Reproduksi kekuasaan dinasti Atut
A
A
A
SETELAH Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Banten Ratu Atut sebagai tersangka pada Selasa (17/12), banyak pengamat memperkirakan dinasti Atut perlahan-lahan akan tumbang.
Faktanya, oligarki dinasti Atut semakin terlembagakan dengan kemenangan Ratu Tatu Chasanah sebagai ketua DPD Golkar Banten. Ratu Tatu adalah adik kandung Atut dan menggantikan posisi suami Atut, Hikmat Tomet, yang sudah meninggal beberapa waktu lalu. Terpilihnya Ratu Tatu seolah menegaskan bahwa dinasti Atut tetap bertahan dalam politik lokal Banten.
Terpilihnya Tatu juga menggambarkan kemenangan rezim Atut di tengah kritik keras terhadap hegemoni kekuasaan Atut di wilayah Banten. KPK menetapkan Atut menjadi tersangka atas dua kasus, yakni Pilkada Lebak terkait Akil Mochtar dan Alkes Banten. Penetapan Atut sebagai tersangka disambut rasa syukur dan sorak gembira oleh gerakan mahasiswa dan gerakan masyarakat sipil Banten.
Atut menjadi simbol rezim politik lokal yang korup di bawah pembangunan Banten yang jalan di tempat. Sebagai simbol musuh bersama, posisi Atut yang menjadi tersangka adalah satu hal yang ditunggu-tunggu oleh gerakan masyarakat sipil Banten. Keberanian KPK menetapkan Atut sebagai tersangka dianggap sebagai gebrakan membongkar kebobrokan rezim Atut.
Solidnya kekuasaan Atut nyaris tak tersentuh oleh kekuatan sipil di Banten. Pesta dan sorak merayakan penetapan Atut hanyalah langkah awal yang belum mencapai substansi dan perjuangan redemokratisasi di Banten masih jauh dan memerlukan kerja kolektif dari seluruh elemen Banten. Posisi Atut sebagai gubernur Banten memang terancam dengan keberadaan Rano Karno yang siap menjadi penggantinya jika Atut ditetapkan sebagai terdakwa.
Namun, permasalahannya tidak selesai di sana. Peta dan konsolidasi rezim Atut terlalu kuat dan sudah tertanam hingga akar birokrasi sejak pembentukan Provinsi Banten. Pertama, Atut sudah memperkuat pengaruh politiknya dengan penyebaran keluarganya mulai ibu tiri, adik kandung, adik ipar, menantu, hingga anak kandung dalam kekuasaan legislatif dan eksekutif di wilayah Banten yang mencakup posisi wali kota, bupati, wakil bupati, anggota DPRD, hingga posisi-posisi strategis di luar legislatif dan eksekutif seperti Kadin, PMI, karang taruna, dan sebagainya.
Desain politik rezim Atut sudah terlembaga sedemikian kuat dalam struktur politik Banten. Strategi dipastikan adalah bagian dari pelembagaan kekuasaan rezim Atut yang diproyeksikan bisa mewariskan dan merawat kekuasaannya hingga beberapa tahun mendatang.
Kedua, kekuasaan Atut juga sudah masif menanamkan pengaruhnya pada level birokrat yang menjadi ujung tombak implementasi kebijakan Atut. Mari kita lihat, sejak Atut menjadi wakil gubernur pada saat Banten pertama kali resmi menjadi provinsi, kekuasaan dan pengaruhnya memungkinkan untuk memobilisasi birokrasi secara ideologis dalam dominasi dan peran sentralnya Atut sebagai “anak emas” dari tokoh penting Banten yang juga adalah ayah kandungnya Atut.
Secara perlahan, dominasi dan mobilisasi ini terus dilakukan hingga Atut terpilih kembali sebagai gubernur Banten periode kedua yang berpasangan dengan Rano Karno. Desas-desus mundurnya Rano sebagai wakil gubernur karena dianggap tak diberi peran penting oleh Atut, seolah mengamini bahwa Atut terlalu dominan dalam ranah kekuasaannya. Pola dominasi ini sejatinya sudah dilakukannya sejak dia menjadi wakil gubernur.
Suksesor dan kapital politik
Jika diringkas, akar masalah di Banten bermuara pada dua level yaitu level elite politik yang sudah terdistribusikan dalam mayoritas daerah kekuasaan Banten. Level kedua adalah birokrasi akar rumput yang menjadi ujung tombak pembangunan Banten. Dua masalah inilah yang menjadi agenda penting transformasi demokrasi di Banten. Demokrasi di Banten baru saja dimulai.
Atut boleh saja lengser sebagai gubernur, tetapi kita harus lebih membaca peta kekuasaannya secara kritis bahwa sangat mungkin suksesor Atut siap meneruskan rezim politiknya dalam kontestasi politik berikutnya. Inilah tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakat sipil Banten. Suksesor Atut yang menempati posisi politik di wilayah kota/ kabupaten berpeluang menggantikan posisi Atut karena mereka sudah diuntungkan dengan solidnya basis politik yang menyebar dari level elite hingga level birokrasi.
Kesiapan keluarga Atut untuk menggantikan posisinya sebagai gubernur Banten adalah bagian dari strategi meneruskan kekuasaan dinasti Atut. Munculnya suksesor Atut yang berasal dari klan keluarganya adalah bagian dari terjadinya mekanisme reproduksi kekuasaan yang sudah didesain Atut, dengan menyebarkan anggota keluarganya di berbagai posisi politik. Reproduksi kekuasaan menjadi masalah serius demokrasi di Banten karena sumber daya politik dan sumber daya ekonomi yang dimiliki keluarga Atut sangat melimpah ruah.
Kedua sumber daya ini (politik dan ekonomi) berbanding terbalik dengan kompetitor-kompetitor Atut yang mencoba melawan pengaruhnya di berbagai level kontestasi politik. Agenda ini seperti yang sudah saya jelaskan di awal tulisan adalah agenda dan tantangan besar bagi gerakan demokratisasi di Banten. Gerakan masyarakat sipil di Banten tidak bisa lengah dengan solidnya kekuasaan Atut.
Jika tesis reproduksi kekuasaan terbukti dalam ranah kekuasaan Banten pasca lengsernya Atut, kita harus mengakui bahwa strategi politik yang dilakukan Atut sangat cerdas dalam menguasai Banten. Tesis ini bisa dibantah jika kekuatan masyarakat sipil Banten mengusung cetak biru demokrasi Banten pascarezim Atut.
Di dalamnya termasuk mengusung tokoh yang mampu melakukan penetrasi perubahan sosial politik di Banten. Cetak biru demokrasi menjadi penting sebagai platform gerakan demokrasi dan pembangunan sosial-ekonomi di Banten.
Redistribusi kekuasaan
Penetapan tersangka Atut oleh KPK selain menjadi pintu masuk transformasi demokrasi di Banten, juga bisa menjadi momentum terjadi redistribusi kekuasaan dalam level elite maupun level akar rumput. Terlalu lama Atut dan keluarganya memonopoli sumber daya politik, sosial, dan ekonomi. Menjadi penting juga adalah melakukan redistribusi kekuasaan yang mampu meng-counter hegemoni kekuasaan Atut di semua level.
Dekonstruksi kekuasaan bisa dilakukan dalam wilayah politik, ekonomi hingga sosial kultural. Dekonstruksi bisa dilakukan dengan menempatkan figur-figur reformis yang tidak tersangkut dosa-dosa politik dengan rezim Atut dan juga bisa menghapuskan budaya “Atutisme” yang sudah mengakar dalam wilayah birokrasi Banten.
Atutisme adalah representasi dari cara berpikir, gaya kekuasaan, dan pengaruh Atut yang melembaga dalam pemikiran aparat birokrasi. Bisa dibayangkan jika di level pengambil kebijakan sudah berganti, tetapi akar birokrasi tidak bisa menyesuaikan dengan dinamika perubahan, maka Banten hanya akan jalan di tempat.
Jalan panjang demokrasi di Banten masih jauh. Redistribusi pembangunan sosial ekonomi juga masih menyisakan berbagai masalah yang sangat kronis. Langkah awal sudah dilakukan dengan penetapan tersangka. Namun, agenda yang lebih substansi masih memerlukan kerja kolektif bagi masyarakat sipil Banten.
RAKHMAT HIDAYAT
Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & Kandidat PhD Sosiologi Pendidikan Université Lumière Lyon 2 France
Faktanya, oligarki dinasti Atut semakin terlembagakan dengan kemenangan Ratu Tatu Chasanah sebagai ketua DPD Golkar Banten. Ratu Tatu adalah adik kandung Atut dan menggantikan posisi suami Atut, Hikmat Tomet, yang sudah meninggal beberapa waktu lalu. Terpilihnya Ratu Tatu seolah menegaskan bahwa dinasti Atut tetap bertahan dalam politik lokal Banten.
Terpilihnya Tatu juga menggambarkan kemenangan rezim Atut di tengah kritik keras terhadap hegemoni kekuasaan Atut di wilayah Banten. KPK menetapkan Atut menjadi tersangka atas dua kasus, yakni Pilkada Lebak terkait Akil Mochtar dan Alkes Banten. Penetapan Atut sebagai tersangka disambut rasa syukur dan sorak gembira oleh gerakan mahasiswa dan gerakan masyarakat sipil Banten.
Atut menjadi simbol rezim politik lokal yang korup di bawah pembangunan Banten yang jalan di tempat. Sebagai simbol musuh bersama, posisi Atut yang menjadi tersangka adalah satu hal yang ditunggu-tunggu oleh gerakan masyarakat sipil Banten. Keberanian KPK menetapkan Atut sebagai tersangka dianggap sebagai gebrakan membongkar kebobrokan rezim Atut.
Solidnya kekuasaan Atut nyaris tak tersentuh oleh kekuatan sipil di Banten. Pesta dan sorak merayakan penetapan Atut hanyalah langkah awal yang belum mencapai substansi dan perjuangan redemokratisasi di Banten masih jauh dan memerlukan kerja kolektif dari seluruh elemen Banten. Posisi Atut sebagai gubernur Banten memang terancam dengan keberadaan Rano Karno yang siap menjadi penggantinya jika Atut ditetapkan sebagai terdakwa.
Namun, permasalahannya tidak selesai di sana. Peta dan konsolidasi rezim Atut terlalu kuat dan sudah tertanam hingga akar birokrasi sejak pembentukan Provinsi Banten. Pertama, Atut sudah memperkuat pengaruh politiknya dengan penyebaran keluarganya mulai ibu tiri, adik kandung, adik ipar, menantu, hingga anak kandung dalam kekuasaan legislatif dan eksekutif di wilayah Banten yang mencakup posisi wali kota, bupati, wakil bupati, anggota DPRD, hingga posisi-posisi strategis di luar legislatif dan eksekutif seperti Kadin, PMI, karang taruna, dan sebagainya.
Desain politik rezim Atut sudah terlembaga sedemikian kuat dalam struktur politik Banten. Strategi dipastikan adalah bagian dari pelembagaan kekuasaan rezim Atut yang diproyeksikan bisa mewariskan dan merawat kekuasaannya hingga beberapa tahun mendatang.
Kedua, kekuasaan Atut juga sudah masif menanamkan pengaruhnya pada level birokrat yang menjadi ujung tombak implementasi kebijakan Atut. Mari kita lihat, sejak Atut menjadi wakil gubernur pada saat Banten pertama kali resmi menjadi provinsi, kekuasaan dan pengaruhnya memungkinkan untuk memobilisasi birokrasi secara ideologis dalam dominasi dan peran sentralnya Atut sebagai “anak emas” dari tokoh penting Banten yang juga adalah ayah kandungnya Atut.
Secara perlahan, dominasi dan mobilisasi ini terus dilakukan hingga Atut terpilih kembali sebagai gubernur Banten periode kedua yang berpasangan dengan Rano Karno. Desas-desus mundurnya Rano sebagai wakil gubernur karena dianggap tak diberi peran penting oleh Atut, seolah mengamini bahwa Atut terlalu dominan dalam ranah kekuasaannya. Pola dominasi ini sejatinya sudah dilakukannya sejak dia menjadi wakil gubernur.
Suksesor dan kapital politik
Jika diringkas, akar masalah di Banten bermuara pada dua level yaitu level elite politik yang sudah terdistribusikan dalam mayoritas daerah kekuasaan Banten. Level kedua adalah birokrasi akar rumput yang menjadi ujung tombak pembangunan Banten. Dua masalah inilah yang menjadi agenda penting transformasi demokrasi di Banten. Demokrasi di Banten baru saja dimulai.
Atut boleh saja lengser sebagai gubernur, tetapi kita harus lebih membaca peta kekuasaannya secara kritis bahwa sangat mungkin suksesor Atut siap meneruskan rezim politiknya dalam kontestasi politik berikutnya. Inilah tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakat sipil Banten. Suksesor Atut yang menempati posisi politik di wilayah kota/ kabupaten berpeluang menggantikan posisi Atut karena mereka sudah diuntungkan dengan solidnya basis politik yang menyebar dari level elite hingga level birokrasi.
Kesiapan keluarga Atut untuk menggantikan posisinya sebagai gubernur Banten adalah bagian dari strategi meneruskan kekuasaan dinasti Atut. Munculnya suksesor Atut yang berasal dari klan keluarganya adalah bagian dari terjadinya mekanisme reproduksi kekuasaan yang sudah didesain Atut, dengan menyebarkan anggota keluarganya di berbagai posisi politik. Reproduksi kekuasaan menjadi masalah serius demokrasi di Banten karena sumber daya politik dan sumber daya ekonomi yang dimiliki keluarga Atut sangat melimpah ruah.
Kedua sumber daya ini (politik dan ekonomi) berbanding terbalik dengan kompetitor-kompetitor Atut yang mencoba melawan pengaruhnya di berbagai level kontestasi politik. Agenda ini seperti yang sudah saya jelaskan di awal tulisan adalah agenda dan tantangan besar bagi gerakan demokratisasi di Banten. Gerakan masyarakat sipil di Banten tidak bisa lengah dengan solidnya kekuasaan Atut.
Jika tesis reproduksi kekuasaan terbukti dalam ranah kekuasaan Banten pasca lengsernya Atut, kita harus mengakui bahwa strategi politik yang dilakukan Atut sangat cerdas dalam menguasai Banten. Tesis ini bisa dibantah jika kekuatan masyarakat sipil Banten mengusung cetak biru demokrasi Banten pascarezim Atut.
Di dalamnya termasuk mengusung tokoh yang mampu melakukan penetrasi perubahan sosial politik di Banten. Cetak biru demokrasi menjadi penting sebagai platform gerakan demokrasi dan pembangunan sosial-ekonomi di Banten.
Redistribusi kekuasaan
Penetapan tersangka Atut oleh KPK selain menjadi pintu masuk transformasi demokrasi di Banten, juga bisa menjadi momentum terjadi redistribusi kekuasaan dalam level elite maupun level akar rumput. Terlalu lama Atut dan keluarganya memonopoli sumber daya politik, sosial, dan ekonomi. Menjadi penting juga adalah melakukan redistribusi kekuasaan yang mampu meng-counter hegemoni kekuasaan Atut di semua level.
Dekonstruksi kekuasaan bisa dilakukan dalam wilayah politik, ekonomi hingga sosial kultural. Dekonstruksi bisa dilakukan dengan menempatkan figur-figur reformis yang tidak tersangkut dosa-dosa politik dengan rezim Atut dan juga bisa menghapuskan budaya “Atutisme” yang sudah mengakar dalam wilayah birokrasi Banten.
Atutisme adalah representasi dari cara berpikir, gaya kekuasaan, dan pengaruh Atut yang melembaga dalam pemikiran aparat birokrasi. Bisa dibayangkan jika di level pengambil kebijakan sudah berganti, tetapi akar birokrasi tidak bisa menyesuaikan dengan dinamika perubahan, maka Banten hanya akan jalan di tempat.
Jalan panjang demokrasi di Banten masih jauh. Redistribusi pembangunan sosial ekonomi juga masih menyisakan berbagai masalah yang sangat kronis. Langkah awal sudah dilakukan dengan penetapan tersangka. Namun, agenda yang lebih substansi masih memerlukan kerja kolektif bagi masyarakat sipil Banten.
RAKHMAT HIDAYAT
Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & Kandidat PhD Sosiologi Pendidikan Université Lumière Lyon 2 France
(nfl)