, porsi AS dan Eropa akan makin tergerus dalam ekonomi global.

Kedua, kesepakatan liberalisasi baik dalam kerangka WTO maupun blok-blok perdagangan kian mendapatkan tantangan yang keras akibat implikasi ekonomi yang tidak setara antara negara maju dan berkembang. Renegosiasi sangat mungkin terjadi, bahkan dimungkinkan terjadi pembentukan blok ekonomi baru yang lebih mencerminkan kepentingan negara berkembang.

Dengan gambaran tersebut, Indonesia harus mereposisi perannya secara lebih cerdas. Indonesia perlu memperkuat kerja sama ekonomi dengan negara berkembang yang sedang menjadi poros ekonomi baru seperti China, Korsel, India, Brasil, Afrika Selatan, dan sebagainya. Kerja sama ekonomi di antara negara-negara tersebut bukan semata untuk meningkatkan kapasitas ekonomi, tetapi juga terkait dengan perumusan poin yang lebih strategis dalam memainkan peran dalam pentas ekonomi global.

Berikutnya, Indonesia harus menjadi juru bicara yang fasih untuk membela kepentingan negara yang dirugikan dalam kesepakatan ekonomi global. Indonesia dan negara-negara poros baru ekonomi dituntut tidak mementingkan diri sendiri, tapi berbagi kepedulian dengan negara yang hancur akibat keterbukaan ekonomi.

Pada dekade 1950-an Indonesia pernah memerankan dengan sangat baik posisi tersebut sehingga secara empiris pernah ada sejarah keberhasilan itu. Sungguhpun begitu, tidak mudah memainkan posisi yang strategis itu, perlu memastikan bahwa agenda (ekonomi) domestik terselesaikan terlebih dulu.

Struktur ekonomi nasional masih rapuh, antara lain ditunjukkan oleh ekspor yang ditopang komoditas primer, peran usaha kecil dan menengah tidak optimal, produktivitas tenaga kerja rendah, sumbangan sektor industri makin turun, kesinambungan fiskal belum sepenuhnya meyakinkan, sektor perbankan belum terkait dengan sektor riil secara baik, kebijakan moneter cenderung melemahkan daya dorong perekonomian. Itu semua adalah agenda ekonomi aktual yang relevan untuk diselesaikan secara cepat.

Apabila sebagian besar agenda itu dapat diselesaikan dalam jangka pendek, cukup mudah bagi Indonesia memainkan peran sentral dalam kancah ekonomi dunia. Selebihnya, visi pemimpin mendatang harus paralel dengan situasi ini agar tidak terkurung dalam pikiran yang sempit.

AHMAD ERANI YUSTIKA
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Direktur Eksekutif Indef
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3579 seconds (0.1#10.140)