Konstitusionalitas Pemilu 2014
A
A
A
MEMASUKI tahun 2014 hingar-bingar politik mulai terasa. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemilihan umum (pemilu) serentak menjadi bahan perdebatan.
MK mengeluarkan putusan yang pada intinya menyatakan bahwa pemisahan penyelenggaraan antara pemilu legislatif dan pemilu presiden bertentangan dengan UUD 1945. Akan tetapi dalam salah satu amarnya, MK juga memutuskan bahwa hal tersebut berlaku untuk penyelenggaraan Pemilu 2019 dan seterusnya.
Apabila diperbandingkan, dua amar tersebut terlihat bertentangan. Pertanyaannya kini, akankah Pemilu 2014 yang tidak dilaksanakan serentak menjadi inkonstitusional? Sebab telah ada putusan MK yang mencabut ketentuan UU tentang Pemisahan Penyelenggaraan Pemilu.
Akibat hukum putusan MK
Berangkat dari pemahaman tersebut, banyak pihak mulai dari pengamat, praktisi, hingga politisi berpendapat bahwa Pemilu 2014 apabila tidak dilaksanakan secara serentak akan menjadi inkonstitusional. Alhasil, presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif yang terpilih dari hasil pemilu tahun ini juga tidak akan memiliki legitimasi konstitusional.
Dari perspektif konstitusi, menurut penulis, pendapat tersebut tidaklah tepat. Apalagi jika inti permasalahannya hanya karena didasari pada akibat hukum putusan MK yang diberlakukan masa mendatang.
Seyogianya putusan MK harus dilihat secara utuh, bukan saja terbatas dalam satu putusan yang sama, melainkan juga terhadap putusan-putusan sebelumnya. Dalam beberapa putusan MK telah terdapat yurisprudensi terkait penetapan masa berlaku dan akibat hukum dari suatu putusan.
Dalam judicial review UU Tipikor (2009), MK menyatakan bahwa dualisme sistem peradilan tipikor bertentangan dengan UUD 1945. Tetapi, MK menegaskan bahwa ketentuan yang bertentangan tersebut masih tetap berlaku paling lama hingga tiga tahun sejak putusan tersebut dibacakan. Contoh lain, MK pernah memutus inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) dalam perkara judicial review UU Advokat (2006).
Putusan tersebut menyatakan bahwa ketentuan tentang pengambilan sumpah advokat dinilai bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak memenuhi syarat yang dimaksud MK dalam jangka waktu dua tahun sejak amar putusan diucapkan.
Jikalau ada yang berpendapat bahwa putusan semacam itu tidak dapat diberlakukan dalam konteks pemilu (Opini SINDO, 29/1), perlu juga dibuka yurisprudensi MK dalam Putusan Nomor 110-111-112-113/ PUU-VII/2009 terkait penetapan anggota DPR berdasar perhitungan tahap III.
Dalam putusan tersebut, MK bahkan mengeluarkan putusan dengan akibat hukum yang berlaku surut (retroaktif) untuk pertama kalinya. Belum lagi beragam putusan lain yang berkorelasi dengan variasi akibat hukum dari suatu putusan MK, baik yang terkait pemilu maupun tidak.
Diskursus mengenai akibat hukum dari putusan MK sebenarnya tidak saja terjadi di Indonesia, namun juga di banyak negara. Karena itu, selain perlu merujuk pada hukum positif yang ada, kita perlu juga melihat praktik internasional yang berkembang menggunakan metode perbandingan konstitusi.
Praktik internasional
Di tengah permasalahan ketatanegaraan yang kian kompleks, pendekatan klasik dalam konteks penyelesaian kasus judicial review terkadang memang tidak dimungkinkan untuk diputuskan berdasar ketentuan yang rigid (Brewer-Carías, 2012).
Sebab itu, pelarangan absolut terhadap putusan MK yang ultra-petita ataupun putusan yang menciptakan norma baru kini sudah mulai dikesampingkan di dalam praktik internasional. Begitu pula dengan teori tunggal mengenai akibat hukum dari sebuah putusan.
Dalam kondisi tertentu, MK di banyak negara juga kerap mengeluarkan putusan dengan akibat hukum yang beragam. Hal tersebut justru kian lazim dewasa ini. Perbedaannya, terdapat negara yang melakukannya berdasarkan penafsiran konstitusi, namun ada juga yang melakukannya berdasar kewenangan yang diberikan secara langsung.
Dalam perkara konstitusi, baik Amerika Serikat maupun Jerman tidak jarang mengeluarkan putusan yang berlaku surut untuk mengurangi dampak negatif atau ketidakadilan dari suatu ketentuan yang dinilai inkonstitusional (Grant, 1978; Itzcovich, 2008;).
Kecenderungan putusan semacam ini juga telah menjadi prinsip umum yang diterapkan di Prancis, Spanyol, Peru, dan Meksiko (Revorio, 2001; Segado, 2008; Belaúnde, dan Cruz, 2008). Di negara lain, seperti Venezuela, Brasil, dan Kolombia, mereka telah memberikan kewenangan langsung kepada MK untuk menentukan akibat hukum sementara dalam pembuatan putusannya (Schäfer dan Almedia, 2008; Zamudio dan Mac Gregor, 2008).
Praktik konstitusi yang berkembang di banyak negara tentu dapat dipergunakan untuk melihat kerangka penyelesaian masalah-masalah konstitusi. Dalam teori universalis, praktik dan putusan MK dari negara lain juga dapat dirujuk sebagai identifikasi dan interpretasi dalam penanganan kasus-kasus konstitusi (Aroney, 2008; Jackson, 2005).
Kepastian hukum
Melalui perspektif konstitusi, berdasarkan yurisprudensi dan praktik konstitusi di banyak negara, akibat hukum dari suatu putusan MK yang berlaku masa mendatang adalah jamak terjadi. Dengan demikian, penyelenggaraan Pemilu 2014 yang tidak serentak atas dasar putusan MK menjadi tetap konstitusional.
Perbedaan pandangan dalam menyikapi putusan MK tentu sudah menjadi hal yang lumrah selama ini. Kendati demikian, pelaksana penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan para calon pemilih perlu diberikan kepastian hukum.
Jangan sampai mereka terombang-ambing dengan wacana yang ada. Untuk jaminan dan kepastian hukum, setidaknya siapa pun dapat merujuk pada pertimbangan hukum putusan MK yang menegaskan, ”…penyelenggaraan pilpres dan pemilu anggota lembaga perwakilan tahun 2009 dan 2014 yang diselenggarakan secara tidak serentak dengan segala akibat hukumnya harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional”(hal 86-87).
Menurut penulis, putusan ini sudah cukup dijadikan landasan kepastian hukum terhadap konstitusionalitas Pemilu 2014 beserta segala akibatnya sebab suatu putusan MK memiliki kekuatan hukum mengikat yang juga setara dengan undang-undang.*)Artikel ini pandangan pribadi
PAN MOHAMAD FAIZ
Kandidat Ph D Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Center for Public, International and Comparative Law (CPICL) di School of Law, University of Queensland, Australia, Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Australia
MK mengeluarkan putusan yang pada intinya menyatakan bahwa pemisahan penyelenggaraan antara pemilu legislatif dan pemilu presiden bertentangan dengan UUD 1945. Akan tetapi dalam salah satu amarnya, MK juga memutuskan bahwa hal tersebut berlaku untuk penyelenggaraan Pemilu 2019 dan seterusnya.
Apabila diperbandingkan, dua amar tersebut terlihat bertentangan. Pertanyaannya kini, akankah Pemilu 2014 yang tidak dilaksanakan serentak menjadi inkonstitusional? Sebab telah ada putusan MK yang mencabut ketentuan UU tentang Pemisahan Penyelenggaraan Pemilu.
Akibat hukum putusan MK
Berangkat dari pemahaman tersebut, banyak pihak mulai dari pengamat, praktisi, hingga politisi berpendapat bahwa Pemilu 2014 apabila tidak dilaksanakan secara serentak akan menjadi inkonstitusional. Alhasil, presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif yang terpilih dari hasil pemilu tahun ini juga tidak akan memiliki legitimasi konstitusional.
Dari perspektif konstitusi, menurut penulis, pendapat tersebut tidaklah tepat. Apalagi jika inti permasalahannya hanya karena didasari pada akibat hukum putusan MK yang diberlakukan masa mendatang.
Seyogianya putusan MK harus dilihat secara utuh, bukan saja terbatas dalam satu putusan yang sama, melainkan juga terhadap putusan-putusan sebelumnya. Dalam beberapa putusan MK telah terdapat yurisprudensi terkait penetapan masa berlaku dan akibat hukum dari suatu putusan.
Dalam judicial review UU Tipikor (2009), MK menyatakan bahwa dualisme sistem peradilan tipikor bertentangan dengan UUD 1945. Tetapi, MK menegaskan bahwa ketentuan yang bertentangan tersebut masih tetap berlaku paling lama hingga tiga tahun sejak putusan tersebut dibacakan. Contoh lain, MK pernah memutus inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) dalam perkara judicial review UU Advokat (2006).
Putusan tersebut menyatakan bahwa ketentuan tentang pengambilan sumpah advokat dinilai bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak memenuhi syarat yang dimaksud MK dalam jangka waktu dua tahun sejak amar putusan diucapkan.
Jikalau ada yang berpendapat bahwa putusan semacam itu tidak dapat diberlakukan dalam konteks pemilu (Opini SINDO, 29/1), perlu juga dibuka yurisprudensi MK dalam Putusan Nomor 110-111-112-113/ PUU-VII/2009 terkait penetapan anggota DPR berdasar perhitungan tahap III.
Dalam putusan tersebut, MK bahkan mengeluarkan putusan dengan akibat hukum yang berlaku surut (retroaktif) untuk pertama kalinya. Belum lagi beragam putusan lain yang berkorelasi dengan variasi akibat hukum dari suatu putusan MK, baik yang terkait pemilu maupun tidak.
Diskursus mengenai akibat hukum dari putusan MK sebenarnya tidak saja terjadi di Indonesia, namun juga di banyak negara. Karena itu, selain perlu merujuk pada hukum positif yang ada, kita perlu juga melihat praktik internasional yang berkembang menggunakan metode perbandingan konstitusi.
Praktik internasional
Di tengah permasalahan ketatanegaraan yang kian kompleks, pendekatan klasik dalam konteks penyelesaian kasus judicial review terkadang memang tidak dimungkinkan untuk diputuskan berdasar ketentuan yang rigid (Brewer-Carías, 2012).
Sebab itu, pelarangan absolut terhadap putusan MK yang ultra-petita ataupun putusan yang menciptakan norma baru kini sudah mulai dikesampingkan di dalam praktik internasional. Begitu pula dengan teori tunggal mengenai akibat hukum dari sebuah putusan.
Dalam kondisi tertentu, MK di banyak negara juga kerap mengeluarkan putusan dengan akibat hukum yang beragam. Hal tersebut justru kian lazim dewasa ini. Perbedaannya, terdapat negara yang melakukannya berdasarkan penafsiran konstitusi, namun ada juga yang melakukannya berdasar kewenangan yang diberikan secara langsung.
Dalam perkara konstitusi, baik Amerika Serikat maupun Jerman tidak jarang mengeluarkan putusan yang berlaku surut untuk mengurangi dampak negatif atau ketidakadilan dari suatu ketentuan yang dinilai inkonstitusional (Grant, 1978; Itzcovich, 2008;).
Kecenderungan putusan semacam ini juga telah menjadi prinsip umum yang diterapkan di Prancis, Spanyol, Peru, dan Meksiko (Revorio, 2001; Segado, 2008; Belaúnde, dan Cruz, 2008). Di negara lain, seperti Venezuela, Brasil, dan Kolombia, mereka telah memberikan kewenangan langsung kepada MK untuk menentukan akibat hukum sementara dalam pembuatan putusannya (Schäfer dan Almedia, 2008; Zamudio dan Mac Gregor, 2008).
Praktik konstitusi yang berkembang di banyak negara tentu dapat dipergunakan untuk melihat kerangka penyelesaian masalah-masalah konstitusi. Dalam teori universalis, praktik dan putusan MK dari negara lain juga dapat dirujuk sebagai identifikasi dan interpretasi dalam penanganan kasus-kasus konstitusi (Aroney, 2008; Jackson, 2005).
Kepastian hukum
Melalui perspektif konstitusi, berdasarkan yurisprudensi dan praktik konstitusi di banyak negara, akibat hukum dari suatu putusan MK yang berlaku masa mendatang adalah jamak terjadi. Dengan demikian, penyelenggaraan Pemilu 2014 yang tidak serentak atas dasar putusan MK menjadi tetap konstitusional.
Perbedaan pandangan dalam menyikapi putusan MK tentu sudah menjadi hal yang lumrah selama ini. Kendati demikian, pelaksana penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan para calon pemilih perlu diberikan kepastian hukum.
Jangan sampai mereka terombang-ambing dengan wacana yang ada. Untuk jaminan dan kepastian hukum, setidaknya siapa pun dapat merujuk pada pertimbangan hukum putusan MK yang menegaskan, ”…penyelenggaraan pilpres dan pemilu anggota lembaga perwakilan tahun 2009 dan 2014 yang diselenggarakan secara tidak serentak dengan segala akibat hukumnya harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional”(hal 86-87).
Menurut penulis, putusan ini sudah cukup dijadikan landasan kepastian hukum terhadap konstitusionalitas Pemilu 2014 beserta segala akibatnya sebab suatu putusan MK memiliki kekuatan hukum mengikat yang juga setara dengan undang-undang.*)Artikel ini pandangan pribadi
PAN MOHAMAD FAIZ
Kandidat Ph D Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Center for Public, International and Comparative Law (CPICL) di School of Law, University of Queensland, Australia, Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Australia
(nfl)