Pilpres dan pertaruhan demokrasi
A
A
A
DI pengujung 2013, saya bersama para pakar lainnya diundang pada sebuah diskusi mengenai tahun kegaduhan politik dan momentum menjaga pertumbuhan ekonomi di tahun 2014.
Tema tersebut dianggap penting karena di tahun 2014 akan digelar hajatan besar demokrasi berupa pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) yang sudah tentu berimplikasi pada dinamika politik dan ekonomi.
Untuk yang disebut terakhir, yakni pilpres, agaknya menarik untuk didiskusikan lebih lanjut—tanpa bermaksud mengecilkan aspek-aspek lain— karena sangat erat kaitannya dengan kepemimpinan nasional yang diharapkan mampu membawa perubahan bangsa ke arah yang lebih baik.
Hajatan nasional kali ini juga punya makna tersendiri karena berlangsung di tengah tekanan ekonomi dunia yang belum sepenuhnya pulih akibat krisis keuangan global. Karena itu, kita harus mampu mengambil momentum ini untuk terus bergerak maju sekaligus mampu mengidentifikasi peluang dan tantangan yang ada di depan mata. Ada satu pertanyaan mendasar yang patut diajukan: sosok capres seperti apakah yang layak memimpin Indonesia di masa depan?
Pertanyaan ini menjadi penting karena berbagai kalangan meramal, misalnya, Mckinsey (2012), bahwa Indonesia akan menjadi negara maju dalam beberapa tahun ke depan, termasuk menjadi ekonomi nomor tujuh di dunia. Namun, di lain pihak, kita akui masih banyak persoalan mendesak yang membutuhkan solusi dan kerja konkret, semisal pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pembangunan, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Karena itu, di masa depan bangsa kita membutuhkan energi dan terobosan baru oleh seorang pemimpin baru. Pemimpin yang dimaksud, bukan hanya visioner, namun sekaligus mampu menggerakkan dan menjamin proses transformasi bagi penentuan nasib bangsa. Meski hal ini bukan satu-satunya “panacea”—obat mujarab yang bisa mengobati semua penyakit— namun setidaknya kita berharap pilpres ini sebagai pintu masuk jawaban solutif bagi sederet persoalan bangsa.
Pilpres tersebut hendaknya tak hanya menciptakan sesi panggung dan berlalu begitu saja tanpa makna. Lebih dari itu, momentum ini hendaknya mampu menjadi tonggak sejarah untuk merajut dan menata kembali sendi-sendi kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang dirasa mulai kehilangan ruhnya.
Pekerjaan rumah
Terwujudnya kemakmuran bangsa sebagai tujuan utama perubahan struktur politik melalui pemilu, menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar lagi. Hal ini berarti, demokrasi akan bermakna manakala mampu menghasilkan kemakmuran rakyat.
Masa depan demokrasi dengan demikian sangat bergantung pada besar kecilnya manfaat kemakmuran yang dicapai. Selama ini, yang terkesan adalah sebuah potret hubungan demokrasi dan kemakmuran yang masih belum seimbang.
Hanya di sebagian kecil wilayah atau daerah saja yang dapat dirasakan hubungan signifikan antara demokrasi dan kemakmuran. Sementara di wilayah atau daerah lain hubungan antara kedua hal tersebut masih belum tampak. Karena itu, dirasa wajar jika muncul semacam frustrasi sosial tertentu di beberapa daerah yang berujung pada sikap apatis pada proses demokrasi sebagai pilihan mencari solusi rakyat.
Karena itu, seleksi kepemimpinan nasional tahun ini harus mampu menghasilkan pasangan presiden yang benarbenar bisa memahami berbagai tantangan Indonesia di masa depan. Seorang pemimpin yang memiliki strategi dan perencanaan yang jelas untuk menyelesaikan sederet permasalahan bangsa sekaligus menghadapi tantangan global.
Dilihat dari deretan persoalan bangsa yang sampai hari ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi presiden mendatang adalah soal peningkatan kemakmuran, pemerataan pembangunan, pemberantasan terorisme, narkoba dan korupsi. Penanganan berbagai pekerjaan rumah tersebut tidak bisa secara parsial, namun harus komprehensif dan bersinergi.
Peraih Nobel Ekonomi Joseph E Stiglitz (2012) berpendapat bahwa pembenahan berbagai persoalan yang dihadapi sebuah negara mutlak membutuhkan kebijakan pemerintah yang tepat dan tersinergi antarlembaga yang ada di dalamnya. Permasalahan peningkatan kemakmuran serta ketimpangan pembangunan dan ekonomi juga membutuhkan penanganan yang demikian.
Hal ini merupakan cita-cita bernegara dan berbangsa sebagaimana amanah konstitusi kita. Sebaiknya kita tidak terlalu terlena dengan berbagai ramalan yang menyebut Indonesia akan menjadi salah satu negara raksasa secara ekonomi di tingkat Asia dan bahkan dunia. Pandangan seperti itu cukuplah membuat kita bangga di tengah negara-negara di Eropa mengalami guncangan ekonomi.
Namun, semua itu tak bermakna manakala tak dibuktikan dengan peningkatan kemakmuran rakyat kita sendiri. Sesekali kita perlu menyempatkan diri berkunjung dan merasakan denyut kehidupan di berbagai pelosok daerah yang masih terbelakang.
Kita akan mendapati sebuah kenyataan bahwa disparitas dan ketimpangan masih begitu mencolok. Agaknya menjadi paradoks pembangunan yang selama ini mengedepankan pertumbuhan ekonomi ketimbang kualitas pemerataan itu sendiri.
Tren ketimpangan kian memburuk, terutama sejak krisis ekonomi 1998. Indeks ini yang menggambarkan tingkat ketimpangan meningkat dari 0,33 tahun 2002 menjadi 0,37 tahun 2009 dan menembus angkat 0,4 pada 2011.
Ketimpangan tersebut terjadi secara multidimensi: antarwilayah, antarsektor, dan antarkelompok pendapatan. Pertanyaan gugatan yang layak kita ajukan: mengapa tren ketimpangan justru semakin meningkat di tengah pertumbuhan ekonomi yang juga semakin meningkat?
Ketimpangan spasial muncul akibat pemusatan pembangunan selama 20–30 tahun lalu yang hingga sekarang tak mengalami banyak perubahan. Di luar itu, peningkatan pertumbuhan ekonomi juga tak dibarengi dengan penurunan secara signifikan angka kemiskinan dan pengangguran karena kue nasional terkonsentrasi pada kelompok 20% terkaya. Pangsa kelompok ini terus naik dari 41,24% (1999) menjadi 46,45% (2011) dan 48,94% pada 2012.
Sementara perolehan 40% penduduk termiskin turun dari 21,22% (1999) menjadi 17,6% (2011) dan 16,88% pada 2012. Ini menunjukkan kegagalan bangsa ini mengatasi problem ketimpangan karena kebijakan pembangunan yang kurang terdistribusi ke daerah tertinggal dan dibelokkan demi kepentingan sesaat, baik oleh kepentingan politik maupun kartel usaha. Persoalan terorisme dan narkoba juga masih menjadi keprihatinan kita.
Belum lama ini aksi yang diduga kuat jaringan terorisme masih menggeliat. Meski telah dilakukan penggerebekan, namun kita yakini jaringan itu masih eksis di bawah tanah. Begitu juga masalah penyalahgunaan narkoba yang belakangan semakin membuat hati kita tersayat. Jaringan bandar dan pengedar narkoba, ternyata dikendalikan dari dalam penjara, meskipun belakangan sudah tertangkap.
Begitu pula masalah korupsi, saat ini benar-benar telah menunjukkan skala merata dan masif yang—secara sadar maupun tidak—telah menciderai tatanan demokrasi. Mereka yang terpilih menjadi pemimpin, termasuk di daerah, ternyata sebagian dari mereka juga tak luput dari jeratan korupsi. Memang, selama ini telah banyak langkah yang diambil pemerintah untuk mengatasi semua itu.
Namun, kebijakan yang diambil lebih banyak bersifat parsial dan tambal sulam. Oleh karena itu, salah satu ikhtiar untuk melakukan perubahan bangsa ke arah yang lebih baik adalah dengan cara pemilihan presiden.
Presiden terpilih nanti hendaknya memiliki visi yang jauh ke depan, integritas tinggi, dan mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik yang ucapannya sejalan dengan tindakan. Tentu semua itu tak semudah membalikkan telapak tangan.
Namun, demokrasi sebagai hasil reformasi politik, setidaknya telah menyediakan jalan terbaiknya melalui pembentukan kelembagaan politik dan ekonomi secara demokratis, inklusif, dan transparan. Dengan begitu, gugatan klise seperti terurai di atas segera dapat jawaban atas terpilihnya pemimpin nasional dalam pilpres ini.
MARWAN JAFAR
Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI dan Ketua Dewan Pembina Gerakan Mahasiswa Satu Bangsa (Gema Saba)
Tema tersebut dianggap penting karena di tahun 2014 akan digelar hajatan besar demokrasi berupa pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) yang sudah tentu berimplikasi pada dinamika politik dan ekonomi.
Untuk yang disebut terakhir, yakni pilpres, agaknya menarik untuk didiskusikan lebih lanjut—tanpa bermaksud mengecilkan aspek-aspek lain— karena sangat erat kaitannya dengan kepemimpinan nasional yang diharapkan mampu membawa perubahan bangsa ke arah yang lebih baik.
Hajatan nasional kali ini juga punya makna tersendiri karena berlangsung di tengah tekanan ekonomi dunia yang belum sepenuhnya pulih akibat krisis keuangan global. Karena itu, kita harus mampu mengambil momentum ini untuk terus bergerak maju sekaligus mampu mengidentifikasi peluang dan tantangan yang ada di depan mata. Ada satu pertanyaan mendasar yang patut diajukan: sosok capres seperti apakah yang layak memimpin Indonesia di masa depan?
Pertanyaan ini menjadi penting karena berbagai kalangan meramal, misalnya, Mckinsey (2012), bahwa Indonesia akan menjadi negara maju dalam beberapa tahun ke depan, termasuk menjadi ekonomi nomor tujuh di dunia. Namun, di lain pihak, kita akui masih banyak persoalan mendesak yang membutuhkan solusi dan kerja konkret, semisal pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pembangunan, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Karena itu, di masa depan bangsa kita membutuhkan energi dan terobosan baru oleh seorang pemimpin baru. Pemimpin yang dimaksud, bukan hanya visioner, namun sekaligus mampu menggerakkan dan menjamin proses transformasi bagi penentuan nasib bangsa. Meski hal ini bukan satu-satunya “panacea”—obat mujarab yang bisa mengobati semua penyakit— namun setidaknya kita berharap pilpres ini sebagai pintu masuk jawaban solutif bagi sederet persoalan bangsa.
Pilpres tersebut hendaknya tak hanya menciptakan sesi panggung dan berlalu begitu saja tanpa makna. Lebih dari itu, momentum ini hendaknya mampu menjadi tonggak sejarah untuk merajut dan menata kembali sendi-sendi kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang dirasa mulai kehilangan ruhnya.
Pekerjaan rumah
Terwujudnya kemakmuran bangsa sebagai tujuan utama perubahan struktur politik melalui pemilu, menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar lagi. Hal ini berarti, demokrasi akan bermakna manakala mampu menghasilkan kemakmuran rakyat.
Masa depan demokrasi dengan demikian sangat bergantung pada besar kecilnya manfaat kemakmuran yang dicapai. Selama ini, yang terkesan adalah sebuah potret hubungan demokrasi dan kemakmuran yang masih belum seimbang.
Hanya di sebagian kecil wilayah atau daerah saja yang dapat dirasakan hubungan signifikan antara demokrasi dan kemakmuran. Sementara di wilayah atau daerah lain hubungan antara kedua hal tersebut masih belum tampak. Karena itu, dirasa wajar jika muncul semacam frustrasi sosial tertentu di beberapa daerah yang berujung pada sikap apatis pada proses demokrasi sebagai pilihan mencari solusi rakyat.
Karena itu, seleksi kepemimpinan nasional tahun ini harus mampu menghasilkan pasangan presiden yang benarbenar bisa memahami berbagai tantangan Indonesia di masa depan. Seorang pemimpin yang memiliki strategi dan perencanaan yang jelas untuk menyelesaikan sederet permasalahan bangsa sekaligus menghadapi tantangan global.
Dilihat dari deretan persoalan bangsa yang sampai hari ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi presiden mendatang adalah soal peningkatan kemakmuran, pemerataan pembangunan, pemberantasan terorisme, narkoba dan korupsi. Penanganan berbagai pekerjaan rumah tersebut tidak bisa secara parsial, namun harus komprehensif dan bersinergi.
Peraih Nobel Ekonomi Joseph E Stiglitz (2012) berpendapat bahwa pembenahan berbagai persoalan yang dihadapi sebuah negara mutlak membutuhkan kebijakan pemerintah yang tepat dan tersinergi antarlembaga yang ada di dalamnya. Permasalahan peningkatan kemakmuran serta ketimpangan pembangunan dan ekonomi juga membutuhkan penanganan yang demikian.
Hal ini merupakan cita-cita bernegara dan berbangsa sebagaimana amanah konstitusi kita. Sebaiknya kita tidak terlalu terlena dengan berbagai ramalan yang menyebut Indonesia akan menjadi salah satu negara raksasa secara ekonomi di tingkat Asia dan bahkan dunia. Pandangan seperti itu cukuplah membuat kita bangga di tengah negara-negara di Eropa mengalami guncangan ekonomi.
Namun, semua itu tak bermakna manakala tak dibuktikan dengan peningkatan kemakmuran rakyat kita sendiri. Sesekali kita perlu menyempatkan diri berkunjung dan merasakan denyut kehidupan di berbagai pelosok daerah yang masih terbelakang.
Kita akan mendapati sebuah kenyataan bahwa disparitas dan ketimpangan masih begitu mencolok. Agaknya menjadi paradoks pembangunan yang selama ini mengedepankan pertumbuhan ekonomi ketimbang kualitas pemerataan itu sendiri.
Tren ketimpangan kian memburuk, terutama sejak krisis ekonomi 1998. Indeks ini yang menggambarkan tingkat ketimpangan meningkat dari 0,33 tahun 2002 menjadi 0,37 tahun 2009 dan menembus angkat 0,4 pada 2011.
Ketimpangan tersebut terjadi secara multidimensi: antarwilayah, antarsektor, dan antarkelompok pendapatan. Pertanyaan gugatan yang layak kita ajukan: mengapa tren ketimpangan justru semakin meningkat di tengah pertumbuhan ekonomi yang juga semakin meningkat?
Ketimpangan spasial muncul akibat pemusatan pembangunan selama 20–30 tahun lalu yang hingga sekarang tak mengalami banyak perubahan. Di luar itu, peningkatan pertumbuhan ekonomi juga tak dibarengi dengan penurunan secara signifikan angka kemiskinan dan pengangguran karena kue nasional terkonsentrasi pada kelompok 20% terkaya. Pangsa kelompok ini terus naik dari 41,24% (1999) menjadi 46,45% (2011) dan 48,94% pada 2012.
Sementara perolehan 40% penduduk termiskin turun dari 21,22% (1999) menjadi 17,6% (2011) dan 16,88% pada 2012. Ini menunjukkan kegagalan bangsa ini mengatasi problem ketimpangan karena kebijakan pembangunan yang kurang terdistribusi ke daerah tertinggal dan dibelokkan demi kepentingan sesaat, baik oleh kepentingan politik maupun kartel usaha. Persoalan terorisme dan narkoba juga masih menjadi keprihatinan kita.
Belum lama ini aksi yang diduga kuat jaringan terorisme masih menggeliat. Meski telah dilakukan penggerebekan, namun kita yakini jaringan itu masih eksis di bawah tanah. Begitu juga masalah penyalahgunaan narkoba yang belakangan semakin membuat hati kita tersayat. Jaringan bandar dan pengedar narkoba, ternyata dikendalikan dari dalam penjara, meskipun belakangan sudah tertangkap.
Begitu pula masalah korupsi, saat ini benar-benar telah menunjukkan skala merata dan masif yang—secara sadar maupun tidak—telah menciderai tatanan demokrasi. Mereka yang terpilih menjadi pemimpin, termasuk di daerah, ternyata sebagian dari mereka juga tak luput dari jeratan korupsi. Memang, selama ini telah banyak langkah yang diambil pemerintah untuk mengatasi semua itu.
Namun, kebijakan yang diambil lebih banyak bersifat parsial dan tambal sulam. Oleh karena itu, salah satu ikhtiar untuk melakukan perubahan bangsa ke arah yang lebih baik adalah dengan cara pemilihan presiden.
Presiden terpilih nanti hendaknya memiliki visi yang jauh ke depan, integritas tinggi, dan mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik yang ucapannya sejalan dengan tindakan. Tentu semua itu tak semudah membalikkan telapak tangan.
Namun, demokrasi sebagai hasil reformasi politik, setidaknya telah menyediakan jalan terbaiknya melalui pembentukan kelembagaan politik dan ekonomi secara demokratis, inklusif, dan transparan. Dengan begitu, gugatan klise seperti terurai di atas segera dapat jawaban atas terpilihnya pemimpin nasional dalam pilpres ini.
MARWAN JAFAR
Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI dan Ketua Dewan Pembina Gerakan Mahasiswa Satu Bangsa (Gema Saba)
(nfl)