Putra Sang Fajar di layar lebar Soekarno peragu?

Selasa, 31 Desember 2013 - 07:31 WIB
Putra Sang Fajar di layar lebar Soekarno peragu?
Putra Sang Fajar di layar lebar Soekarno peragu?
A A A
PADA akhirnya setelah penantian panjang terbitlah film Soekarno besutan Hanung Bramantyo di akhir 2013. Pertama-tama perlu kita berikan salut dan hormat kepada sang sutradara Hanung Bramantyo atas keberaniannya mengambil tanggung jawab kebudayaan mengelaborasi sisi kehidupan sang proklamator Bung Karno ke layar lebar, dengan segenap puspawarna dan kompleksitas hidupnya.

Sebuah keberanian yang tentu sejak awal ia sadari bahwa ia akan menghadapi risiko berhadapan dengan berbagai kontroversi atas karya yang ia sodorkan. Tulisan ini tidak akan mengomentari dimensi teknik sinematografi yang berada di luar kompetensi wilayah penulis. Namun demikian, sesaat setelah meninggalkan bioskop, saya menemukan ganjalan yang membuat film ini tidak bisa melampaui posisinya lebih dari sekedar sebuah film hiburan.

Film Soekarno besutan Hanung gagal membawa audiens untuk mengenal dan memperluas wawasan sejarah tentang bagaimana kita memahami proses kreasi intelektual pembentukan Republik Indonesia dari salah satu maestro pengawal kelahirannya, yaitu Soekarno.

Kritik atas tidak tereksposnya sisi intelektualitas dari Soekarno dalam film ini mungkin dianggap terlalu nyinyir di tengah waktu yang terbatas kurang lebih 2,5 jam. Bisa jadi hal itu benar. Namun demikian, ketika Hanung luput mengekspos gagasan dan benturan intelektual yang dihadapi oleh Soekarno pada awal abad ke-20 inilah penyebab utama dari tidak tepatnya Hanung menggambarkan figur dan karakter Soekarno yang ia digambarkan sebagai orator yang berkarakter labil dan peragu.

Penafsiran untuk membaca karakter seorang tokoh dalam film adalah hak dari sutradara. Pilihan ini diambil mungkin untuk memberikan gambaran Soekarno sebagai manusia, manusia yang bukanlah monumen tidak tampil sebagai hero dengan segala keagungan dan kebesarannya, namun juga beserta karakter manusiawinya sebagai makhluk yang daif, relatif, dan kadang naif.

Namun demikian, satu hal yang dilupakan adalah tekanan berlebihan terhadap kedaifan dari sosok manusia seperti Soekarno, juga dapat menghilangkan sisi manusiawinya dengan segenap kegigihan dan pemikirannya bersama dengan para pendiri bangsa yang lain mampu mengorganisasikan segenap agensi politik untuk melahirkan Republik Indonesia.

Bukankah selama 32 tahun era Orde Baru sampai sekarang dalam narasi-narasi kebudayaan massa mulai dari film Pemberontakan G30S/PKI sampai Film Soekarno kita sering kali dipertontonkan dengan karakter Soekarno peragu yang bersembunyi di balik kobaran pidato-pidatonya di tengah lautan massa. Bukankah kemuliaan Soekarno selama ini hanya menjadi memori kolektif warga akar rumput para pencintanya di pedesaan yang menyimpan foto Bung Karno di rumah mereka.

Ruang-ruang publik yang selama ini disepelekan dalam panggung arus utama kebudayaan kita Pertanyaan yang patut dikemukakan kepada Hanung adalah bagaimana mungkin seorang peragu dan labil seperti Soekarno dalam karya sinema, pada fakta sejarahnya adalah tokoh yang paling sering melakukan benturan ideologis baik di kalangan Islam, Nasionalis maupun Marxist sekaligus menjadi penengah, agensi yang mempertemukan dan mengikat di antara kekuatan-kekuatan ideologis yang saling bersengketa tersebut pada saat-saat menentukan dalam proses sejarah pergerakan nasional sampai kemerdekaan Indonesia.

Mampukah figur labil dan peragu menjadi tokoh yang paling sering berkonflik sekaligus menjadi pemersatu dan penghimpun setiap elemen kebangsaan sampai pada akhirnya dialah yang dipercaya untuk membaca teks proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Pergumulan intelektual
Di sinilah maka penggambaran sebuah karakter seperti Soekarno haruslah diletakkan dalam konteks zaman dan sejarah sebelum diinterpretasikan dalam sebuah karya kebudayaan. Soekarno adalah anak zaman yang tengah bergerak.

Sebuah zaman di mana setelah tuntasnya penyatuan birokrasi kolonial Hindia Belanda, konsolidasi kapitalisme kolonial dari era liberal menuju era etis dan masuknya pendidikan modern membentuk organisasi kebangsaan modern, ruang publik dan media massa kelahiran kaum inteligensia baru yang tengah menggeliat melawan era feodalisme dan kapitalisme imperial dengan menyatakan diri sebagai kaum bangsawan pikir untuk membedakan dengan kaum aristokratik foedal/ bangsawan oesoel (Yudi Latif; 2002).

Di tengah munculnya kesadaran modern di tengah zaman yang tengah bergerak, kaum inteligensia anak-anak sekolahan didikan edukasi Barat inilah, mereka mendendahkan manifesto budayanya bahwa sudah saatnya kehormatan dan status sosial tidak lagi diukur dari kehormatan berbasis keturunan dan trah Kebangsawanan, namun melampaui itu inilah era di mana akal budi dan pikiran yang berkomitmen atas kemajuan negerinya menjadi penanda baru menghadapi formasi sosial lama, formasi feodalistik dan kolonialistis.

Tepat di titik inilah Soekarno tumbuh berkembang di kota kosmopolit Surabaya dan indekos di tengah markas pergerakan Sarekat Islam di rumah Tjokroaminoto berhadapan dengan dua kontradiksi zaman di negerinya yakni: Pertama, bangkitnya kesadaran intelektual yang kosmopolit sekaligus membebaskan di tengah lautan basis massa yang masih terbenam dalam masyarakat agraris dengan kesadaran mistisnya.

Kedua, hadirnya narasi-narasi ideologis buah dari edukasi modern yang sadar sekaligus bersaing satu sama lain untuk menjadi suluh bagi rakyat di bawah bendera, Islam, nasionalisme, dan marxisme/sosialisme. Di tengah dua kontradiksi di mana Soekarno menjadi saksi hidup yang paling dekat terhadap pergumulan inilah, maka ada dua hal yang selalu menjadi perhatiannya yakni:

Pertama, bagaimana dirinya sebagai bagian dari lapisan inteligensia modern yang menyerap ilmuilmu liberatif dalam khasanah intelektual modern mampu mengomunikasikan ke dalam kesadaran masyarakat agraris dengan penanda-penanda mistisnya seperti identifikasi imperialisme dengan Nyi Blorong maupun perlawanan kolonial dan antikolonial dengan analogi Bharatayudha.

Kedua, membangun pemilahan sekaligus persatuan bersama dengan menghimpun agensi-agensi politis dari kaum nasionalis, marxis dan agama yang kerap berseteru dalam sebuah blok sejarah bersama. Tugas yang dimulai Soekarno sejak usia dua puluh lima tahun dalam artikel awalnya di panggung pergerakan berjudul Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Tindakan yang kerap kali dipahami secara sinis oleh kalangan akademisi sebagai bentuk pemikiran sinkretisme Jawa.

Wawasan atas bentara intelektual dari Soekarno ini penting dan seharusnya menjadi pegangan dalam penciptaan film Soekarno-yang sayangnya luput dalam film gubahan Hanung Bramantyo-sehingga kita dapat menemukan konteks, terkait apa yang mempertemukan figur seperti Soekarno- Muhammad Hatta dan Syahrir dalam pergumulan gagasan saat membentuk Indonesia.

Pengembaraan intelektual Soekarno yang selalu berusaha mempertemukan bacaan-bacaan emansipatorisnya dalam khazanah literatur dunia dengan kesadaran mistis agraris dari rakyat yang ia perjuangkan kerap bertengkar dengan jalan individualisme dan humanisme yang selalu tidak merasa nyaman hidup di tengah kesadaran massa terjajah yang selalu dianggap memiliki mental minder dan inferiority complex dari seorang figur Sjahrir seperti tertera dalam karya Rudolf Mrazek (1994) Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia.

Sehingga ketika dialog politis antara Soekarno-Hatta dan Sjahrir berlangsung tidak terasa hambar dan hanya menampilkan common sense, serta Soekarno terlihat tidak sewaskita Hatta seperti yang terlihat dalam film Hanung. Di sisi lain hal inilah pula yang menjadi konteks dari pertemuan antara Soekarno dengan tokoh-tokoh Islam seperti Agus Salim maupun Muhammad Natsir.

Di mana khususnya intensitas dialektika pertemuan Soekarno dengan para tokoh-tokoh Islam didasari oleh surat menyurat intelektual antara Soekarno dan A Hassan serta M Natsir dalam pembuangannya di Ende dan Bengkulu. Hal ini pun menjadi titik tekan yang hilang dalam film Soekarno pada saat pembuangan beliau di Ende dan Bengkulu. Dan hilangnya dimensi ini membuat film Soekarno mengalami kesalahan fatal ketika pada saat sidang BPUPKI menggambarkan figur tokoh Islam semata-mata sebagai kelompok yang kerap berteriak tentang Syariah Islam tanpa argumentasi rasional yang kuat.

Di sini Hanung kehilangan nalar sejarah dengan menyamakan kaum takfiris kontemporer dengan tokoh pergerakan Islam modernis dan tradisionalis zaman itu yang cerdas dan matang secara pemikiran. Mungkin saja adalah hal yang berat dan riskan memvisualisasikan sebuah gagasan dalam media film meski bukan mustahil. Hanung semestinya dapat belajar dari Steven Spielberg ketika menampilkan sosok Abraham Lincoln di layar lebar mendasarkan skenarionya atas sebuah biografi brilyan tentang Lincoln berjudul Team of Rivals yang digubah oleh Doris Kearns Goodwin (2005).

Di mana kekuatan karya tersebut adalah keberhasilan menampilkan Lincoln dan karakter-karakter politisi progresif AS saat itu yang berbeda karakter dan bersinggungan secara intelektual namun memiliki tujuan satu membebaskan Amerika dari perbudakan.

Kritik atas film Soekarno yang juga patut kita apresiasi ini menjadi penting karena karya film dari tokoh sejarah sekelas Soekarno semestinya dapat berperan menjadi pintu pembuka untuk menggugah kesadaran sebagian anak muda saat negeri kita yang sebagian besar di antaranya lebih mengenal mendiang Paul Walker pemeran Fast and Furious dan Superstar Justin Bieber.

Film seperti ini juga sebenarnya berpotensi menjadi motivator bagi sebagian besar warga yang apatis atas berbagai kasus korupsi para elite politik; untuk masuk dan menyelami kemegahan warisan intelektual dan perdebatannya beserta segenap kebijaksanaan profetik yang dilahirkan oleh para pendiri bangsa seperti Soekarno untuk kemajuan tanah air kita ke depan.

AIRLANGGA PRIBADI KUSMAN
Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4071 seconds (0.1#10.140)