Gaya koboi wagub Ahok
A
A
A
SAAT ini tak ada pejabat yang lebih unik ketimbang Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, wakil gubernur (wagub) DKI Jakarta. Ia satu dari sedikit warga etnis Tionghoa yang ikhlas berkiprah di ranah politik dan punya karier gemilang.
Namun, belakangan, gaya komunikasi sang wagub tak ubahnya koboi yang haus sasaran tembak. Tengok saja pernyataannya kala ditanya seputar rencananya jika menjadi Gubernur DKI—sekiranya Gubernur Joko Widodo yang maju menjadi calon presiden lantas terpilih sebagai RI-1. Menurut Ahok, wakil gubernurnya harus cocok dengan dirinya. “Kalau macam-macam, kita ‘Prijanto’- kan,” ujarnya diiringi gelak.
Prijanto adalah mantan wakil gubernur DKI di masa Gubernur Fauzi Bowo, yang nyaris diparkir oleh atasannya, tak diberi tugas apa pun. Ahok memberi label “di-Prijantokan” tanpa memikirkan bahwa seorang Prijanto akan terluka hatinya. Prijanto adalah orang baik, prajurit tanpa cela, tak pantas diperlakukan demikian. Ahok lantas memang meminta maaf. Tapi luka sudah berdarah. Dan itu pun bukan satu-satunya luka yang ia buat.
Ahok juga pernah melukai perasaan para guru honorer yang mengadu soal dugaan kecurangan dalam penerimaan PNS. Alih-alih menanggapi baik laporan para guru itu, Ahok malah memaki habis-habisan sehingga salah satu perempuan guru yang mengadu ketakutan, menangis, lalu pingsan.
Sementara Ahok berlalu kembali ke ruang kerjanya. Sewaktu menyikapi rencana pembangunan monorel, Ahok bersikap oposan. Ia abai dengan fakta bahwa program didasari perjanjian kerja sama (PKS) yang melibatkan Pemprov DKI dan sudah berumur 10 tahun.
Di bawah komando Jokowi, PKS disempurnakan sehingga sangat pro terhadap publik dan menguntungkan Pemprov. Alih-alih memberi kontribusi positif, Ahok malah menyebar spekulasi bahwa monorel akan mangkrak dan ia akan bertindak pada waktunya. “Liat aja, tunggu gue jadi gubernur,” katanya. Ahok seharusnya fokus menjadi seorang wakil yang mendukung atasannya. Jokowi belum tentu akan meninggalkan Balai Kota.
Ahok tidak boleh mengeluarkan kebijakan sendiri, terutama yang bertentangan dengan gubernur. Ia tak pantas melangkahi batas sebagai seorang wagub. Ashadi Siregar (2005) menegaskan, bagaimanapun, kapabilitas pejabat publik ketika berkomunikasi penting diperhatikan. Ada dimensi etis yang lekat dalam komunikasi pejabat tinggi. Dan setiap komunikasi sebenarnya dilatari personality yang bersifat khas yang menentukan cara dan manners yang ditampilkan—sekaligus diksi, mimik, dan gestur yang terlihat khalayak.
Ahok jangan memilih menjadi komunikator low context. Tapi tinimbang mendukung kebijakan gubernur, ia malah arogan menantangnya melalui media. Seolah-olah, ingin mengatakan siap menjadi gubernur. Pernah pula Ahok mengaku tahu Michael Bimo Putranto, yang diduga terlibat kasus pengadaan bus Transjakarta. Ia bilang, Michael Bimo kerap memanfaatkan kedekatannya dengan Gubernur Jokowi.
Eeh, begitu disatroni Michael Bimo di kantornya, Ahok mengaku tak kenal, berkelit, dan menyatakan pelbagai tuduhan yang ia lontarkan hanya didasarkan berita media massa. Begitu juga ketika ngomel-ngomel kepada DPRD DKI soal pengadaan 200 truk sampah. Kata Ahok, DPRD menolak usulan itu. Ia tuduh DPRD menghambat kerja pemprov. Belakangan Ahok mengakui pemprov tidak memasukkan usulan pengadaan truk sampah dalam APBD 2014.
Menyebut kata “di-Prijantokan”, membuat pingsan seorang guru perempuan, salah tuduh kepada DPRD, mestinya cukup membuat Ahok mawas diri. Tapi ia malah asyik marah-marah. Ahok memaki para pejabat di hadapan pengusaha dan media. Ia murka mengetahui sejumlah perusahaan yang menyumbang bis ke pemprov DKI masih dipunguti pajak reklame. “...pegawai DKI gendeng.. Orang mau sumbang bus dikenakan pajak! Ini pejabat maunya apa?!”
Menurut Ahok, papan reklame pada badan bus sumbangan tidak perlu dipajaki. Ia tak mau tahu bahwa aturan soal itu masih belum jelas sehingga birokrasi di bawahnya tak mau gegabah. Toh, untuk saat ini, bagaimana mungkin pengusaha yang beriklan dan melakukan advertising bisa dibebaskan dari pajak dengan embel-embel menyumbang? Ia lalu menantang siapa pun boleh membunuhnya jika tak suka dengan sikapnya yang tak mau mempersulit penyumbang bus.
Masukan bawahan ia nafikan dan malah mencoret-coret memo resmi sekda, lalu mempertontonkannya ke publik. Sayangnya, Ahok tidak konsisten ketika ia malah menyulitkan investasi di sektor publik yang tak menggunakan seperak pun dana pemda, seperti monorel.
Alhasil, inkonsistensi dan sikap low context Ahok pun menimbulkan pertanyaan. McQuail & Windahl (1993) menyatakan, setiap pesan mempunyai kecenderungan untuk menggerakkan efek bagi khalayak. Lalu, efek semacam apa yang diharapkan Ahok ketika terus bikin kisruh di pemprov DKI? Untuk apa Ahok memberi kesan bahwa dirinya patut diperhitungkan ketika Gubernur Jokowi maju sebagai calon presiden dalam pemilu yang bakal menjelang?
Adakah kepentingan lain di balik Ahok? Mengapa Ahok tidak berpikiran bahwa ia akan menjadi wakil Jokowi hingga 2017 mendatang? Ditanya begitu, mungkin Ahok akan marah-marah lagi. Saya tak akan kaget. Saya juga kerap marah. Tapi saya punya privilese: saya bukan pejabat tinggi. Dan marah-marah memang bukannya tak boleh. Masalahnya, setelah marahmarah dan main ancam apa yang kemudian terjadi? Apakah ancaman-ancaman itu dilaksanakan?
Apakah marah-marahnya Ahok kini masih menakutkan atau sekadar menjengkelkan? Ahok harus paham bahwa komunikasi adalah produksi dan pertukaran makna (Fiske, 1990). Produk komunikasi bukanlah sekadar refleksi, melainkan representasi. Jadi, gaya komunikasi low context Ahok sejatinya merepresentasikan kepentingannya yang telanjang. Plus bisa dianggap merepresentasikan gaya berpolitik kaum Tionghoa.
Ahok harus sadar, jangan sampai ia memberi cap buruk bagi kaum Tionghoa dalam berpolitik. Wagub Ahok harus lebih bijak. ”Ojo kagetan, Ojo gumunan, Ojo dumeh”. Sayang, ia punya potensi dan idealisme bagus.
AGUNG SUPRIO
Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia
Namun, belakangan, gaya komunikasi sang wagub tak ubahnya koboi yang haus sasaran tembak. Tengok saja pernyataannya kala ditanya seputar rencananya jika menjadi Gubernur DKI—sekiranya Gubernur Joko Widodo yang maju menjadi calon presiden lantas terpilih sebagai RI-1. Menurut Ahok, wakil gubernurnya harus cocok dengan dirinya. “Kalau macam-macam, kita ‘Prijanto’- kan,” ujarnya diiringi gelak.
Prijanto adalah mantan wakil gubernur DKI di masa Gubernur Fauzi Bowo, yang nyaris diparkir oleh atasannya, tak diberi tugas apa pun. Ahok memberi label “di-Prijantokan” tanpa memikirkan bahwa seorang Prijanto akan terluka hatinya. Prijanto adalah orang baik, prajurit tanpa cela, tak pantas diperlakukan demikian. Ahok lantas memang meminta maaf. Tapi luka sudah berdarah. Dan itu pun bukan satu-satunya luka yang ia buat.
Ahok juga pernah melukai perasaan para guru honorer yang mengadu soal dugaan kecurangan dalam penerimaan PNS. Alih-alih menanggapi baik laporan para guru itu, Ahok malah memaki habis-habisan sehingga salah satu perempuan guru yang mengadu ketakutan, menangis, lalu pingsan.
Sementara Ahok berlalu kembali ke ruang kerjanya. Sewaktu menyikapi rencana pembangunan monorel, Ahok bersikap oposan. Ia abai dengan fakta bahwa program didasari perjanjian kerja sama (PKS) yang melibatkan Pemprov DKI dan sudah berumur 10 tahun.
Di bawah komando Jokowi, PKS disempurnakan sehingga sangat pro terhadap publik dan menguntungkan Pemprov. Alih-alih memberi kontribusi positif, Ahok malah menyebar spekulasi bahwa monorel akan mangkrak dan ia akan bertindak pada waktunya. “Liat aja, tunggu gue jadi gubernur,” katanya. Ahok seharusnya fokus menjadi seorang wakil yang mendukung atasannya. Jokowi belum tentu akan meninggalkan Balai Kota.
Ahok tidak boleh mengeluarkan kebijakan sendiri, terutama yang bertentangan dengan gubernur. Ia tak pantas melangkahi batas sebagai seorang wagub. Ashadi Siregar (2005) menegaskan, bagaimanapun, kapabilitas pejabat publik ketika berkomunikasi penting diperhatikan. Ada dimensi etis yang lekat dalam komunikasi pejabat tinggi. Dan setiap komunikasi sebenarnya dilatari personality yang bersifat khas yang menentukan cara dan manners yang ditampilkan—sekaligus diksi, mimik, dan gestur yang terlihat khalayak.
Ahok jangan memilih menjadi komunikator low context. Tapi tinimbang mendukung kebijakan gubernur, ia malah arogan menantangnya melalui media. Seolah-olah, ingin mengatakan siap menjadi gubernur. Pernah pula Ahok mengaku tahu Michael Bimo Putranto, yang diduga terlibat kasus pengadaan bus Transjakarta. Ia bilang, Michael Bimo kerap memanfaatkan kedekatannya dengan Gubernur Jokowi.
Eeh, begitu disatroni Michael Bimo di kantornya, Ahok mengaku tak kenal, berkelit, dan menyatakan pelbagai tuduhan yang ia lontarkan hanya didasarkan berita media massa. Begitu juga ketika ngomel-ngomel kepada DPRD DKI soal pengadaan 200 truk sampah. Kata Ahok, DPRD menolak usulan itu. Ia tuduh DPRD menghambat kerja pemprov. Belakangan Ahok mengakui pemprov tidak memasukkan usulan pengadaan truk sampah dalam APBD 2014.
Menyebut kata “di-Prijantokan”, membuat pingsan seorang guru perempuan, salah tuduh kepada DPRD, mestinya cukup membuat Ahok mawas diri. Tapi ia malah asyik marah-marah. Ahok memaki para pejabat di hadapan pengusaha dan media. Ia murka mengetahui sejumlah perusahaan yang menyumbang bis ke pemprov DKI masih dipunguti pajak reklame. “...pegawai DKI gendeng.. Orang mau sumbang bus dikenakan pajak! Ini pejabat maunya apa?!”
Menurut Ahok, papan reklame pada badan bus sumbangan tidak perlu dipajaki. Ia tak mau tahu bahwa aturan soal itu masih belum jelas sehingga birokrasi di bawahnya tak mau gegabah. Toh, untuk saat ini, bagaimana mungkin pengusaha yang beriklan dan melakukan advertising bisa dibebaskan dari pajak dengan embel-embel menyumbang? Ia lalu menantang siapa pun boleh membunuhnya jika tak suka dengan sikapnya yang tak mau mempersulit penyumbang bus.
Masukan bawahan ia nafikan dan malah mencoret-coret memo resmi sekda, lalu mempertontonkannya ke publik. Sayangnya, Ahok tidak konsisten ketika ia malah menyulitkan investasi di sektor publik yang tak menggunakan seperak pun dana pemda, seperti monorel.
Alhasil, inkonsistensi dan sikap low context Ahok pun menimbulkan pertanyaan. McQuail & Windahl (1993) menyatakan, setiap pesan mempunyai kecenderungan untuk menggerakkan efek bagi khalayak. Lalu, efek semacam apa yang diharapkan Ahok ketika terus bikin kisruh di pemprov DKI? Untuk apa Ahok memberi kesan bahwa dirinya patut diperhitungkan ketika Gubernur Jokowi maju sebagai calon presiden dalam pemilu yang bakal menjelang?
Adakah kepentingan lain di balik Ahok? Mengapa Ahok tidak berpikiran bahwa ia akan menjadi wakil Jokowi hingga 2017 mendatang? Ditanya begitu, mungkin Ahok akan marah-marah lagi. Saya tak akan kaget. Saya juga kerap marah. Tapi saya punya privilese: saya bukan pejabat tinggi. Dan marah-marah memang bukannya tak boleh. Masalahnya, setelah marahmarah dan main ancam apa yang kemudian terjadi? Apakah ancaman-ancaman itu dilaksanakan?
Apakah marah-marahnya Ahok kini masih menakutkan atau sekadar menjengkelkan? Ahok harus paham bahwa komunikasi adalah produksi dan pertukaran makna (Fiske, 1990). Produk komunikasi bukanlah sekadar refleksi, melainkan representasi. Jadi, gaya komunikasi low context Ahok sejatinya merepresentasikan kepentingannya yang telanjang. Plus bisa dianggap merepresentasikan gaya berpolitik kaum Tionghoa.
Ahok harus sadar, jangan sampai ia memberi cap buruk bagi kaum Tionghoa dalam berpolitik. Wagub Ahok harus lebih bijak. ”Ojo kagetan, Ojo gumunan, Ojo dumeh”. Sayang, ia punya potensi dan idealisme bagus.
AGUNG SUPRIO
Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia
(hyk)