Pemilu responsif bencana
A
A
A
GUNUNG Kelud meletus dahsyat dini hari 14 Februari 2014, menyemburkan asap dan material vulkanik setinggi 3.000 meter. Puluhan ribu warga di Kediri dan Blitar pada radius 10 kilometer diungsikan (KORAN SINDO, 14/02/2014).
Kita bersimpati atas apa yang menimpa saudara kita di area terdampak dan mengharapkan penanganan sigap dari pemerintah maupun elemen terkait agar tidak berakibat korban ataupun kerugian kemanusiaan yang jauh lebih besar.
Peristiwa alam ini terjadi 55 hari jelang penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2014, untuk memilih calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sebagai situasi force majeure tentu tak ada yang menghendaki dan memprediksi secara pasti kejadiannya.
Ini bagian keseimbangan alam, konsekuensi negara kita yang berada pada posisi ring of fire atau rangkaian wilayah gunung api terbesar di dunia. Berkaitan dengan persiapan pemilu, Bawaslu mengatakan, erupsi Kelud disinyalir berdampak pada produksi dan distribusi logistik Pemilu 2014.
Bawaslu mencatat sebagian perusahaan pemenang lelang pengadaan barang dan jasa berada di wilayah Provinsi Jawa Tengah yang terkena dampak erupsi secara langsung. Dalam konteks kemanusiaan, kita ingin penanganan bencana Kelud bisa dilakukan sebaik mungkin, memperhatikan para pengungsi yang berjumlah ratusan ribu secara maksimal, dan tak mengulang kelambanan penanganan erupsi Gunung Sinabung.
Untuk konteks pemilunya sendiri, penyelenggara pemilu mesti menyoroti soal perencanaan dan skenario untuk merespons situasi yang terjadi saat ini sehingga bisa punya langkah antisipasi yang baik dan tepat.
Hal ini penting untuk menjawab pertanyaan soal kesiapan penyelenggara pemilu dalam menyikapi peristiwa, fenomena, dan bencana alam yang bisa terjadi dan berdampak pada penyelenggaraan pemilu dan perlindungan atas hak pilih warga negara pada Pemilu 2014 yang sudah menunggu hitungan hari.
Pemilu lanjutan dan susulan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengatur bahwa dalam hal terjadi bencana di suatu daerah pemilihan, penyelenggara pemilu bisa menunda pelaksanaan pemilu.
Penundaan itu dikenal dengan istilah pemilu lanjutan dan pemilu susulan. Pasal 230 UU 8/2012 menyebutkan, apabila sebagian atau seluruh daerah pemilihan terjadi bencana alam yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan pemilu lanjutan.
Pelaksanaan Pemilu lanjutan ini dimulai dari tahap penyelenggaraan pemilu yang terhenti. Misal, karena terjadinya bencana alam tahapan kampanye tidak bisa dilaksanakan, KPU bisa menunda tahapan kampanye yang terkendala.
KPU bisa melanjutkannya pascapenanganan bencana selesai atau saat tahapan kampanye sudah bisa dilaksanakan secara normal sesuai ketentuan perundang- undangan. Selain pemilu lanjutan, juga ada skenario pemilu susulan.
Pasal 231 UU yang sama menyebutkan dalam hal di suatu daerah pemilihan terjadi bencana alam yang mengakibatkan seluruh tahapan penyelenggaraanpemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan pemilu susulan.
Pemilu susulan dilakukan untuk seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu. Tentu kalau melihat dampak dari erupsi Kelud yang saat ini terjadi, pemilu lanjutanlah yang mungkin terjadi. Itu pun kalau memang ada tahapan pemilu yang nyata-nyata terhenti penyelenggaraannya karena dampak bencana Kelud.
Pembuat undang-undang nampaknya sadar betul penyelenggara pemilu tidak boleh memaksakan penyelenggaraan pemilu dengan realitas negara kita yang berada di wilayah yang bisa terjadi fenomena dan bencana alam kapan saja. Entah itu terjadi karena peristiwa alamiah untuk menyeimbangkan alam maupun bencana yang terjadi karena sikap tak ramah lingkungan masyarakatnya.
Pemungutan di TPS pun bisa diulang apabila terjadi bencana alam yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan. Hal ini diatur dalam Pasal 221 UU 8/2012. Sehingga, terlihat sekali penekanan bahwa pemilu memang harus responsif terhadap dampak bencana alam dan lebih mengedepankan penanganan kemanusiaannya.
Langkah KPU
Mestinya terjadi atau tidak bencana, sejak awal KPU sudah punya standar operasi kerja yang rinci untuk merespons situasi terjadinya bencana dan gangguan alam yang bisa memengaruhi tahapan pemilu. Namun disayangkan, nampaknya KPU tidak memiliki hal itu saat ini.
KPU setidaknya perlu segera mengambil langkah-langkah berikut. Pertama, bergerak cepat mengidentifikasi dampak dari bencana yang terjadi. Sejauh mana dampak erupsi Kelud dan beberapa daerah bencana lainnya (misal Sinabung, banjir bandang Manado, gangguan cuaca di Papua) terhadap kesiapan penyelenggaraan tahapan Pemilu 2014.
Kedua, koordinasi dengan Bawaslu dan jajaran pengawas pemilu, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan terkait berkaitan dengan besaran dampak, antisipasi, dan skenario penyikapannya terkait keberlanjutan penyelenggaraan tahapan pemilu.
Khusus dengan jajaran Bawaslu, harus ada sinergi lebih sehingga muncul pemahaman yang sama di lapangan soal dampak bencana dan juga langkah-langkah yang akan diambil. Mengingat dua lembaga ini dalam pengalaman sebelumnya lebih banyak tak seiring sejalan ketimbang harmonis dalam mengatur ritme penyelenggaraan Pemilu 2014.
Ketiga, KPU harus paparkan langkah dan skenario kerja berdasarkan identifikasi dan koordinasi dengan pihak terkait di atas. Soal apa yang akandilakukan, langkah langkahnya, kerangka waktu kerja, serta berbagai pilihan kemungkinan yang bisa terjadi terkait dengan skenario yang dipilih tersebut.
Keempat, pengadaan logistik pemilu bisa jadi terpengaruh, tapi yang paling terdampak adalah pemilih. Peraturan KPU 26/2014 mengatur pemilih yang terkena bencana alam bisa gunakan hak pilihnya di TPS lain, tak harus di tempatnya terdaftar.
Situasi ini yang harus maksimal disiapkan penyelenggara pemilu. Merekam pergerakan pemilih dan selanjutnya mengatur distribusi logistik sesuai sebaran mereka. Sehingga, pemungutan suara bisa berlangsung baik bagi pemilih terdampak bencana.
Pilihannya tak cuma menunda pemilu atau pemungutan suara ulang. Bisa saja atas penilaian yang dilakukan pemilu tetap bisa dilanjutkan sesuai dengan tahapan yang ada. Indikator mengambil keputusan itulah yang harus terukur dan dibuka kepada publik. Semangat perlindungan terhadap hakhak pemilih atas pemilu yang berkualitas dan berintegritaslah yang harus dikedepankan.
Pastinya, jangan memaksakan pemilu yang direncanakan buruk dan tak sesuai prinsip pemilu demokratis kepada pemilih kita. Keterbukaan dan kemampuan KPU dalam memaparkan skenario kerjanya akan membantu publik memahami persoalan secara lebih utuh.
Lebih dari itu akan menguatkan kepercayaan bahwa sebagai lembaga yang bersifat nasional dan mandiri KPU bekerja profesional dan responsif dalam berhadapan dengan bencana yang bisa saja terjadi dan memengaruhipenyelenggaraanPemilu 2014. Semoga!
TITI ANGGRAINI
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Kita bersimpati atas apa yang menimpa saudara kita di area terdampak dan mengharapkan penanganan sigap dari pemerintah maupun elemen terkait agar tidak berakibat korban ataupun kerugian kemanusiaan yang jauh lebih besar.
Peristiwa alam ini terjadi 55 hari jelang penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2014, untuk memilih calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sebagai situasi force majeure tentu tak ada yang menghendaki dan memprediksi secara pasti kejadiannya.
Ini bagian keseimbangan alam, konsekuensi negara kita yang berada pada posisi ring of fire atau rangkaian wilayah gunung api terbesar di dunia. Berkaitan dengan persiapan pemilu, Bawaslu mengatakan, erupsi Kelud disinyalir berdampak pada produksi dan distribusi logistik Pemilu 2014.
Bawaslu mencatat sebagian perusahaan pemenang lelang pengadaan barang dan jasa berada di wilayah Provinsi Jawa Tengah yang terkena dampak erupsi secara langsung. Dalam konteks kemanusiaan, kita ingin penanganan bencana Kelud bisa dilakukan sebaik mungkin, memperhatikan para pengungsi yang berjumlah ratusan ribu secara maksimal, dan tak mengulang kelambanan penanganan erupsi Gunung Sinabung.
Untuk konteks pemilunya sendiri, penyelenggara pemilu mesti menyoroti soal perencanaan dan skenario untuk merespons situasi yang terjadi saat ini sehingga bisa punya langkah antisipasi yang baik dan tepat.
Hal ini penting untuk menjawab pertanyaan soal kesiapan penyelenggara pemilu dalam menyikapi peristiwa, fenomena, dan bencana alam yang bisa terjadi dan berdampak pada penyelenggaraan pemilu dan perlindungan atas hak pilih warga negara pada Pemilu 2014 yang sudah menunggu hitungan hari.
Pemilu lanjutan dan susulan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengatur bahwa dalam hal terjadi bencana di suatu daerah pemilihan, penyelenggara pemilu bisa menunda pelaksanaan pemilu.
Penundaan itu dikenal dengan istilah pemilu lanjutan dan pemilu susulan. Pasal 230 UU 8/2012 menyebutkan, apabila sebagian atau seluruh daerah pemilihan terjadi bencana alam yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan pemilu lanjutan.
Pelaksanaan Pemilu lanjutan ini dimulai dari tahap penyelenggaraan pemilu yang terhenti. Misal, karena terjadinya bencana alam tahapan kampanye tidak bisa dilaksanakan, KPU bisa menunda tahapan kampanye yang terkendala.
KPU bisa melanjutkannya pascapenanganan bencana selesai atau saat tahapan kampanye sudah bisa dilaksanakan secara normal sesuai ketentuan perundang- undangan. Selain pemilu lanjutan, juga ada skenario pemilu susulan.
Pasal 231 UU yang sama menyebutkan dalam hal di suatu daerah pemilihan terjadi bencana alam yang mengakibatkan seluruh tahapan penyelenggaraanpemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan pemilu susulan.
Pemilu susulan dilakukan untuk seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu. Tentu kalau melihat dampak dari erupsi Kelud yang saat ini terjadi, pemilu lanjutanlah yang mungkin terjadi. Itu pun kalau memang ada tahapan pemilu yang nyata-nyata terhenti penyelenggaraannya karena dampak bencana Kelud.
Pembuat undang-undang nampaknya sadar betul penyelenggara pemilu tidak boleh memaksakan penyelenggaraan pemilu dengan realitas negara kita yang berada di wilayah yang bisa terjadi fenomena dan bencana alam kapan saja. Entah itu terjadi karena peristiwa alamiah untuk menyeimbangkan alam maupun bencana yang terjadi karena sikap tak ramah lingkungan masyarakatnya.
Pemungutan di TPS pun bisa diulang apabila terjadi bencana alam yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan. Hal ini diatur dalam Pasal 221 UU 8/2012. Sehingga, terlihat sekali penekanan bahwa pemilu memang harus responsif terhadap dampak bencana alam dan lebih mengedepankan penanganan kemanusiaannya.
Langkah KPU
Mestinya terjadi atau tidak bencana, sejak awal KPU sudah punya standar operasi kerja yang rinci untuk merespons situasi terjadinya bencana dan gangguan alam yang bisa memengaruhi tahapan pemilu. Namun disayangkan, nampaknya KPU tidak memiliki hal itu saat ini.
KPU setidaknya perlu segera mengambil langkah-langkah berikut. Pertama, bergerak cepat mengidentifikasi dampak dari bencana yang terjadi. Sejauh mana dampak erupsi Kelud dan beberapa daerah bencana lainnya (misal Sinabung, banjir bandang Manado, gangguan cuaca di Papua) terhadap kesiapan penyelenggaraan tahapan Pemilu 2014.
Kedua, koordinasi dengan Bawaslu dan jajaran pengawas pemilu, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan terkait berkaitan dengan besaran dampak, antisipasi, dan skenario penyikapannya terkait keberlanjutan penyelenggaraan tahapan pemilu.
Khusus dengan jajaran Bawaslu, harus ada sinergi lebih sehingga muncul pemahaman yang sama di lapangan soal dampak bencana dan juga langkah-langkah yang akan diambil. Mengingat dua lembaga ini dalam pengalaman sebelumnya lebih banyak tak seiring sejalan ketimbang harmonis dalam mengatur ritme penyelenggaraan Pemilu 2014.
Ketiga, KPU harus paparkan langkah dan skenario kerja berdasarkan identifikasi dan koordinasi dengan pihak terkait di atas. Soal apa yang akandilakukan, langkah langkahnya, kerangka waktu kerja, serta berbagai pilihan kemungkinan yang bisa terjadi terkait dengan skenario yang dipilih tersebut.
Keempat, pengadaan logistik pemilu bisa jadi terpengaruh, tapi yang paling terdampak adalah pemilih. Peraturan KPU 26/2014 mengatur pemilih yang terkena bencana alam bisa gunakan hak pilihnya di TPS lain, tak harus di tempatnya terdaftar.
Situasi ini yang harus maksimal disiapkan penyelenggara pemilu. Merekam pergerakan pemilih dan selanjutnya mengatur distribusi logistik sesuai sebaran mereka. Sehingga, pemungutan suara bisa berlangsung baik bagi pemilih terdampak bencana.
Pilihannya tak cuma menunda pemilu atau pemungutan suara ulang. Bisa saja atas penilaian yang dilakukan pemilu tetap bisa dilanjutkan sesuai dengan tahapan yang ada. Indikator mengambil keputusan itulah yang harus terukur dan dibuka kepada publik. Semangat perlindungan terhadap hakhak pemilih atas pemilu yang berkualitas dan berintegritaslah yang harus dikedepankan.
Pastinya, jangan memaksakan pemilu yang direncanakan buruk dan tak sesuai prinsip pemilu demokratis kepada pemilih kita. Keterbukaan dan kemampuan KPU dalam memaparkan skenario kerjanya akan membantu publik memahami persoalan secara lebih utuh.
Lebih dari itu akan menguatkan kepercayaan bahwa sebagai lembaga yang bersifat nasional dan mandiri KPU bekerja profesional dan responsif dalam berhadapan dengan bencana yang bisa saja terjadi dan memengaruhipenyelenggaraanPemilu 2014. Semoga!
TITI ANGGRAINI
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
(nfl)