Customer-based brand equity

Kamis, 27 Februari 2014 - 07:26 WIB
Customer-based brand...
Customer-based brand equity
A A A
DALAM waktu dekat Kevin Keller akan mengunjungi Indonesia. Keller bersama Aaker mempengaruhi cara pandang pemasar dalam pengelolaan brand.

Jika sebelumnya brand merupakan bagian dari produk manajemen, sekarang beberapa perusahaan mulai menempatkan pengembangan dan pengelolaan produk bagian dari brand management. Salah satu argumentasinya adalah brand merupakan salah satu aset/ekuitas yang bernilai bagi perusahaan.

Untuk itu, aktivitas pemasaran harus ditujukan untuk memperkuat ekuitas brand. Kontribusi utama Keller adalah menawarkan model customer- based brand equity (CBBE) bagi praktisi pemasaran dalam membangun ekuitas brand.

Kekuatan dari model ini adalah penggunaan pendekatan disiplin manajerial. Pendekatan ini akan mempermudah praktisi pemasaran dalam merumuskan aktivitas dalam membangun ekuitas brand. Pendekatan yang ditawarkan oleh Keller seperti pendekatan yang dilakukan Kotler pada 1960-an untuk marketing management. Walaupun sudah lebih dari 50 tahun, pendekatan Kotler masih mendominasi cara berpikir praktisi pemasaran.

Brand dikatakan memiliki ekuitas tinggi jika brand tersebut mampu mengapitalisasi pendapatan atau ”cash flows” jauh lebih baik dibanding tanpa adanya brand. Menurut hasil penelitian Davis (2000) menyimpulkan bahwa 72% dari konsumen mau membayar harga 20% lebih mahal untuk brand yang dipilihnya, relatif terhadap brandkompetitor terdekat; 25% konsumen menyatakan bahwa harga bukan menjadi masalah ketika membeli brand yang disukai; lebih dari 70% konsumen menggunakan brand sebagai petunjuk pembelian produk.

Disiplin yang ditawarkan oleh Kevin Keller (2013) didasari atas empat pertanyaan utama. Pertama, seberapa jauh perusahaan dapat secara jelas merumuskan identitas brand (who are you?). Kedua, seberapa jauh perusahaan dapat mengembangkan kombinasi atribut performa dan imagery yang memperkuat identitas brand (what are you?). Ketiga, bagaimana tanggapan konsumen baik rasional maupun emosional terhadap identitas yang ditawarkan oleh brand (what about you?).

Keempat, seberapa jauh interaksi yang terjadi antara konsumen dan brand menyebabkan ikatan di antara keduanya menjadi lebih kuat (what about you and me?) Tulisan ini mencoba untuk mengkaji lebih jauh masing-masing pertanyaan tersebut.

Pertanyaan pertama terkait dengan seberapa jauh perusahaan dapat merumuskan identitas brand secara tepat. Identitas yang tepat akan berpengaruh terhadap brand awareness. Untuk itu aspek yang terkait dengan peningkatan brand awareness menjadi penting seperti: seberapa jauh brand mudah dikenal dan diingat? Jenis ”cues” dan ”reminders” apa yang digunakan? Seberapa jauh brand tersebut mudah diucapkan?

Pada tingkatan yang lebih luas, keberhasilan membangun brand awareness sangat tergantung kepada seberapa jauh pelanggan mengerti bahwa brand tersebut dirancang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sebagai contoh, S-1 Bisnis Prasetiya Mulya, identitas yang dikembangkan pada saat awal peluncurannya adalah pengusaha muda yang sukses. Identitas ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan anak-anak muda yang sukses berusaha dan mandiri secara finansial.

Pertanyaan kedua terkait dengan seberapa jauh konsumen mengerti dan mempunyai asosiasi yang positif terhadap identitas brand. Asosiasi dapat dibentuk melalui pendekatan performa produk/layanan (brand performance) atau pendekatan emosi atau personifikasi (brand imagery). Performa produk/ layanan berpengaruh terhadap pengalaman apa saja yang akan dirasakan oleh konsumen, apa yang mereka dengar, dan apa yang dapat diinformasikan oleh perusahaan kepada pelanggannya tentang brand tersebut.

Merancang dan menyampaikan suatu produk/ layanan yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen merupakan prasyarat keberhasilan aktivitas marketing lepas dari apakah produk, layanan, atau organisasi. Jika brand performance terkait dengan atribut intrinsik (atribut yang melekat pada produk/ layanan), sedangkan brand imagery terkait dengan atribut ekstrinsik (atribut yang tidak terkait secara langsung dengan produk/layanan). Sebagai contoh, profil pengguna dapat digunakan sebagai representasi dari citra ideal yang diinginkan oleh target konsumen.

CR7 digunakan oleh Nike sebagai representasi seorang hero sepak bola. Pendekatan personalitysering juga digunakan untuk mengekspresikan identitas dari si pelanggan. Pengguna Harley Davidson adalah mereka yang mengekspresikan kejantanan dan kebebasan. Lepas dari pendekatan yang akan digunakan, asosiasi brand yang akan dirumuskan harus dapat memenuhi tiga kriteria. Pertama, seberapa jauh atribut yang dikembangkan dapat memperkuat asosiasi brand (strength). Kedua, seberapa jauh atribut tersebut bernilai dan disukai oleh target pelanggan (favourable).

Ketiga, seberapa jauh atribut tersebut berbeda dengan asosiasi yang dikembangkan oleh brand pesaing (uniqueness). Untuk menciptakan brand equity, brand harus memiliki asosiasi yang kuat, disukai dan unik. Brand yang kuat umumnya memenuhi ketiga indikator tersebut. Sebagai contoh Toyota Avanza secara konsisten mencoba memenuhi ketiga indikator tersebut dengan menawarkan beberapa atribut seperti harga jual kembali, kelegaan, kenyamanan dan pilihan terbaik keluarga.

Pertanyaan ketiga mencoba untuk memahami bagaimana konsumen bereaksi terhadap stimulus yang ditawarkan oleh brand. Dengan mengetahui reaksi yang diberikan konsumen, perusahaan akan lebih efektif dalam merumuskan asosiasi brand. Reaksi terhadap brand dapat dibedakan atas apa yang dipikirkan (brand judgements) dan dirasakan (brand feelings) oleh pelanggan terhadap brand.

Empat indikator yang digunakan oleh pelanggan dalam mengevaluasi brand yaitu: 1) kualitas; 2) kredibilitas (seberapa jauh brand tersebut terlihat kredibel atas dasar tiga dimensi: memiliki keahlian (expertise), dapat dipercaya (trust worthiness), dan disukai (like ability); 3) dipertimbangkan (seberapa jauh konsumen menganggap bahwa brand tersebut sesuai dengan kebutuhannya); dan 4) superior (seberapa jauh brand tersebut unik dan lebih baik dibanding brandlain).

Pertanyaan keempat adalah bagaimana membuat pelanggan merasa nyaman ketika berhubungan brand (brand resonance). Untuk itu, perusahaan perlu mengembangkan suatu panggung (platform) yang memungkinkan pelanggan dapat berinteraksi dengan brand atau pelanggan lainnya.

Sebagai contoh, KFC menyiapkan panggung musik bagi indie band yang memungkinkan mereka berinteraksi dengan para penggemarnya yang juga pelanggan KFC. Apa yang dapat ditarik pelajaran dari konsep ini adalah peningkatan brand equity mempersyaratkan perusahaan harus dapat menjalankan keempat elemen dalam membangun brand secara baik.

Brand dengan identitas dan arti yang tepat akan membuat konsumen percaya bahwa brand tersebut relevan dengan kebutuhannya. Brand yang sangat kuat akan membuat konsumen memiliki ikatan yang kuat dengan brand, dan membuat mereka menjadi ”juru dakwah” yang secara aktif berinteraksi dengan brand dan menyebarkan pengalamannya dengan teman-temannya.

AGUS W SOEHADI
Pengamat Pemasaran Prasetiya Mulya Business School
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6606 seconds (0.1#10.140)