Sisi rasionalitas hukum (I)

Kamis, 13 Februari 2014 - 10:27 WIB
Sisi rasionalitas hukum...
Sisi rasionalitas hukum (I)
A A A
NEGERI ini sebagai negara yang berdaulat, sejatinya memiliki posisi yang istimewa di kawasan regional maupun di tengah percaturan politik internasional.

Namun, beberapa peristiwa di dalam negeri yang bersinggungan dengan kepentingan negara lain telah mengusik perasaan kedaulatan (staats-souvereiniteit) sebagai suatu bangsa yang merdeka karena rasionalitas hukumnya dikorbankan.

Belum lama berselang setelah terungkapnya kasus penyadapan dinas intelijen Australia, kini perasaan kedaulatan negeri ini kembali terusik di saat hukum di negeri ini dipaksa untuk mengafirmasi pembebasan bersyarat terhadap ratu ekstasi yang kebetulan adalah warga negara Australia, Schapelle Leigh Corby.

Hal itu merupakan kelanjutan dari pemberian grasi terhadapnya pada tahun 2012. Sungguh menyiksa akal sehat jika berkaca pada pandangan filsuf Georg Jellinek yang mengatakan bahwa hukum adalah penjelmaan dari kehendak atau kemauan negara, bukankah hukum yang ditekuk untuk memaksakan grasi kepada gembong narkoba tersebut sesungguhnya mengakui bahwa negeri ini telah mengorbankan rasionalitasnya?

Pembebasan bersyarat terhadap Corby sempat dikaitkan dengan politik barter narapidana dengan Australia, termasuk keinginan pemerintah RI untuk menangkap buronan kasus BLBI, Adrian Kiki Ariawan, yang diduga bersembunyi di Australia. Jika hal itu benar, politik transaksional dalam penegakan hukum tak hanya ada di ruang publik politis negeri ini, namun telah merambah pada politik luar negeri.

Maka, penguasa negeri ini sebenarnya sedang menggeser kepastian hukum di ujung permainan politik transaksional. Seperti yang sudah diketahui oleh publik, pada tahun 2005, Corby divonis pidana 20 tahun penjara karena menyelundupkan 4,2 kilogram mariyuana ke Bali melalui tas selancarnya, namun sejak dipenjara, yang bersangkutan rutin menerima remisi berkali-kali.

Meskipun PP No 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi terpidana korupsi, terorisme, dan narkoba berdasarkan Surat Edaran Menkumham Nomor M.HH-04.PK.01.05.06 tahun 2013 berlaku untuk napi yang putusannya berkekuatan hukum tetap (inkracht) sejak 12 November 2012 atau sejak PP tersebut dikeluarkan, namun pemberian grasi terhadap Corby telah mengingkari semangat yang dikandung dari maksud dikeluarkannya PP No. 99 Tahun 2012.

Jika mengacu pada pandangan filsuf Foucault yang menggunakan pendekatan genealogis untuk menyingkapkan kebenaran di balik suatu fenomena, pembebasan bersyarat terhadap Corby jika dimaksudkan untuk barter napi justru mendekonstruksi struktur makna dan pengetahuan yang ingin dibentuk melalui lahirnya PP No. 99 Tahun 2012.

Dalam terminologi Georg Jellinek PP tersebut, mencerminkan kemauan atau kehendak negara untuk bersikap tegas dalam memerangi kejahatan korupsi dan berbagai kejahatan transnasional yang dinisbahkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Hukum sering disimbolisasikan dengan ilustrasi patung dewi keadilan membawa pedang yang matanya ditutup. Simbolisasi itu ingin menggambarkan bahwa proses bekerjanya hukum (seharusnya) dilakukan tanpa pandang bulu, yang di kemudian hari melahirkan adagium penting dalam penegakan hukum equality before the law (kesamaan kedudukan warga negara di hadapan hukum) dan kini diletakkan sebagai fondasi kehidupan bernegara dalam Pasal 27 ayat (1) UUD Negara RI 1945.

Hukum adalah produk dari proses politik parlemen melalui sistem legislasi, namun pada saat sudah menjadi sebuah teks normatif dalam wujud suatu kitab undang-undang, hukum tak boleh dipolitisasi dan harus steril dari pengaruh faktor-faktor nonhukum. Pemberian grasi terhadap Corby pada tahun 2012 yang dirayakan dengan pembebasan bersyarat terhadapnya, secara kasatmata menimbulkan persoalan di seputar prinsip persamaan di hadapan hukum yang menjadi salah satu nilai fondasional konstitusi.

Pemberian grasi yang diikuti dengan pembebasan bersyarat terhadap Corby dengan tingkat kejahatan berat yang dilakukannya dan pada beberapa napi dalam kasus sejenis telah mengantarkan mereka di depan eksekusi regu tembak, telah menjadi suatu kebijakan yang irasional dan menimbulkan disparitas keadilan. Hal itu justru telah membenarkan tesis Mac Intyre dalam bukunya ”Whose justice? Which Rationality? bahwa konsep rasionalitas dan keadilan tunduk pada sejarah.

Pada masa pemerintahan yang sama dengan presiden yang sama, telah dilahirkan 2 rasionalitas yang bertentangan. Maka sejatinya, PP No. 99 Tahun 2012 itu tak pernah bernilai apa pun dalam menunjukkan kehendak atau kemauan negara untuk memberantas korupsi dan kejahatan transnasional karena di sebuah rezim pemerintahan yang sama, telah lahir politik hukum yang paradoks, menyatakan korupsi dan kejahatan transnasional tak boleh diremisi (PP No. 99 Tahun 2012), namun pada tahun 2012 memberikan grasi terhadap Corby (Surat Keputusan Presiden RI Nomor 22/G dan 23/G Tahun 2012) dan di awal tahun 2014 memberikan pembebasan bersyarat.

Fenomena tersebut secara kasat mata memperlihatkan bahwa hukum di negeri ini telah menjadi sebuah anomali, di saat penguasa telah memutuskan yang rasional dan yang irasional dalam kurun waktu yang bersamaan.

Lemahnya energi hukum berhadapan dengan energi politik dan ekonomi selama ini membuat penegakan hukum terseret pada jalan terjal untuk mendaki ke puncak supremasi hukum (supremacy of law). Masyarakat sejatinya berharap tahun 2014 bisa menjadi tahun transisi politik menuju era demokrasi yang semakin stabil.

Namun, berbagai ironi yang terjadi dalam penegakan hukum akibat bermain api dengan kepentingan (aktor-aktor) politik bisa memproduksi ambivalensi, kontradiksi dan bahkan paradoks dalam politik yang menyeret pada dualisme cara berpikir, tindakan dan sikap.

Penegakan hukum di tahun politik seharusnya mampu merawat demokrasi menuju pada supremasi hukum, bukan justru larut dalam berbagai ironi politik dan justru terlibat dalam berbagai upaya penggalangan citra aktor karena dominasi aparat ideologi hukum di negeri yang kian kumuh oleh berbagai ambisi dan syahwat politik minus empati.

Kasus Corby telah mereduksi komitmen suatu negeri yang telah terbuai dan bertekuk lutut di sudut kerlingan mata seorang ratu ekstasi, yang segera melompat keluar dari jeruji besi bak seekor kanguru setelah diberi umpan grasi dan pembebasan bersyarat.

DR. W RIAWAN TJANDRA
Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7053 seconds (0.1#10.140)