Bijak mencermati media 'jerawat' Sosial
A
A
A
JIKA para pengguna media sosial mendirikan negara sendiri, Negara Internet, bisa dipastikan negeri ini mempunyai penduduk paling banyak di dunia.
Bayangkan untuk pengguna Facebook saja dalam 10 tahun terakhir mencapai 1,23 miliar. Setiap harinya 48% terkoneksi dalam 70 bahasa. Belum lagi pengguna YouTube yang mencapai 1 miliar dan atau juga jenis lain semisal Twitter atau Google+.
Jelas mengungguli jumlah penduduk China atau Amerika Serikat. Tapi mungkin kita tak perlu ikut heboh, karena media sosial memiliki akar dan dinamika yang berbeda dengan dunia jurnalistik yang dikenal sebelumnya.
Maka kadang perlu dipertanyakan kembali apakah hadiah Jurnalistik Adinegoro—yang merupakan hadiah tertinggi untuk prestasi jurnalistik, pas diberikan untuk media sosial. Pertanyaaniniberawaldari adanya hadiah khusus dengan nama Adinegoro, yang setiap tahun diperingati dalam memperingati Hari Pers Nasional.
Jurnalisme ijen
Media sosial menemukan kelahiran, perkembangan dan kemudahan dari kemajuan pesat teknologi komunikasi. Pengguna—untuk sedikit membedakan dengan istilah wartawan, melakukan proses kreatifnya secara sendirian, ijen. Tak ada kontrol dari redaktur, atau redaktur pelaksana atau pemimpin redaksi. Tak ada penugasan akan pilihan topik— selain dirinya sendiri. Tak mengenal istilah deadline, tenggat waktu yang menjadi batasan. Dan karenanya tak mengenal perlu mendasari pada fakta atau data.
Berita yang ditampilkan bisa umpatan, unek- unek , atau bukan apa pun dalam kategori berita. Pengguna adalah ”pemilik” media, sekaligus pemimpin redaksi/ pemimpin perusahaan/ pimpinan umum. Kebebasan penuh dalam artian utuh dan tidak dipengaruhi siapa pun kecuali atas kemauan sendiri, dan tak dituntut tanggungjawab, karena bisa memakai nama samaran yang beragam.
Bandingkan wartawan media cetak yang mencantumkan nama atau inisialnya, atau nama boks para pengasuh yang berjenjang. Dengan kecilnya tanggung jawab yang bisa diminta, media sosial boleh saja tetap disebut karya jurnalisme, namun mempunyai perbedaan yang mendasar. Itu yang saya pertanyakan kepada Dewan Pers—satu-satunya bentuk dewan yang menolak subsidi pemerintah, memberikan hadiah karya jurnalistik Adinegoro, nama besar wartawan, juga sastrawan, yang diakui karya-karya besarnya.
Mungkin perlu dipertanyakan ulang, meskipun penghargaan itu bersifat khusus, dijuduli sebagai Kategori Jurnalistik Siber. Masalahnya selain tingkat kesulitan bagaimana menilai karya yang berserakan—atau yang sempat dikirimkan, adalah penyejajaran dalam pemilahan sebagai kerja jurnalistik.
Jurnalisme jerawat
Dengan akar pijak jurnalisme ijen, sorangan, pribadi, tanpa kontrol, dan koreksi orang lain sangat mungkin sekali masalahnya yang mengemuka juga lebih bersifat pribadi dengan salah satu cirinya memanjakan emosi menjadi emosional.
Contoh sederhana adalah ramainya perbincangan melalui Instagram yang diunggah Ibu Negara Ani Yudhoyono— yang saya istilahkan Anigram, karena beliau yang memopulerkan. Dan atau grup-grup yang menjadi relawan Jokowi atau sebaliknya.
Atau pribadi lain yang menggunakan para pengguna untuk hanya memanjakan tokoh tertentu, atau yang menjual obat kuat tahan lama. Semua bercampur, berhambur tanpa ada seleksi, tanpa ada pembesaran mana yang berdasar mana yang asal berkoar, tanpa akurasi, bahkan seperti saya katakan, tanpa pertanggungjawaban. Ini bisa merisaukan bagi yang dikaitkan, tapi juga bisa dianggap angin lalu pada yang tidak bersangkutan. Ibarat kata, seperti tumbuhnya jerawat.
Pada anak baru gede, jerawat adalah soal mati-hidup, soal tampak cantik-ganteng atau memalukan, sementara pada mereka yang melewati masa puber , menghadapinya tidak seangker itu.
Dengan demikian akan lebih baik jika menghadapi berita, kabar, opini semacam itu menjadi lebih bijak—untuk mempercayai atau hanya menertawai, membacai, menyeleksi atau kemudian mengeblok. Bukan karena apa, melainkan karena penggunaan telah menjadi wabah sosial. Be smart, jadilah bijak, barang kali kata sakti untuk mencermati dan melalui media sosial.
Jerawat memang perlu, dan selalu ada dalam kehidupan— juga kehidupan jurnalistik, namun tidak berarti kita menjebakkan diri, atau malah melegitimasinya. Dunia jurnalistik tak bisa ditanggalkan dengan tanggung jawabnya.
ARSWENDO ATMOWILOTO
Budayawan
Bayangkan untuk pengguna Facebook saja dalam 10 tahun terakhir mencapai 1,23 miliar. Setiap harinya 48% terkoneksi dalam 70 bahasa. Belum lagi pengguna YouTube yang mencapai 1 miliar dan atau juga jenis lain semisal Twitter atau Google+.
Jelas mengungguli jumlah penduduk China atau Amerika Serikat. Tapi mungkin kita tak perlu ikut heboh, karena media sosial memiliki akar dan dinamika yang berbeda dengan dunia jurnalistik yang dikenal sebelumnya.
Maka kadang perlu dipertanyakan kembali apakah hadiah Jurnalistik Adinegoro—yang merupakan hadiah tertinggi untuk prestasi jurnalistik, pas diberikan untuk media sosial. Pertanyaaniniberawaldari adanya hadiah khusus dengan nama Adinegoro, yang setiap tahun diperingati dalam memperingati Hari Pers Nasional.
Jurnalisme ijen
Media sosial menemukan kelahiran, perkembangan dan kemudahan dari kemajuan pesat teknologi komunikasi. Pengguna—untuk sedikit membedakan dengan istilah wartawan, melakukan proses kreatifnya secara sendirian, ijen. Tak ada kontrol dari redaktur, atau redaktur pelaksana atau pemimpin redaksi. Tak ada penugasan akan pilihan topik— selain dirinya sendiri. Tak mengenal istilah deadline, tenggat waktu yang menjadi batasan. Dan karenanya tak mengenal perlu mendasari pada fakta atau data.
Berita yang ditampilkan bisa umpatan, unek- unek , atau bukan apa pun dalam kategori berita. Pengguna adalah ”pemilik” media, sekaligus pemimpin redaksi/ pemimpin perusahaan/ pimpinan umum. Kebebasan penuh dalam artian utuh dan tidak dipengaruhi siapa pun kecuali atas kemauan sendiri, dan tak dituntut tanggungjawab, karena bisa memakai nama samaran yang beragam.
Bandingkan wartawan media cetak yang mencantumkan nama atau inisialnya, atau nama boks para pengasuh yang berjenjang. Dengan kecilnya tanggung jawab yang bisa diminta, media sosial boleh saja tetap disebut karya jurnalisme, namun mempunyai perbedaan yang mendasar. Itu yang saya pertanyakan kepada Dewan Pers—satu-satunya bentuk dewan yang menolak subsidi pemerintah, memberikan hadiah karya jurnalistik Adinegoro, nama besar wartawan, juga sastrawan, yang diakui karya-karya besarnya.
Mungkin perlu dipertanyakan ulang, meskipun penghargaan itu bersifat khusus, dijuduli sebagai Kategori Jurnalistik Siber. Masalahnya selain tingkat kesulitan bagaimana menilai karya yang berserakan—atau yang sempat dikirimkan, adalah penyejajaran dalam pemilahan sebagai kerja jurnalistik.
Jurnalisme jerawat
Dengan akar pijak jurnalisme ijen, sorangan, pribadi, tanpa kontrol, dan koreksi orang lain sangat mungkin sekali masalahnya yang mengemuka juga lebih bersifat pribadi dengan salah satu cirinya memanjakan emosi menjadi emosional.
Contoh sederhana adalah ramainya perbincangan melalui Instagram yang diunggah Ibu Negara Ani Yudhoyono— yang saya istilahkan Anigram, karena beliau yang memopulerkan. Dan atau grup-grup yang menjadi relawan Jokowi atau sebaliknya.
Atau pribadi lain yang menggunakan para pengguna untuk hanya memanjakan tokoh tertentu, atau yang menjual obat kuat tahan lama. Semua bercampur, berhambur tanpa ada seleksi, tanpa ada pembesaran mana yang berdasar mana yang asal berkoar, tanpa akurasi, bahkan seperti saya katakan, tanpa pertanggungjawaban. Ini bisa merisaukan bagi yang dikaitkan, tapi juga bisa dianggap angin lalu pada yang tidak bersangkutan. Ibarat kata, seperti tumbuhnya jerawat.
Pada anak baru gede, jerawat adalah soal mati-hidup, soal tampak cantik-ganteng atau memalukan, sementara pada mereka yang melewati masa puber , menghadapinya tidak seangker itu.
Dengan demikian akan lebih baik jika menghadapi berita, kabar, opini semacam itu menjadi lebih bijak—untuk mempercayai atau hanya menertawai, membacai, menyeleksi atau kemudian mengeblok. Bukan karena apa, melainkan karena penggunaan telah menjadi wabah sosial. Be smart, jadilah bijak, barang kali kata sakti untuk mencermati dan melalui media sosial.
Jerawat memang perlu, dan selalu ada dalam kehidupan— juga kehidupan jurnalistik, namun tidak berarti kita menjebakkan diri, atau malah melegitimasinya. Dunia jurnalistik tak bisa ditanggalkan dengan tanggung jawabnya.
ARSWENDO ATMOWILOTO
Budayawan
(nfl)