Mahkamah penafsir konstitusi

Selasa, 18 Februari 2014 - 08:03 WIB
Mahkamah penafsir konstitusi
Mahkamah penafsir konstitusi
A A A
MAHKAMAH Konstitusi (MK) adalah satusatunya lembaga negara yang dinyatakan penafsir konstitusi (UUD 1945). Amar putusan MK dalam uji materi UU yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, tidak hanya memiliki kekuatan hukum mengikat.

Bahkan, putusan MK bersifat final dan mengikat karena tidak ada upaya hukum lagi untuk melawannya. Begitulah posisi dan peran MK sebagai penafsir konstitusi yang menghapus UU Nomor 4/2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua UU MK. UU ini biasa disebut sebagai UU Penyelamatan MK, tetapi hakim konstitusi terkesan menganggap ancaman karena bertentangan dengan konstitusi.

Putusan uji materi (judicial review) Nomor: 1-2/PUU-XII/ 2014 dibacakan Kamis (13/2/ 2014) dan secara otomatis membatalkan UU Penyelamatan MK (UU Nomor 4/2014). Dalam amar putusan menyatakan ”mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya” bahwa: Pertama, UU Nomor 4/2014 beserta seluruh lampirannya bertentangan dengan UUD 1945.

Kedua, UU Nomor 4/2014 beserta seluruh lampirannya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketiga, UU Nomor 24/2003 tentang MK sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8/2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24/2003 tentang MK (UU-MK), berlaku kembali sebagaimana sebelum diubah oleh Perppu Nomor 1/2013 yang kemudian menjadi UU Nomor 4/2014.

Tiga substansi
Perppu yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kemudian disetujui DPR menjadi UU Nomor 4/2014, ternyata siasia saja. Uji materi yang diajukan oleh Forum Pengacara Konstitusi dan sejumlah dosen Fakultas Hukum Universitas Jember, telah membalikkan pemikiran selama ini bahwa kisruh di MK setelah kasus Akil Mochtar tidak ada pengaruhnya.

Padahal , Perppu MK diterbitkan untuk menyikapi penangkapan Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 1 Oktober 2013. Ada tiga substansi yang diatur dalamPerppuMK yang disetujui menjadi UU Nomor 4/2014.

Pertama, hakim konstitusi harus tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat tujuh tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi. Kedua, mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi disempurnakan untuk memperkuat prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas seperti dimaksud dalam Pasal 19 UU-MK.

Ketiga, perbaikan sistem pengawasan yang lebih efektif dengan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang sifatnya permanen dengan tetap menghormati independensi hakim konstitusi.

Alasan penolakan Perppu oleh Presiden mengacu pada putusan MK Nomor: 138/PUUVII/ 2009 tanggal 8 Februari 2010, yang menetapkan tiga syarat adanya kegentingan yang memaksa dalam mengeluarkan perppu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945.

Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai.

Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa, karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Tiga substansi inilah yang menurut MK ”kegentingan yang memaksa” merupakan kewenangan presiden untuk menafsirkannya secara subjektif, tetapi subjektivitas itu harus ada dasar objektivitasnya. Pembatasan tersebut harus diisyaratkan oleh konstitusi. Jadi pertanyaannya, bukankah DPR telah menilai syarat objektivitasnya? Tetapi begitulah kekuatan MK selaku penafsir konstitusi, lembaga negara lain dan masyarakat harus tunduk pada penafsiran MK.

Pengawasan hakim
Banyak pengamat dan berbagai kalangan dalam masyarakat yang menuding MK hanya menguntungkan diri MK sendiri. Semua permohonan pemohon dikabulkan, tetapi yang menuai keuntungan justru hakim konstitusi karena tidak ada satu lembaga pun yang boleh mengawasi perilakunya dalam memeriksa dan membuat putusan.

Memang dalam putusan disebutkan bahwa setiap hakim, termasuk hakim konstitusi, tidak terbebas atau kebal dari sanksi etika maupun sanksi hukum. Tetapi realitas berkata lain karena hakim MK mencabut UU Nomor 4/2014 yang sebetulnya menyempurnakan pengawasan hakim dengan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang sifatnya permanen.

Bukan dibentuk saat ada hakim konstitusi yang diduga melakukan pelanggaran seperti selama ini. Hakim konstitusi tidak boleh diawasi MKHK versi UU Nomor 4/2014 dengan memanfaatkan uji materi yang diajukan oleh kelompok pengacara yang berpraktik di MK. Rupanya saya harus menjelaskan panjang lagi terhadap mahasiswa atas pengabaian asas oleh hakim konstitusi.

Asas tersebut adalah ”nemo judex in causa sua” bahwa hakim tidak mengadili hal-hal yang terkait dengan kepentingannya sendiri. Kita khawatir kepercayaan publik terhadap MK akan terus melorot, lantaran dirusak oleh sikap yang lebih terkesan hanya untuk kepentingan diri sendiri.

Padahal, para hakim konstitusi itu tidak selamanya menjadi hakim, karena ada masanya berhenti karena periodenya telah selesai atau karena umurnya telah mencukupi. Saya khawatir setelah pensiun dari jabatannya, ada yang mungkin ikut-ikutan menyalahkan kenapa hakim konstitusi tidak ada yang mengawasi secara khusus setelah merasakan kondisi publik yang meneropong MK dari luar. Jika MA dan MK berperan sebagai puncak kekuasaan kehakiman, kenapa hanya MA yang punya mekanisme pengawasan, tetapi MK tidak?

Siapa yang secara khusus mengawasi kode etik dan perilaku hakim konstitusi saat memeriksa dan mengadili sengketa hasil pemilihan legislatif dan pemilihan presiden nanti? Nanti ada yang diduga melanggar barulah dibentuk Dewan Etik Hakim Konstitusi sebagai penjaga dan penegak kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim, serta kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi.

Menyimak hasil penelitian Setara pada November 2013 yang mengindikasi MK telah bergeser dari bentuk semestinya, lalu kenapa hakim konstitusi tidak diawasi?

Seharusnya MK yang sesuai kewenangan yang dimilikinya menjadi badan yudisial, bukan menjadi badan yang lain. Meski rekrutmen jabatan hakim konstitusi bersumber dari MA, DPR, dan Presiden, tetapi tidak boleh bergeser substansinya sebagai pengawal dan penafsir konstitusi. Sebab syarat hakim konstitusi adalah ”negarawan” sebagai satu-satunya lembaga negara yang memberi syarat seperti itu.

MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum dan Pengajar Hukum Acara MK Universitas 45, Makassar
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2254 seconds (0.1#10.140)