Jejak Akil di pilkada
A
A
A
PASCA pengungkapan kasus gratifikasi sengketa pilkada di Gunung Mas dan Lebak, Banten, ternyata berdasarkan penyidikan oleh Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) masih berkembang kasus-kasus pilkada lain yang terdapat jejak permainan Akil, sang mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), di dalam berbagai kasus yang merupakan hasil pengembangan penyidikan KPK.
Dengan demikian, hingga saat ini jejak Akil dalam sengketa pilkada paling sedikit terdapat di sengketa Pilkada Gunung Mas, Lebak, Banten, Kota Palembang, Kabupaten Empat Lawang, Provinsi Lampung, Gubernur Bali, dan Kabupaten Halmahera. Hasil pengembangan terbaru juga mulai menguak jejak Akil dalam sengketa Pilkada Provinsi Jawa Timur yang akhirnya menampilkan pasangan Karsa sebagai pemenang dalam sengketa di MK.
Mencermati pengembangan penyidikan terhadap Akil Mochtar yang ternyata menunjukkan jejak Akil di berbagai kasus sengketa pilkada memperlihatkan bahwa gurita korupsi politik dalam pilkada telah berkembang secara horizontal (money politics) maupun secara vertikal (gratifikasi terhadap oknum hakim MK).
MK yang dinisbatkan sebagai penjaga konstitusi dalam menguji konstitusionalitas produk undangundang ternyata dalam berbagai perkara yang melibatkan Akil justru meruntuhkan wibawa konstitusi.
Itu disebabkan di era kepemimpinan Akil di MK justru turut menyuburkan dan bahkan melegalisasi korupsi politik melalui berbagai putusan sengketa pilkada yang dicemari gratifikasi politik.
Setelah ditangkap tangan di kediamannya oleh penyidik KPK pada 2 Oktober 2013, Akil kemudian ditetapkan sebagai tersangka suap terkait pengurusan sengketa Pilkada Lebak, Banten dan Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Dua surat perintah penyidikan pun langsung dikeluarkan KPK kepada Akil. Pada perkara ini, Akil dijerat dengan Pasal 12 huruf c, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12B UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP.
Berdasarkan Pasal 12 B UU Tipikor, Akil diduga menerima pemberian hadiah terkait kepengurusan perkara lain di MK. Selanjutnya mantan wakil ketua Komisi III DPR ini juga dijerat sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) berdasarkan Pasal 3 UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian.
Penerapan TPPU untuk Akil ini diputuskan dalam gelar perkara jajaran pimpinan dan penyidik KPK. Total sudah empat sprindik dikeluarkan KPK untuk Akil yang kini mendekam di tahanan KPK dan mulai memasuki persidangan di tipikor.
Kesalahan desain kewenangan MK?
Salah satu kewenangan MK untuk memutuskan sengketa pilkada disebabkan desain kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24 C UUD Negara RI 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf d UU No 24 Tahun 2003 telah memberikan kewenangan kepada MK memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Ditempatkan pilkada sebagai bagian dari rezim pemilu telah memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk terlibat dalam penyelesaian sengketa pilkada di berbagai daerah.
Pada awal pemberian kewenangan kepada MK untuk menyelesaikan sengketa pilkada dimaksudkan untuk memberikan kanal hukum yang berwibawa bagi penyelesaian konflik politik pilkada yang seringkali sarat potensi konflik horizontal.
Penyelesaian konflik pilkada oleh institusi negara yang menjadi salah satu pilar checks and balances kekuasaan negara kiranya dimaksudkan agar terwujud prinsip efektivitas, efisiensi, dan keadilan konstitusional oleh institusi negara yang sekaligus juga berposisi sebagai penafsir tunggal konstitusi (the sole interpreter of the constitution) dan penjaga konstitusi (the guardian of the constitution).
Dua atribut yang melekat pada kedudukan MK tersebut di masa lalu pernah menjadi jaminan bagi tegaknya keadilan konstitusional di negara yang menisbatkan dirinya sebagai negara konstitusional-demokrasi ini.
MK, secara teoretis sebagai the highest and the sole interpreter of the constitution,tak lain sebuah institusi yang menjadi tulang punggung tegaknya konstitusi di sebuah negara. Ini agar konstitusi di suatu negara, meminjam terminologi Hermann Heller, dapat difungsikan sebagai cermin kehidupan sosial politik yang nyata dalam masyarakat atau cermin dari faktor-faktor kekuatan riil dalam masyarakat.
Dengan posisinya sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution), MK harus tetap memastikan bahwa konstitusi pascaamendemen tetap menjadi organisasi dan bangunan hukum (forma formarum) republik reformasi ini.
Pada awal pengisian jabatan unsur-unsur hakim MK dengan sederet persyaratan personal yang harus dipenuhi, pembentuk undang-undang MK telah menentukan bahwa pintu masuk dari para hakim MK tersebut adalah melalui tiga pilar kekuasaan negara yaitu ditunjuk oleh presiden, DPR, dan MA.
Dengan begitu, kesembilan hakim MK tersebut menjadi penyeimbang dari konstelasi checks and balances dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pasca pengungkapan jejak Akil Mochtar di berbagai sengketa pilkada yang sempat menempatkan MK pada kedudukan yang membahayakan konstitusi karena delegitimasi terhadapnya secara implikatif juga mengarah pada tiadanya lagi yang dipercaya sebagai institusi formal untuk menegakkan keadilan konstitusional.
Keraguan publik terhadap kualitas hasil-hasil putusan MK dalam berbagai sengketa pilkada di masa lalu sulit untuk dielakkan karena kini jejak Akil mulai terkuak di berbagai sengketa pilkada berdasarkan pengembangan penyidikan KPK dari kasus suap Pilkada Lebak dan Gunung Mas.
Solusi transisional
Sejatinya secara teoretis masih mungkin untuk mengeluarkan kewenangan MK dalam menyelesaikan sengketa pilkada serta memberikan wewenang penyelesaian tersebut kepada MA. MK hanya diberi tiga wewenang yaitu menguji konstitusionalitas UU, sengketa antarlembaga negara, dan pembubaran parpol.
Namun, itu menghendaki amendemen konstitusi yang membutuhkan energi politik yang sangat besar. Karena itu, masih sulit memberikan solusi sistemik dan paradigmatik terkait purifikasi kewenangan MK tersebut. Jalan keluar transisional saat ini untuk sementara proses pengisian hakim MK melalui Perppu No 1 Tahun 2013 yang sudah disetujui menjadi UU perlu dilaksanakan secara akuntabel, transparan, partisipatif, dan objektif dengan melibatkan panel ahli serta kontrol publik.
Selain itu, karena kedudukan hakim MK yang memenuhi tipologi sebagai hakim seperti hakim-hakim di pilar yudikatif yang lain, kewenangan pengawasan KY yang telah dibuka melalui Perppu No 1 Tahun 2013 perlu digunakan sebagai momentum untuk mereformasi MK secara gradual dan sistemik. Sangat penting pula dilakukan desain ulang sistem pengawasan internal di lingkungan MK yang lebih intensif dan mengintegrasikan sistem whistle blowing.
Pengawasan secara fungsional oleh KY diimbangi dengan pengawasan internal secara lebih intensif diharapkan bisa menjadi solusi sementara sambil mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK.
DR W RIAWAN TJANDRA
Pengamat Hukum, Dosen FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Dengan demikian, hingga saat ini jejak Akil dalam sengketa pilkada paling sedikit terdapat di sengketa Pilkada Gunung Mas, Lebak, Banten, Kota Palembang, Kabupaten Empat Lawang, Provinsi Lampung, Gubernur Bali, dan Kabupaten Halmahera. Hasil pengembangan terbaru juga mulai menguak jejak Akil dalam sengketa Pilkada Provinsi Jawa Timur yang akhirnya menampilkan pasangan Karsa sebagai pemenang dalam sengketa di MK.
Mencermati pengembangan penyidikan terhadap Akil Mochtar yang ternyata menunjukkan jejak Akil di berbagai kasus sengketa pilkada memperlihatkan bahwa gurita korupsi politik dalam pilkada telah berkembang secara horizontal (money politics) maupun secara vertikal (gratifikasi terhadap oknum hakim MK).
MK yang dinisbatkan sebagai penjaga konstitusi dalam menguji konstitusionalitas produk undangundang ternyata dalam berbagai perkara yang melibatkan Akil justru meruntuhkan wibawa konstitusi.
Itu disebabkan di era kepemimpinan Akil di MK justru turut menyuburkan dan bahkan melegalisasi korupsi politik melalui berbagai putusan sengketa pilkada yang dicemari gratifikasi politik.
Setelah ditangkap tangan di kediamannya oleh penyidik KPK pada 2 Oktober 2013, Akil kemudian ditetapkan sebagai tersangka suap terkait pengurusan sengketa Pilkada Lebak, Banten dan Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Dua surat perintah penyidikan pun langsung dikeluarkan KPK kepada Akil. Pada perkara ini, Akil dijerat dengan Pasal 12 huruf c, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12B UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP.
Berdasarkan Pasal 12 B UU Tipikor, Akil diduga menerima pemberian hadiah terkait kepengurusan perkara lain di MK. Selanjutnya mantan wakil ketua Komisi III DPR ini juga dijerat sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) berdasarkan Pasal 3 UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian.
Penerapan TPPU untuk Akil ini diputuskan dalam gelar perkara jajaran pimpinan dan penyidik KPK. Total sudah empat sprindik dikeluarkan KPK untuk Akil yang kini mendekam di tahanan KPK dan mulai memasuki persidangan di tipikor.
Kesalahan desain kewenangan MK?
Salah satu kewenangan MK untuk memutuskan sengketa pilkada disebabkan desain kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24 C UUD Negara RI 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf d UU No 24 Tahun 2003 telah memberikan kewenangan kepada MK memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Ditempatkan pilkada sebagai bagian dari rezim pemilu telah memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk terlibat dalam penyelesaian sengketa pilkada di berbagai daerah.
Pada awal pemberian kewenangan kepada MK untuk menyelesaikan sengketa pilkada dimaksudkan untuk memberikan kanal hukum yang berwibawa bagi penyelesaian konflik politik pilkada yang seringkali sarat potensi konflik horizontal.
Penyelesaian konflik pilkada oleh institusi negara yang menjadi salah satu pilar checks and balances kekuasaan negara kiranya dimaksudkan agar terwujud prinsip efektivitas, efisiensi, dan keadilan konstitusional oleh institusi negara yang sekaligus juga berposisi sebagai penafsir tunggal konstitusi (the sole interpreter of the constitution) dan penjaga konstitusi (the guardian of the constitution).
Dua atribut yang melekat pada kedudukan MK tersebut di masa lalu pernah menjadi jaminan bagi tegaknya keadilan konstitusional di negara yang menisbatkan dirinya sebagai negara konstitusional-demokrasi ini.
MK, secara teoretis sebagai the highest and the sole interpreter of the constitution,tak lain sebuah institusi yang menjadi tulang punggung tegaknya konstitusi di sebuah negara. Ini agar konstitusi di suatu negara, meminjam terminologi Hermann Heller, dapat difungsikan sebagai cermin kehidupan sosial politik yang nyata dalam masyarakat atau cermin dari faktor-faktor kekuatan riil dalam masyarakat.
Dengan posisinya sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution), MK harus tetap memastikan bahwa konstitusi pascaamendemen tetap menjadi organisasi dan bangunan hukum (forma formarum) republik reformasi ini.
Pada awal pengisian jabatan unsur-unsur hakim MK dengan sederet persyaratan personal yang harus dipenuhi, pembentuk undang-undang MK telah menentukan bahwa pintu masuk dari para hakim MK tersebut adalah melalui tiga pilar kekuasaan negara yaitu ditunjuk oleh presiden, DPR, dan MA.
Dengan begitu, kesembilan hakim MK tersebut menjadi penyeimbang dari konstelasi checks and balances dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pasca pengungkapan jejak Akil Mochtar di berbagai sengketa pilkada yang sempat menempatkan MK pada kedudukan yang membahayakan konstitusi karena delegitimasi terhadapnya secara implikatif juga mengarah pada tiadanya lagi yang dipercaya sebagai institusi formal untuk menegakkan keadilan konstitusional.
Keraguan publik terhadap kualitas hasil-hasil putusan MK dalam berbagai sengketa pilkada di masa lalu sulit untuk dielakkan karena kini jejak Akil mulai terkuak di berbagai sengketa pilkada berdasarkan pengembangan penyidikan KPK dari kasus suap Pilkada Lebak dan Gunung Mas.
Solusi transisional
Sejatinya secara teoretis masih mungkin untuk mengeluarkan kewenangan MK dalam menyelesaikan sengketa pilkada serta memberikan wewenang penyelesaian tersebut kepada MA. MK hanya diberi tiga wewenang yaitu menguji konstitusionalitas UU, sengketa antarlembaga negara, dan pembubaran parpol.
Namun, itu menghendaki amendemen konstitusi yang membutuhkan energi politik yang sangat besar. Karena itu, masih sulit memberikan solusi sistemik dan paradigmatik terkait purifikasi kewenangan MK tersebut. Jalan keluar transisional saat ini untuk sementara proses pengisian hakim MK melalui Perppu No 1 Tahun 2013 yang sudah disetujui menjadi UU perlu dilaksanakan secara akuntabel, transparan, partisipatif, dan objektif dengan melibatkan panel ahli serta kontrol publik.
Selain itu, karena kedudukan hakim MK yang memenuhi tipologi sebagai hakim seperti hakim-hakim di pilar yudikatif yang lain, kewenangan pengawasan KY yang telah dibuka melalui Perppu No 1 Tahun 2013 perlu digunakan sebagai momentum untuk mereformasi MK secara gradual dan sistemik. Sangat penting pula dilakukan desain ulang sistem pengawasan internal di lingkungan MK yang lebih intensif dan mengintegrasikan sistem whistle blowing.
Pengawasan secara fungsional oleh KY diimbangi dengan pengawasan internal secara lebih intensif diharapkan bisa menjadi solusi sementara sambil mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK.
DR W RIAWAN TJANDRA
Pengamat Hukum, Dosen FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
(nfl)