Pemilu yang terluka
A
A
A
TANGGAL 9 April 2014, yang baru saja berlalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melangsungkan pemilu anggota DPR, DPD, dan DPD; pileg.
Sebagian besar warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat hukum telah menunaikan haknya, memilih wakil mereka untuk memangku jabatan anggota DPR, DPD dan DPRD. Namun, sebagian masih harus memilih lagi dalam pemungutan suara ulang, karena ada luka di sana-sini pada pileg 9 April 2014 itu.
Pemulihan
Sungguh, tak sedikit luka itu. Luka itu disebabkan oleh sejumlah hal. Ada surat suara tertukar. Ini terjadi pada lebih dari 500 tempat pemungutan suara (TPS). Luka itu sebagian di antaranya dilakukan oleh petugas pemungutan suara. Mereka mencoblos surat suara sebelum waktunya. Tidak itu saja, masih ada juga luka lain, yang tak kalah memilukan.
”Bagi-bagi uang,” untuk tak menyebut jual-beli suara. KPU, hebatnya, mengakui sebagian luka-luka itu. Tertukarnya surat suara pada lebih dari 500 TPS, begitu juga pencoblosan yang dilakukan oleh petugas PPS diakui oleh KPU.
Jujur, pengakuan dan pengulangan pemungutan suara itu hebat. Pengulangan pemungutan surat suara, yang sebagian telah dilaksanakan, menandai betapa rindu KPU menjadikan pemilu kali ini berintegritas, bukan sekadar rindu.
Luka-luka itu bukanlah luka biasa. Luka itu bersifat fundamental, karena ”menangguhkan” hal yang dalam esensinya bersifat fundamental, yaitu hak memilih. Setiap individu adalah tuan bagi dirinya sendiri. Siapa pun yang hendak memimpin mereka harus mendapat persetujuan, langsung atau tidak langsung, dari mereka. Pemilu adalah atribut konstitusionalisme untuk mendapat persetujuan itu. Itulah esensi pemilu.
Bersebab itulah, tak boleh ada luka dalam cara memperoleh persetujuan mereka. Pemungutan suara ulang, pada titik ini menjadi niscaya. Secara hukum, pemungutan suara ulang, bukan atau tidak sama nilai dan makna hukumnya dengan pemilihan lanjutan atau susulan. Pemungutan suara ulang bermakna hukum pemungutan suara telah dilangsungkan, tetapi terjadi kekeliruan proses.
Terdapat tiga hal yang menjadi sebab diadakan pemungutan suara ulang. Ketiga sebab itu adalah; a) pembukaan kotak surat suara dan penghitungan surat suara dilakukan secara tidak sah; b) petugas KPPS memberi tanda khusus pada surat suara; c) petugas KPPS merusak surat suara lebih dari satu. Ketiga hal ini diatur dalam pasal 221 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Ketiga sebab ini dapat disederhanakan menjadi sebab kekeliruan prosedur. Menariknya tak satu pun ketentuan dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang menunjuk tertukarnya surat suara sebagai sebab dilakukan pemungutan suara ulang. Tetapi faktanya, tertukarnya surat suara pada lebih dari dua puluh provinsi, ditunjuk sebagai sebab dilakukan pemungutan suara ulang di provinsi-provinsi itu.
Sahkah pemungutan suara ulang yang dilaksanakan berdasarkan surat suara tertukar? Secara hukum, sekalipun sebab itu tidak ditunjuk oleh Pasal 221 ayat (2), tetapi sah dijadikan dasar dilakukan pemungutan suara ulang. Mengapa? Pertama, nama calon anggota DPR atau DPD atau DPRD bukanlah calon pada daerah pemilihan, tempat surat suara tertukar itu melangsungkan pemungutan surat suara.
Kedua, bila surat yang tertukar itu disahkan, pengesahan itu sama nilainya hukumnya dengan menghilangkan wilayah hukum, dapil. Penghilangan ini tidak sah. Ketiga, bila tertukarnya surat suara, dijadikan dasar oleh pemilih tidak mau menggunakan hak pilihnya, maka tertukarnya surat itu bernilai hukum sama dengan KPU sengaja menghilangkan hak memilih warga negara.
Ringkasnya, pemungutan suara ulang harus dinilai sebagai tindakan pengembalian atau pemulihan, selain hak pilih warga negara, juga menegakan konstitusionalitas pemilu. Makna lainnya adalah memulihkan kepastian hukum pemilu. Pulihnya konstitusionalitas pemungutan suara ulang, dengan sendirinya mengesampingkan, misalnya, derajat partisipasi pemilih dalam pemungutan suara ulang itu.
Jangan toleransi
Praktis, tertukarnya surat suara dan coblos duluan bisa dikoreksi. Bagaimana dengan bagibagi uang, money politics, yang dikeluhkan oleh sejumlah calon anggota DPR? Dapatkah luka ”busuk” ini dipulihkan? Bila bisa, bagaimana caranya? Inilah soal, yang masih mengintai derajat konstitusionalitas pemilihan umum DPR dan DPRD, yang belum selesai tahapan penyelenggaraannya pada saat ini.
Para pemilih, sekurang-kurangnya sebagian di antaranya, yang menerima uang tentu telah mengetahui tabiat sebagian wakil mereka. Berkali-kali sudah teridentifikasi betapa manisnya janji-janji mereka selama kampanye. Namun, manisnya itu segera berubah menjadi pahit sepahit-pahitnya kala mereka terpilih. Merayu di awal, setelah itu mencampakkan.
Membuai di awal, dan menyepelekan setelah itu, telah teridentifikasi oleh pemilih sebagai tabiat khas sebagian, untuk tak menyebut seluruh caleg. Mungkin itu sebabnya para pemilih, sekurang-kurangnya sebagian di antaranya, hendak menghukum mereka dengan cara menjual suaranya. Boleh jadi pula, para caleg yang bagibagi uang kepada pemilih, tahu bahwa hanya dengan cara itu, mereka bisa terpilih.
Urusan terpilih menjadi segala-galanya, mengalahkan mulianya suara, yang disifatkan secara simbolis sebagai vox populi vox dei. Mereka yang terpilih dengan cara membeli suara pemilih di satu sisi, berlawanan dengan mereka yang kalah, karena tidak membeli suara di sisi lain, jelas bukan perkara sepele. Bukan karena caleg pemberi uang yang terpilih itu tidak akan berfaedah buat bangsa dan negara ini, melainkan lebih dari itu.
Mendapatkan suara dengan cara membeli, sama nilai hukumnya dengan mendapatkan hak dengan cara yang tidak sah. Pada titik ini, urusannya bergeser menjadi ke-tidakadilan pemilu. Memidanakan caleg itu adalah jalan yang tersedia dalam hukum pemilu saat ini. Tetapi bagaimana caranya? Bagaimana bila KPU diam saja, dan Bawaslu atau Panwaslu meresponsnya dengan cara terlalu banyak bicara tentang bukti ini dan bukti itu yang rumit mendapatkannya?
Biarkan sajakah caleg ini melenggang masuk ke DPR? Andai KPU dan Bawaslu tak memiliki cukup waktu menelusuri, dan menemukan bukti yang cukup untuk memidanakan, para caleg yang sedapil yang tersingkir, mesti memiliki rindu untuk menyengketakannya ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Rindukan pula semoga MK tidak ”tenggelam” dalam paradigma ”utilitarianisme”, paradigma yang menuhankan ”kemanfaatan” dalam berhukum.
Bila bangsa ini sungguh merindukan eloknya konstitusionalisme berpemilu, dengan mengandalkan MK di garda terdepan, maka tindakan money politics itu harus dikoreksi. MK mesti memastikan bahwa money politics adalah tindakan melukai derajat konstitusionalitas pemilu.
MK tidak boleh ragu. Bila tidak memerintahkan coblos ulang di dapil itu, pastikanlah bahwa caleg ”money politics” didiskualifikasi. Itulah satu-satunya cara konstitusional yang dapat diambil oleh MK dalam mengobati luka pemilu ini.
MARGARITO KAMIS
Doktor Hukum Tata Negara, Staf Pengajar FH. Univ. Khairun Ternate
Sebagian besar warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat hukum telah menunaikan haknya, memilih wakil mereka untuk memangku jabatan anggota DPR, DPD dan DPRD. Namun, sebagian masih harus memilih lagi dalam pemungutan suara ulang, karena ada luka di sana-sini pada pileg 9 April 2014 itu.
Pemulihan
Sungguh, tak sedikit luka itu. Luka itu disebabkan oleh sejumlah hal. Ada surat suara tertukar. Ini terjadi pada lebih dari 500 tempat pemungutan suara (TPS). Luka itu sebagian di antaranya dilakukan oleh petugas pemungutan suara. Mereka mencoblos surat suara sebelum waktunya. Tidak itu saja, masih ada juga luka lain, yang tak kalah memilukan.
”Bagi-bagi uang,” untuk tak menyebut jual-beli suara. KPU, hebatnya, mengakui sebagian luka-luka itu. Tertukarnya surat suara pada lebih dari 500 TPS, begitu juga pencoblosan yang dilakukan oleh petugas PPS diakui oleh KPU.
Jujur, pengakuan dan pengulangan pemungutan suara itu hebat. Pengulangan pemungutan surat suara, yang sebagian telah dilaksanakan, menandai betapa rindu KPU menjadikan pemilu kali ini berintegritas, bukan sekadar rindu.
Luka-luka itu bukanlah luka biasa. Luka itu bersifat fundamental, karena ”menangguhkan” hal yang dalam esensinya bersifat fundamental, yaitu hak memilih. Setiap individu adalah tuan bagi dirinya sendiri. Siapa pun yang hendak memimpin mereka harus mendapat persetujuan, langsung atau tidak langsung, dari mereka. Pemilu adalah atribut konstitusionalisme untuk mendapat persetujuan itu. Itulah esensi pemilu.
Bersebab itulah, tak boleh ada luka dalam cara memperoleh persetujuan mereka. Pemungutan suara ulang, pada titik ini menjadi niscaya. Secara hukum, pemungutan suara ulang, bukan atau tidak sama nilai dan makna hukumnya dengan pemilihan lanjutan atau susulan. Pemungutan suara ulang bermakna hukum pemungutan suara telah dilangsungkan, tetapi terjadi kekeliruan proses.
Terdapat tiga hal yang menjadi sebab diadakan pemungutan suara ulang. Ketiga sebab itu adalah; a) pembukaan kotak surat suara dan penghitungan surat suara dilakukan secara tidak sah; b) petugas KPPS memberi tanda khusus pada surat suara; c) petugas KPPS merusak surat suara lebih dari satu. Ketiga hal ini diatur dalam pasal 221 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Ketiga sebab ini dapat disederhanakan menjadi sebab kekeliruan prosedur. Menariknya tak satu pun ketentuan dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang menunjuk tertukarnya surat suara sebagai sebab dilakukan pemungutan suara ulang. Tetapi faktanya, tertukarnya surat suara pada lebih dari dua puluh provinsi, ditunjuk sebagai sebab dilakukan pemungutan suara ulang di provinsi-provinsi itu.
Sahkah pemungutan suara ulang yang dilaksanakan berdasarkan surat suara tertukar? Secara hukum, sekalipun sebab itu tidak ditunjuk oleh Pasal 221 ayat (2), tetapi sah dijadikan dasar dilakukan pemungutan suara ulang. Mengapa? Pertama, nama calon anggota DPR atau DPD atau DPRD bukanlah calon pada daerah pemilihan, tempat surat suara tertukar itu melangsungkan pemungutan surat suara.
Kedua, bila surat yang tertukar itu disahkan, pengesahan itu sama nilainya hukumnya dengan menghilangkan wilayah hukum, dapil. Penghilangan ini tidak sah. Ketiga, bila tertukarnya surat suara, dijadikan dasar oleh pemilih tidak mau menggunakan hak pilihnya, maka tertukarnya surat itu bernilai hukum sama dengan KPU sengaja menghilangkan hak memilih warga negara.
Ringkasnya, pemungutan suara ulang harus dinilai sebagai tindakan pengembalian atau pemulihan, selain hak pilih warga negara, juga menegakan konstitusionalitas pemilu. Makna lainnya adalah memulihkan kepastian hukum pemilu. Pulihnya konstitusionalitas pemungutan suara ulang, dengan sendirinya mengesampingkan, misalnya, derajat partisipasi pemilih dalam pemungutan suara ulang itu.
Jangan toleransi
Praktis, tertukarnya surat suara dan coblos duluan bisa dikoreksi. Bagaimana dengan bagibagi uang, money politics, yang dikeluhkan oleh sejumlah calon anggota DPR? Dapatkah luka ”busuk” ini dipulihkan? Bila bisa, bagaimana caranya? Inilah soal, yang masih mengintai derajat konstitusionalitas pemilihan umum DPR dan DPRD, yang belum selesai tahapan penyelenggaraannya pada saat ini.
Para pemilih, sekurang-kurangnya sebagian di antaranya, yang menerima uang tentu telah mengetahui tabiat sebagian wakil mereka. Berkali-kali sudah teridentifikasi betapa manisnya janji-janji mereka selama kampanye. Namun, manisnya itu segera berubah menjadi pahit sepahit-pahitnya kala mereka terpilih. Merayu di awal, setelah itu mencampakkan.
Membuai di awal, dan menyepelekan setelah itu, telah teridentifikasi oleh pemilih sebagai tabiat khas sebagian, untuk tak menyebut seluruh caleg. Mungkin itu sebabnya para pemilih, sekurang-kurangnya sebagian di antaranya, hendak menghukum mereka dengan cara menjual suaranya. Boleh jadi pula, para caleg yang bagibagi uang kepada pemilih, tahu bahwa hanya dengan cara itu, mereka bisa terpilih.
Urusan terpilih menjadi segala-galanya, mengalahkan mulianya suara, yang disifatkan secara simbolis sebagai vox populi vox dei. Mereka yang terpilih dengan cara membeli suara pemilih di satu sisi, berlawanan dengan mereka yang kalah, karena tidak membeli suara di sisi lain, jelas bukan perkara sepele. Bukan karena caleg pemberi uang yang terpilih itu tidak akan berfaedah buat bangsa dan negara ini, melainkan lebih dari itu.
Mendapatkan suara dengan cara membeli, sama nilai hukumnya dengan mendapatkan hak dengan cara yang tidak sah. Pada titik ini, urusannya bergeser menjadi ke-tidakadilan pemilu. Memidanakan caleg itu adalah jalan yang tersedia dalam hukum pemilu saat ini. Tetapi bagaimana caranya? Bagaimana bila KPU diam saja, dan Bawaslu atau Panwaslu meresponsnya dengan cara terlalu banyak bicara tentang bukti ini dan bukti itu yang rumit mendapatkannya?
Biarkan sajakah caleg ini melenggang masuk ke DPR? Andai KPU dan Bawaslu tak memiliki cukup waktu menelusuri, dan menemukan bukti yang cukup untuk memidanakan, para caleg yang sedapil yang tersingkir, mesti memiliki rindu untuk menyengketakannya ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Rindukan pula semoga MK tidak ”tenggelam” dalam paradigma ”utilitarianisme”, paradigma yang menuhankan ”kemanfaatan” dalam berhukum.
Bila bangsa ini sungguh merindukan eloknya konstitusionalisme berpemilu, dengan mengandalkan MK di garda terdepan, maka tindakan money politics itu harus dikoreksi. MK mesti memastikan bahwa money politics adalah tindakan melukai derajat konstitusionalitas pemilu.
MK tidak boleh ragu. Bila tidak memerintahkan coblos ulang di dapil itu, pastikanlah bahwa caleg ”money politics” didiskualifikasi. Itulah satu-satunya cara konstitusional yang dapat diambil oleh MK dalam mengobati luka pemilu ini.
MARGARITO KAMIS
Doktor Hukum Tata Negara, Staf Pengajar FH. Univ. Khairun Ternate
(nfl)