Ulama dan negarawan dari pesantren

Sabtu, 25 Januari 2014 - 06:31 WIB
Ulama dan negarawan...
Ulama dan negarawan dari pesantren
A A A
KABAR meninggalnya KH Sahal Mahfudz (Kiai Sahal), Jumat (24/1/2014), menyisakan duka mendalam bagi bangsa Indonesia, terutama bagi warga NU.

Ulama kharismatik itu rais aam Pengurus Besar NU dan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Ketokohan dan keulamaan Kiai Sahal tak perlu diragukan. Ia satu dari sekian banyak kiai dan ulama NU yang sumbangsihnya terhadap bangsa dan negara sangat besar. Karena itulah, kiai yang dikenal santun itu sampai terpilih sebagai rais aamPengurus Besar NU hingga tiga periode.

Kali pertama Kiai Sahal terpilih sebagai rais aam pada Muktamar Ke-30 NU yang digelar di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, 1999. Kala itu Kiai Sahal terpilih sebagai rais aam bersama KH Hasyim Muzadi yang terpilih sebagai ketua umum. Kiai Sahal menggantikan KH Ilyas Ruchiyat dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Sedangkan Kiai Hasyim menggantikan KH Abdurrahman Wahid. Kiai Sahal menjadi rais aam Pengurus Besar NU ke-8 (1999-sekarang) dalam sejarah panjangNU.

Jabatan rais aam pernah dipegang oleh Hadratus Syekh KH M Hasyim Asy’ari (1926- 1947), KH A Wahab Hasbullah (1947-1971), KH Bisri Syansuri (1971-1980), KH Ali Maksum (1982-1984), KH Ahmad Siddiq (1984-1991), KH Ilyas Ruhiyat/ Pjs (1992-1999), dan Kiai Sahal (1999-Sekarang).

Setelah lima tahun memimpin NU,duet Kiai Sahal-Kiai Hasyim dinilai sukses memimpin NU. Itu sekaligus menjawab keraguan orang terhadap kepemimpinan dua tokoh tersebut. Selanjutnya, pada Muktamar Ke-31 NU di Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah, 28 November- 2 Desember 2004, Kiai Sahal-Kiai Hasyim kembali maju sebagai calon rais aam dan ketua umum PBNU.

Hasilnya, baik Kiai Sahal maupun Kiai Hasyim bisa mengungguli para pesaingnya. Dua tokoh ini terpilih untuk periode kedua (2004-2009) lewat muktamar yang berlangsung sangat panas. Situasi itu tercipta sebagai dampak dari pertarungan politik Pilpres 2004. Tokoh-tokoh PKB yang saat itu membawa isu NU kultural mendorong Gus Dur kembali memimpin NU.

Mereka bersimpang jalan dengan Kiai Sahal dan Kiai Hasyim yang diidentikkan dengan kekuatan NU struktural. Panasnya suasana muktamar memunculkan dua poros pesantren besar kharismatik di Jawa Timur yaitu Poros Lirboyo dan Poros Langitan. Poros Langitan dengan figur sentral KH Abdullah Faqih (Langitan, Tuban) dan Gus Dur. Sedangkan Poros Lirboyo dengan figur sentral KH Idris Marzuki dan Kiai Hasyim Muzadi.

Poros Lirboyo mengusung Kiai Sahal untuk posisi rais aam. Sedangkan Poros Langitan menampilkan Gus Dur. Untuk posisi ketua umum, mereka mengajukan Kiai Hasyim sebagai kandidat. Sedangkan Poros Langitan mengajukan nama KH Masdar Farid Mas’udi. Dalam muktamar itu, pemilihan rais aam dan ketua umum dilakukan dalam dua tahap yakni tahap pencalonan dan tahap pemilihan.

Sesuai ketentuan, calon rais aam dan ketua umum dianggap sah apabila mendapat dukungan minimal 99 suara dari 465 suara peserta muktamar. Dalam proses pemilihan rais aam, Kiai Sahal mendapat dukungan 363 suara, Gus Dur 75 suara, KH Said Aqil Siradj 1 suara, Alwi Shihab 2 suara, Gus Mus 3 suara, Agung Rahman Sabang 1 suara, abstain dan tak sah masing-masing satu suara.

Dengan demikian, jumlah suara secara keseluruhan 452 suara. Berdasar tata tertib pemilihan, dukungan suara yang diperoleh Gus Dur di bawah ketentuan. Dengan demikian, mantan ketua umum PBNU tiga periode itu tak bisa melanjutkan ke babak selanjutnya. Tata tertib pemilihan menyebutkan, dukungan minimal yang diperoleh calon rais aam dan calon ketua umum minimal 99 suara.

Dengan demikian, Kiai Sahal terpilih kali kedua sebagai pimpinan puncak di organisasi yang didirikan KH Hasyim Asy’ari tersebut. Sedangkan pada pemilihan ketua umum PBNU, pada putaran pertama Kiai Hasyim mendapat dukungan 293 suara, KH Masdar Farid Masudi mendapat 103 suara, Gus Mus 35 suara, Gus Dur 2 suara, Alwi Shihab 4 suara, abstain 1 suara, dan ada beberapa tokoh NU mendapat masing-masing satu suara seperti KH Tolchah Hasan, Gus Hasib, Qomari, dan lain-lain.

Pada pemilihan putaran kedua, Kiai Hasyim tak terbendung. Ia mendapat dukungan 346 suara, sedangkan KH Masdar Farid Mas’udi 99 suara, suara tak sah 3 suara, dan abstain 1 suara. Pada Muktamar Ke-32 di Makassar, sinar ketokohan Kiai Sahal masih terang. Mayoritas peserta muktamar masih menghendakinya kembali menjadi rais aam.

Dalam pemilihan rais aam tahap pencalonan, Kiai Sahal mendapat dukungan cukup besar bersama Kiai Hasyim. Namun, ketika hendak memasuki tahap pemilihan, Kiai Hasyim menyatakan mundur sehingga jabatan rais aam kembali diduduki Kiai Sahal untuk periode ketiga. Sedangkan posisi ketua umum dipegang KH Said Aqil Siradj.

Di MUI keulamaan Kiai Sahal jadi panutan. Selain pernah memimpin MUI, Jawa Tengah selama 10 tahun, Kiai Sahal juga didaulat menjadi ketua umum MUI sejak Juni 2000 hingga kini. Sedangkan dalam bidang pendidikan, selain memimpin Pesantren Maslakul Huda sejak 1963, Kiai Sahal juga menjabat rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama (Inisnu), Jepara, Jawa Tengah, sejak 1989.

Kiai Sahal yang lahir di Kajen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, dikenal masyarakat luas sebagai ulama ahli fikih. Berkat ketinggian keilmuannya, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menganugerahinya gelar doktor honoris causa dalam bidang Fikih Sosial.

Sebagai pemimpin NU, Kiai Sahal adalah sosok ulama yang konsisten menjaga khitah NU. Politik kekuasaan yang disebut Kiai Sahal dengan low politics (politik tingkat rendah) adalah wilayah partai politik dan warga negara, termasuk warga NU secara perseorangan. Sedangkan NU sebagai lembaga harus steril dari politik seperti itu. Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi (high politics) yakni politik kebangsaan, kerakyatan, dan etika berpolitik.

Dalam pandangan Kiai Sahal, politik kebangsaan berarti NU harus konsisten dan proaktif mempertahankan NKRI sebagai wujud final negara. Politik kerakyatan dimaknai Kiai Sahal sebagai perjuangan aktif NU memberikan penyadaran tentang hak-hak dan kewajiban rakyat, melindungi dan membela mereka dari kezaliman dari pihak mana pun.

Dengan menjaga NU untuk bergerak pada tataran politik tingkat tinggi inilah, menurut Kiai Sahal, jalinan persaudaraan warga NU dapat tetap terpelihara. Sebaliknya, manakala NU secara kelembagaan telah diseret ke pusaran politik praktis, warga NU akan tercabik-cabik karena itu. Maraknya terorisme di Indonesia mendapat perhatian khusus Kiai Sahal.

Dalam pandangannya, strategi deradikalisai yang selama ini diterapkan Indonesia bisa disebut gagal. Penyebabnya, penerapan strategi yang hanya bersifat parsial dan tak menyentuh akar persoalan yang sebenarnya. Karena itu, menurutnya, dibutuhkan format baru dengan melibatkan unsur pendidikan dan lembaga agama seperti pesantren.

Tujuannya adalah mencetak kader penggerak perdamaian di berbagai kawasan Indonesia. Selain itu, konsep Islam Rahmatan lil-Alamin yang selama ini dikembangkan NU juga dapat menjadi kunci dan landasan untuk menanggulangi kasus-kasus kekerasan dan terorisme.

Sebagai negarawan, pemikiran Kiai Sahal tentang hubungan agama dan negara sangat jelas yaitu beraliran inklusif substantif sehingga menjamin terselenggaranya negara tanpa berhadap-hadapan dengan agama dan menjamin agama tidak ditinggalkan oleh negara.

Kiai Sahal pun dikenal sebagai tokoh yang moderat, bukan ekstrem bukan pula liberal. Kiai Sahal mengayomi siapa saja dengan keluasan pemikiran dan pemersatu yang santun. Selamat jalan Kiai Sahal.

AHMAD MILLAH HASAN
Mantan Aktivis PP IPNU dan PB PMII/ Mantan Wartawan
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8788 seconds (0.1#10.140)